Apalah Arti Sebuah Kaus #2019GantiPresiden ?
1158
post-template-default,single,single-post,postid-1158,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Apalah Arti Sebuah Kaus #2019GantiPresiden ?

Apalah Arti Sebuah Kaus #2019GantiPresiden ?

photo6221933132907653231assalaamu’alaikum wr. wb.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meradang. Itu saja sudah cukup untuk sebuah headline. Citra kalem, merakyat dan humoris yang dibangun Jokowi selama ini nampaknya terpaksa ‘dikesampingkan’ barang sejenak. Siapa pun yang menonton video rekaman orasinya di acara Konvensi Galang Kemajuan 2018 di Bogor, Sabtu (07/04) silam, pasti dapat melihat bahwa kemarahannya itu bukan main-main.

“Sekarang isunya ganti lagi. Isu kaos. Ganti Presiden 2019. Iya, kan? Pake kaos. Masak kaos bisa ngganti Presiden?” demikian ungkap Jokowi di atas mimbar dengan bergaya sedikit jenaka, seolah berusaha mendinginkan suasana. Akan tetapi, kendurnya tensi itu hanya sejenak saja, karena kemudian suaranya naik lagi saat Jokowi mengacungkan jarinya dan berteriak lantang, “Yang bisa ngganti Presiden itu rakyat!”

Tak butuh waktu lama, orasi itu pun langsung menjadi bahan perbincangan yang seru di kalangan netizen. Meski ada yang mengatakan bahwa Jokowi sama sekali tidak terganggu dengan beredarnya kaus #2019GantiPresiden, namun kebanyakan orang tidak sepakat. Bagaimana pun, jika orang nomor satu di negeri ini membicarakan sesuatu, maka pastilah hal tersebut bukan perkara kecil, sebab jabatan Presiden memang tidak diberikan untuk mengurusi perkara yang kecil-kecil.

Saat tulisan ini dibuat, tagar #2019GantiPresiden di media sosial telah mencapai tingkat reach 186 juta dan masih berada dalam daftar Trending Topic pembicaraan orang di jagad Twitter. Dr. Mardani Ali Sera, anggota Komisi II DPR RI dari FPKS yang dikenal sebagai perintis gerakan ini terus terang mengakui bahwa gerakan #2019GantiPresiden adalah antitesis dari gerakan lain yang sudah duluan bergulir, yaitu dukungan dua periode untuk Jokowi. Gerakan ini pun murni konstitusional, karena tahun 2019 memang jadwalnya Pemilu. Dengan kata lain, pergantian jabatan Presiden itu hendak dicapai melalui Pilpres dengan mekanisme yang sah.

Tidak kurang dari da’i kharismatik Salim A. Fillah dan akademisi sekelas Rocky Gerung turut mengomentari gerakan #2019GantiPresiden. Seperti yang lainnya, kedua tokoh ini pun berpendapat bahwa #2019GantiPresiden tak perlu ditanggapi berlebihan, karena memang hak rakyat untuk memilih pemimpinnya setiap lima tahun sekali dalam perhelatan Pilpres. Jika rakyat berkehendak pemimpin memang perlu diganti, maka sebenarnya tak ada masalah yang perlu dikhawatirkan.

Sejak awal digaungkan, seruan #2019GantiPresiden memang secara organik telah meluas ke mana-mana. Neno Warisman, yang berinisiatif menggerakkan wacana ini ke grup Whatsapp (WA) majelis taklim yang diikutinya, juga mengaku kaget dengan antusiasme yang ditunjukkan oleh kaum ibu untuk mendukung gerakan #2019GantiPresiden. Artinya, setelah bergaung di kalangan netizen dan milenial, nampaknya gerakan ini pun sudah merambah masyarakat akar rumput.

1cda1c1f-4906-443c-934d-94bff11c61b6Di sinilah agaknya konteks kaus #2019GantiPresiden yang pertama dapat kita temukan. Jika ranah media sosial masih dinikmati oleh kalangan terbatas, maka grup Whatsapp mampu menjangkau cakupan yang lebih luas lagi, apalagi kaus yang diproduksi dan dipasarkan secara masif. Siapa pun dapat melihat kenyataan bahwa gerakan #2019GantiPresiden ini sudah mampu menerobos setiap sekat di antara berbagai elemen masyarakat Indonesia, dan itu juga berarti bahwa seruan ini mampu menyuarakan isi hati mereka yang sesungguhnya.

