Adil dan Beradab
545
post-template-default,single,single-post,postid-545,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Adil dan Beradab

Adil dan Beradab

assalaamu’alaikum wr. wb.

Dalam bagian pertama pada bukunya, On Justice and The Nature of Man, Prof. M. Naquib al-Attas membahas secara panjang lebar lima istilah kunci yang disebutkan dalam QS. An-Nisaa’ [4]: 58. Kelima istilah kunci tersebut adalah “amr”, “amaanah”, “ahl”, “hakam” dan “’adl”. Muara dari kesemuanya ini adalah konsep keadilan, yang diterangkan oleh al-Attas dalam hubungannya dengan konsep lain, yaitu adab. Menurut al-Attas, “Justice is the condition of being in the proper place; adab is the purposeful act by which that condition is actualized.” (Keadilan adalah kondisi berada pada tempatnya yang tepat; adab adalah tindakan sadar yang dengannya kondisi tersebut teraktualisasi).

Manusia yang beradab, dengan demikian, adalah manusia yang memahami tempat yang tepat bagi segala sesuatunya, termasuk dirinya juga, dan bertindak sesuai dengan hirarki tersebut. Ia tidak menempatkan dirinya pada posisi yang terlalu tinggi laiknya Tuhan, namun tidak juga merendahkan dirinya dengan melakukan perbuatan-perbuatan hina, meski sejalan dengan hawa nafsunya. Ia juga memahami posisi yang tepat bagi orang lain yang dihadapinya, menempatkan guru pada posisi terhormat yang layak bagi seorang guru, dan menyikapi orang-orang fasiq pada posisi yang selayaknya bagi mereka. Jika guru diperlakukan bagai orang fasiq dan orang fasiq dihormati layaknya guru, maka di situ adab terabaikan dan keadilan telah gagal ditegakkan.

Masyarakat yang beradab, dengan logika yang sama, juga menghormati hirarki yang benar. Manusia tidak sama dengan hewan, dan karenanya manusia diperlakukan berbeda dengan hewan, meski ada manusia yang mengira dirinya tidak berbeda dengan hewan. Di tengah-tengah masyarakat ada otoritas keilmuan yang berbeda-beda, sehingga sepandai-pandainya seorang dokter bedah otak tidaklah mengabaikan keahlian seorang montir mobil yang mungkin tamat pendidikan dasar pun tidak. Menyerahkan urusan kepada para ahlinya adalah sebuah norma bagi masyarakat yang beradab, dan itulah keadilan.

Bagi seorang Muslim, adab yang paling utama adalah adab di hadapan Allah SWT. Artinya, seorang Muslim harus mengenali posisinya yang tepat di hadapan Allah dan juga mengenali otoritas Allah atas dirinya. Ini adalah persoalan yang teramat penting, karena manusia tidaklah mengenali martabat dirinya sendiri jika bukan karena penjelasan dari Allah dan Rasul-Nya, dan ia tidak akan mengenali adab yang benar kepada segala sesuatunya jika ia tidak menghayati adab yang benar kepada Allah.

Sebagian manusia masih meyakini bahwa dirinya berada dalam ‘kerajaan’ yang sama dengan hewan, seolah-olah dirinya tidak lebih dari satu spesies di antara banyak spesies hewan di dunia. Sebagian yang lain meyakinkan dirinya bahwa manusia berevolusi dari nenek moyang yang sama dengan hewan. Saking dekatnya hubungan kekerabatan manusia dengan hewan, sehingga ada pula orang yang menyangka tujuan hidup manusia tak ada bedanya dengan hewan; mempertahankan hidup, memenuhi kebutuhan hidup, dan bereproduksi. Tapi sementara hewan yang paling buruk pun memiliki naluri untuk bereproduksi, kini semakin banyak manusia yang tak ingin memiliki keturunan, sebab tujuan hidupnya hanya untuk bersenang-senang sendiri belaka. Mereka tak punya rencana untuk bersusah-payah mengurusi anak.

Tentu tidak semua manusia berpikir seperti itu. Memang manusia memiliki naluri untuk bertahan hidup, namun dalam kondisi tertentu, manusia bisa mengorbankan hidupnya sendiri demi sesuatu hal yang dijunjungnya tinggi. Mereka yang mengorbankan nyawa untuk negeri dipuji sebagai pahlawan, demikian pula manusia tak habis-habisnya mengenang kebaikan kedua orang tua yang terus-menerus berkorban bagi anak-anaknya. Ada orang kaya yang dimuliakan karena kedermawanannya, ada tokoh yang dicintai karena senang berbagi. Semua hal ini menunjukkan bahwa fitrah manusia memahami nilai-nilai kemuliaan yang tidak bisa didapatkan oleh mereka yang hanya hidup untuk dirinya sendiri. Manusia-manusia mulia ini juga memiliki kebutuhan, namun dengan segala keterbatasannya, mereka mampu mengurusi kebutuhan orang lain, bahkan dalam banyak hal mereka mampu mendahulukan orang lain (itsar) ketimbang dirinya sendiri.

