Rohingya, Dalam Sebuah Perbincangan
877
post-template-default,single,single-post,postid-877,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Rohingya, Dalam Sebuah Perbincangan

Rohingya, Dalam Sebuah Perbincangan

10847866_10205273591138000_7462529999057532728_nassalaamu’alaikum wr. wb.

Banyak hal yang telah melalaikan saya dari menuntaskan tulisan ini hingga tertunda tiga tahun lamanya. Tiga tahun sudah perbincangan itu berlalu dan tetap membekas, dan itu artinya sudah tiga tahun saya mengabaikan tanggung jawab saya sebagai penulis untuk membela Rohingya. Semoga kesempatan kali ini dapat menebus kesalahan besar itu.

Pada akhir tahun 2014, saya menjadi salah seorang yang ditaqdirkan untuk berjumpa langsung dengan Dr. Maung Zarni, salah seorang akademisi yang kini namanya lebih dikenal luas karena aktivismenya dalam membela Rohingya. Dalam sebuah pertemuan yang diorganisir di Hotel Sofyan Tebet, Jakarta, atas undangan Ustadz Adnin Armas, saya hadir dalam sebuah pertemuan terbatas untuk mendengarkan ceramah beliau, dan kemudian sempat pula berdiskusi langsung setelah acara selesai. Dalam uraian ini, saya akan menyampaikan poin-poin penting yang telah disampaikannya dalam ceramah dan diskusi tersebut, disertai dengan beberapa referensi tertulis yang dapat dijadikan rujukan oleh para pembaca.

Maung Zarni adalah orang Myanmar asli yang telah lama menimba ilmu di Inggris dan pernah meniti karir di Inggris, AS dan Brunei. Zarni adalah seorang penganut agama Budha, sebagaimana mayoritas rakyat Myanmar, namun kini ia tak bisa menginjakkan kakinya lagi di kampung halaman karena Junta Militer tidak menyukai pembelaannya terhadap orang-orang Rohingya. Semua berawal ketika Zarni bertemu dengan istrinya, seorang peneliti berkebangsaan Inggris, yang justru menjadi sumber pengetahuan pertamanya tentang Rohingya.

Selama dua puluh lima tahun masa hidupnya di Myanmar, hingga lulus dari University of Mandalay, Zarni, seperti juga dialami oleh banyak orang di Myanmar, tidak pernah mendengar nama Rohingya. Nama itu tidak pernah didengarnya di TV, radio atau surat kabar, tidak juga dari buku-buku sejarah. Hingga awal tahun 2000-an, menurut pengakuan Zarni, ia tidak mengenal orang-orang Rohingya. Ia mengenal mereka sebagai orang-orang keturunan Bangladesh yang mengungsi di perbatasan Myanmar.

Zarni menggambarkan keterkejutannya ketika mengetahui apa yang terjadi di negaranya dan dilakukan oleh bangsanya sendiri, justru ketika ia sudah tidak lagi di negerinya itu:

“I only know it after leaving Myanmar, after I was no longer exposed to regime’s propaganda. After I left, I realized that the regime deliberately ommited the word ‘Rohingya’ from any text available. Such a systematic destruction is an appaling characteristic that a genocide has happened.”

[Saya hanya mengetahuinya (tentang Rohingya) setelah meninggalkan Myanmar, setelah saya tidak lagi dipengaruhi oleh propaganda rejim. Setelah saya pergi, saya menyadari bahwa rejim telah dengan sengaja mengeluarkan kata ‘Rohingya’ dari semua teks yang ada. Penghancuran sistematis semacam ini adalah karakteristik menjijikkan dari genosida yang telah terjadi.]

Dalam ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya, Zarni kerap kali menekankan bahwa apa yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar terhadap orang-orang Rohingya adalah sebuah genosida (genocide), tidak kurang dari itu. Sebuah genosida, Zarni selalu mengingatkan, tidak semata diukur dari jumlah korban. Genosida adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap sekelompok orang karena ras, agama, etnis dan identitas lainnya yang melekat pada diri seseorang. Jika kita membunuh semua orang dari ras tertentu, tanpa alasan lainnya, maka itulah genosida. Padahal, seseorang tak bisa melepaskan diri dari ras atau etnisnya, karena hal-hal itu adalah identitas yang tak bisa diubah. 