Tak pelak lagi, meski seringkali mengadakan pertemuan dengan elemen-elemen pendukungnya, baik parpol, relawan, penggiat media sosial dan sebagainya, pastilah Jokowi menyadari bahwa angin tengah berganti arah. Sejak Februari 2018, Lembaga Survei Media Nasional (Median) telah memberikan ‘lampu kuning’ untuk Jokowi, lantaran elektabilitasnya terus menurun dan telah mencapai angka 35 persen; angka yang sangat ‘tidak aman’ bagi petahana. Sementara dukungan terhadap Jokowi masih dipandang cukup kuat di media sosial, pada saat yang sama gerakan #2019GantiPresiden justru telah mampu mencapai akar rumput.

Konteks kedua yang membuat fenomena kaus #2019GantiPresiden nampaknya perlu dipandang serius adalah karena kaus itu sendiri adalah sebuah pernyataan yang lebih tegas lagi ketimbang tagarnya. Dunia maya adalah ekosistem yang serbabebas; siapa saja bisa bicara apa saja, seringkali tanpa berpikir serius tentang konsekuensi dari kata-katanya sendiri. Sebagian orang yang tidak bertanggung jawab dapat saja berkata sesuka hatinya di media sosial dengan cara membuat akun anonim, misalnya. Tapi tidak demikian halnya di dunia nyata; di mana kaus #2019GantiPresiden diproduksi, disebarluaskan dan dikenakan. Dunia nyata adalah wilayah yang penuh dengan konsekuensi, tempat setiap orang diwajibkan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya masing-masing. Jadi, jika ada orang mondar-mandir mengenakan kaus bertuliskan “#2019GantiPresiden”, maka maknanya lebih dari sekedar apa yang tertulis, melainkan juga memperlihatkan sejauh mana para pemakainya ini siap mempertanggung jawabkan seruan di kausnya itu.

Presiden Jokowi memang pantas khawatir, meski pantas-tidaknya kekhawatiran itu diekspresikan di sebuah forum terbuka masih dapat diperdebatkan. Gerakan #2019GantiPresiden memang diekspresikan dengan cara yang teramat sederhana, namun justru kesederhanaannya itulah daya tarik utamanya. Ia tidak dituliskan di badan pesawat sebagaimana dukungan Partai Nasdem kepada Jokowi diekspresikan. Cara Nasdem memang terlihat gagah, namun sekaligus juga elitis. Tidak demikian halnya dengan kaus sederhana. Pesannya pun sangat sederhana, jauh lebih sederhana ketimbang kampanye dengan kemeja kotak-kotak seperti yang telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Jika ada yang ditanya tentang makna motif kotak-kotak itu, mungkin kita akan mendapatkan jawaban yang saling berlawanan, atau bahkan tak mendapatkan jawaban sama sekali. Sebaliknya, untuk kaus #2019GantiPresiden, Anda malah tak perlu bertanya sama sekali. Semuanya sudah jelas.

Presiden PKS, M. Sohibul Iman, punya perspektif yang cukup menarik. Menurutnya, capres yang akan menjadi lawan Jokowi di 2019 sebenarnya belum diputuskan. Meski demikian, gerakan #2019GantiPresiden sudah disambut banyak orang. Sohibul Iman kemudian menggambarkan situasi ini dengan cara yang jenaka. “Ini bisa dimaknai masyarakat mulai kehilangan trust kepada petahana. Bahwa meskipun calon definitif belum ada, tetap disambut luar biasa. Berarti kotak kosong pun lebih disukai masyarakat,” ungkapnya.

Dulu, ada ungkapan ‘Jokowi dipasangkan dengan sandal jepit pun pasti menang juga’. Kini, bisa jadi ungkapan itu perlu direvisi. Apapun itu, tentulah rakyat ingin berdemokrasi dengan santai dan asyik. Tidak ada yang ingin keributan, karena semua cinta Indonesia, termasuk juga yang ingin mengganti Presiden secara konstitusional di tahun 2019.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

1 Comment
  • Abdul Azuz
    Posted at 03:35h, 04 May Reply

    Mantap bang syafril artikelnya,Allahu Akbar

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.