Manusia hanya bisa memahami martabat dirinya jika mereka mau menyimak penjelasan dari Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya mengajari manusia untuk mencintai kebersihan dengan mandi, wudhu’, bersiwak dan sebagainya. Janganlah mengira bahwa pengetahuan mengenai kebersihan itu universal belaka, sebab di abad kedua puluh satu ini pun masih banyak manusia dari negara-negara maju yang membersihkan kotorannya sendiri dengan tisu. Masih ada manusia yang bersujud kepada manusia lainnya, atau menganggap rasnya lebih unggul daripada yang lain. Terbukti, manusia tidaklah mampu memposisikan dirinya dengan benar jika mengabaikan tuntunan Allah.

Adab kepada Allah juga menjadi framework dari adab kita kepada selain-Nya. Di sinilah kita menemukan sebuah jurang perbedaan yang besar di antara manusia yang beriman dan yang tidak beriman. Mereka yang tidak beriman, yaitu yang tidak beradab kepada Allah, menjadikan dirinya sendiri sebagai pusat orientasi kehidupannya. Karena itu, orang-orang lain dan segala sesuatu yang ada di sekitarnya dipandangnya tidak lebih dari sekedar alat untuk memenuhi keinginannya sendiri.

Manusia yang tidak beradab menganggap prestasinya adalah hasil kerja kerasnya sendiri, padahal prestasi itu takkan terwujud tanpa bantuan orang tua, teman-teman dan rekan kerja. Tidak ada manusia yang memilih sendiri keberadaan orang-orang di sekitarnya. Karena itu, jika Allah mentakdirkan lingkungan yang baik bagi dirinya, maka sudah sepantasnya ia bersyukur dan tidak mengklaim segalanya sebagai hasil jerih payahnya sendiri. Hal yang sama berlaku pada benda-benda mati yang bisa ia manfaatkan seperti uang, rumah, kendaraan, hingga peralatan sederhana seperti meja, kursi dan sandal. Jika ia mengenal Allah dengan benar, tentu ia akan bersyukur atas segala pemberian-Nya, dan karena rasa syukurnya itu, ia tidak sampai hati berlaku sembarangan kepada segala sesuatunya, baik orang lain, makhluk hidup lainnya, hingga benda mati sekalipun.

Orang yang mensyukuri keberadaan rekan-rekannya takkan sengaja melukai hati mereka, sebab ia tahu bahwa dirinya takkan berada dalam kondisi sebaik sekarang tanpa mereka. Allah-lah yang telah menempatkan hamba-hamba-Nya nan shalih di sekeliling kita, dan karena itu kita tidak boleh mengabaikan mereka. Allah pula yang membekali kita dengan kepandaian dan segala hal yang kita perlukan sehingga kita memiliki mata pencaharian dan kecukupan. Pendeknya, harta yang kita peroleh tidak selayaknya dipergunakan sesuka hati, karena Allah-lah yang telah memberikannya kepada kita. Adab yang benar kepada segala sesuatunya adalah bagian dari adab kita kepada Allah, jika kita memang meyakini bahwa segala sesuatunya itu berasal dari Allah.

Di sini, kita dapat melihat dengan jelas perbedaan cara hidup seorang yang beriman dengan yang kufur. Jika seorang mu’min memiliki sepasang sandal, maka ia tidak akan meletakkannya di meja makan, meskipun sandal dan meja makan itu adalah miliknya yang sah, dan yang menggunakan keduanya hanya dirinya. Itulah adab yang benar, dan itulah keadilan, meski jika kita lihat sepintas tindakan tersebut tidak merugikan orang lain. Memang keadilan tidak mesti melibatkan orang lain, karena kezaliman (yaitu kebalikan dari keadilan) juga tidak selalu melibatkan orang lain. Jika kita meyakini bahwa segala sesuatunya adalah milik Allah, maka kita pun meyakini bahwa diri kita adalah milik Allah. Oleh karena itu, kita tidak suka menzalimi diri sendiri, sebagaimana kita juga tidak mau menzalimi orang lain. Meletakkan sandal di meja makan adalah kezaliman pada diri sendiri, karena bisa jadi kotoran yang lazim ditemukan pada alas kaki berpindah ke meja makan, berpindah lagi ke makanan, dan kemudian berpindah lagi ke dalam tubuh kita. Jika manusia merusak tubuhnya sendiri dengan sengaja, maka pada hakikatnya ia telah merusak pemberian Allah.

Membanting rice cooker juga merupakan sebuah kezaliman, meski rice cooker itu Anda beli dengan uang sendiri, sebab cara menggunakan rice cooker yang benar bukanlah dengan dibanting, dan sengaja merusak harta adalah adab yang keliru kepada Sang Pemberi Rizki. Anda bisa memberlakukan logika ini untuk segala sesuatu yang ada di kolong langit, dan niscaya Anda akan memahami adab yang baik jika senantiasa mengingat Allah.

Di antara seluruh kezaliman, kemusyrikan adalah kezaliman yang terbesar (QS. 31: 13). Dengan menyekutukan Allah, maka kita telah mengabaikan hak-hak Allah, dan juga menzalimi diri sendiri. Sebab, jika tidak menyembah Allah, maka pastilah kita menyembah hal-hal lain yang tidak sepantasnya disembah, dan tidak pula memberikan pencerahan. Oleh karena kemusyrikan adalah sebuah kezaliman, maka kita tidak bisa membayangkan ada seorang musyrik yang tidak zalim.

Betapa agungnya kalimat “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” yang dicantumkan oleh para pendiri bangsa ini di dalam Pancasila. Betapa indahnya jika penduduk negeri ini semuanya benar-benar manusia yang adil dan beradab.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

No Comments

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.