Menurut Konvensi PBB tahun 1984, genosida memang tidak semata terbatas pada pembantaian, melainkan juga menyakiti atau menyiksa sekelompok orang karena alasan yang sama (yaitu identitas yang selalu melekat seperti agama, ras dan etnis), dan juga secara sengaja menciptakan suatu kondisi yang bertujuan untuk menghancurkan kelompok masyarakat tersebut secara sistematis. Yang terakhir ini, menurut Zarni, sangat relevan dengan keadaan Rohingya sekarang. Orang-orang Rohingya, jika mampu berkuliah, maka akan dipersulit oleh pemerintah Myanmar untuk masuk ke jurusan kedokteran. Akibat yang jelas terlihat adalah tidak imbangnya rasio jumlah dokter dan pasien di kalangan masyarakat Rohingya. Di Myanmar, rata-rata rasionya adalah 1 dokter untuk 700-1.000 pasien, sedangkan untuk masyarakat Rohingya, rasionya adalah 1 : 13.000. Akibatnya, tingkat kesehatan sangat buruk, tingkat kematian bayi dan anak sangat tinggi. Selain itu, orang-orang Rohingya dilarang memiliki lebih dari dua anak. Aturan semacam ini tidak diterapkan kepada etnis-etnis lain yang hidup di Myanmar, karena memang aturan ini dirancang dan digunakan untuk secara perlahan memusnahkan mereka.

Ketika ditanyakan mengapa Myanmar tidak membantai mereka sekaligus, dan justru memilih untuk melakukan genosida secara perlahan yang telah berlangsung puluhan tahun lamanya, Zarni mengatakan bahwa taktik ini sudah cukup berhasil selama ini. Untuk mengatasi publisitas buruk tentang dirinya, pemerintah Myanmar mengatakan bahwa masalah Rohingya adalah masalah imigran gelap. Dengan demikian, Myanmar dapat mengatakan kepada rekan-rekannya di ASEAN bahwa ia tengah menghadapi masalah domestik yang tidak boleh dicampuri oleh negara-negara lain. Propaganda Myanmar sangat berhasil mendorong masyarakat dunia untuk menganggap bahwa orang-orang Rohingya ini memang imigran gelap dari Bangladesh yang sudah sepantasnya diusir keluar perbatasan. Para jurnalis yang tidak paham persoalan kemudian menulis berbagai artikel yang mengesankan bahwa problem Rohingya adalah masalah bentrokan antaretnis atau antaragama.

Untuk memuluskan langkahnya, Junta Militer Myanmar memang telah berupaya keras puluhan tahun lamanya. Zarni membandingkan junta militer ini dengan kekuasaan Soeharto di Indonesia. Jika Soeharto berkuasa hingga 32 tahun lamanya, maka para jenderal di Myanmar telah berkuasa sejak 1956 hingga hari ini. Ironisnya, junta militer ini berkuasa hanya setahun setelah Perdana Menteri U Nu hadir di Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung. Sejak berkuasa, junta militer telah mengklasifikasikan Rohingya sebagai ancaman nasional.

Ketidaktahuan Zarni akan Rohingya saat menjalani masa mudanya di Myanmar dulu adalah bukti betapa efisiennya pemerintah Myanmar merekayasa sejarah. Begitu rapatnya mereka menjaga rahasia, menghapus semua jejak sejarah tentang Rohingya, sehingga anak-anak Myanmar yang lahir setelah junta militer berkuasa benar-benar tidak pernah mendengarnya. Pada tahun 1982, Myanmar merilis sebuah undang-undang kependudukan (1982 Citizenship Law) yang menyebutkan nama 135 etnis yang diakui di Myanmar, dan tidak ada nama Rohingya di dalamnya. Etnis Rohingya dipersepsikan sebagai pendatang asing dari wilayah India dan Bangladesh, yang datang karena pemerintah kolonial Inggris mendorong perpindahan mereka ke wilayah Myanmar pada tahun 1800-an.

Akan tetapi, meski Myanmar telah menghapus nama Rohingya dari sekian banyak dokumen resmi dan literatur lainnya, masih ada catatan-catatan yang tidak terbantahkan yang menunjukkan bahwa orang-orang Rohingya memang penduduk asli Myanmar sejak dahulu. Gregory Poling, salah seorang peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS), Washington DC, AS, memberikan catatan:

“In 1799, Francis Buchanan, a surgeon with the British East India Company, traveled to Myanmar and met members of a Muslim ethnic group ‘who have long settled in Arakan (Rakhine), and who call themselves Rooinga, or natives of Arakan.’”

[Pada 1799, Francis Buchanan, seorang dokter bedah yang bekerja untuk British East India Company, berkunjung ke Myanmar dan berjumpa dengan sejumlah anggota kelompok etnis Muslim ‘yang telah lama tinggal di Arakan (Rakhine), dan menyebut diri mereka sendiri sebagai orang-orang Rooinga, atau penduduk asli Arakan.’]

Tentang masalah siapa penduduk yang asli dan tidak, Zarni menganggapnya sebagai persoalan yang tidak relevan lagi. Pasalnya, batas-batas negara Myanmar yang kini kita kenal adalah hasil dari pergulatan sejarah. Myanmar bukan sebuah negara yang terdiri dari satu etnis saja, dan sejak dahulu sudah ada beragam etnis yang hidup di sana. Kalau pun benar orang-orang Rohingya memiliki nenek moyang yang berasal dari Bangladesh, tapi pada kenyataannya mereka telah hidup di Arakan sejak sebelum negara Myanmar berdiri, lantas mengapa keberadaan mereka harus dipersoalkan?

Ada sebuah pertanyaan besar yang muncul di kepala banyak orang: Mengapa Rohingya? Apakah orang-orang Rohingya dibantai karena mereka Muslim? Zarni, dalam ceramahnya, menekankan bahwa pada dasarnya tak ada masalah antara umat Budha dengan Muslim di Myanmar, kecuali yang memang direkayasa oleh junta militer. Rohingya sendiri bukan satu-satunya etnis Muslim di Myanmar, akan tetapi hanya Rohingya-lah yang mengalami genosida.

Pada hakikatnya, latar belakang konflik ini hanyalah soal politik dan kekuasaan. Berbeda dengan etnis-etnis Muslim di Myanmar lainnya, komunitas Rohingya terkonsentrasi di wilayah Rakhine Utara. Mereka menguasai wilayah yang cukup luas dan kaya alamnya, tidak sebagaimana saudara-saudara Muslim mereka yang menyebar di berbagai wilayah. Junta Militer menghendaki kuasa penuh atas wilayah tersebut. Sesederhana itu.

Salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar untuk membasmi Rohingya adalah dengan mengadu domba rakyatnya sendiri. Sebelumnya, Junta Militer Myanmar memandang kaum terpelajar dan para biksu Budha sebagai ancaman terbesarnya. Setelah berhasil menjinakkan kaum terpelajar, strategi berikutnya adalah meniupkan isu bahwa orang-orang Muslim (terutama Rohingya) yang hanya 5% dari total populasi Myanmar, telah menjelma menjadi ancaman terbesar bagi masyarakat Budha yang jumlahnya lebih dari 80% populasi. Dengan demikian, konflik antara masyarakat Budha (terutama para biksunya) dengan Rohingya pun berhasil direkayasa.

Zarni sendiri menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh para biksu yang sangat kejam di Myanmar itu sangat jauh menyimpang dari ajaran Budha, dan menurutnya, ia bukan satu-satunya orang Budha dari Myanmar yang berpikiran demikian. Hanya saja, cengkeraman junta militer yang sangat kejam membuat semua suara sumbang dapat dijinakkan. Jika ada biksu yang menentang pembantaian Rohingya atau mengkritisi junta militer, maka besar kemungkinan ia akan segera hilang dan pulang dalam keadaan telah menjadi mayat, atau tak ditemukan rimbanya sama sekali. Begitulah cara junta militer bekerja.

Tentang para biksu yang kejam tadi, selain mengingatkan bahwa tidak semua biksu dan orang Budha seperti itu, Zarni juga menegaskan bahwa yang melakukan pembantaian ini memang biksu-biksu yang telah ‘rusak’. Meski mereka biksu, namun mereka telah melakukan banyak hal yang terlarang baginya, dan tentu saja telah berselingkuh dengan junta militer untuk kepentingan politisnya. Dalam sebuah wawancara, Zarni mengingatkan agar tidak terjebak dalam ‘romantisme’ yang umum terjadi ketika seseorang membayangkan tentang para penganut agama Budha. Di Sri Lanka, pernah terjadi pembantaian masal terhadap warga non-Budha setelah tumbangnya Tamil. Di Thailand, kezaliman juga dilakukan oleh umat Budha kepada warga Muslim. Tentang ajaran Budha dan kondisi penganutnya, Zarni menyimpulkan:

“…Buddhism is about engagement with reality, and that involves poverty, that involves violence, and that involves our own individual greed… what we Buddhists really are, is as imperfect, as flawed, as greedy, as jealous, as violent as anyone else.”

[…Budha mengajarkan bagaimana cara berinteraksi dengan realitas, dan itu termasuk soal kemiskinan, termasuk juga kekerasan, dan juga keserakahan diri… kami para penganut agama Budha pada hakikatnya sama tidak sempurnanya, sama rusaknya, sama serakahnya, sama dengkinya dan sama kejamnya seperti orang lain.]

Tentang Aung San Suu Kyi, yang telah banyak menerima kritik akibat kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi di negerinya, Zarni juga telah lama menyatakan tidak lagi berharap kepadanya. Suu Kyi, menurut Zarni, juga telah ‘terjerat’ oleh kekuasaan di negerinya kini.

Sampai hari ini, diskusi yang sangat hangat itu masih tersimpan rapi dalam ingatan. Saya berharap suatu hari nanti mendapat kesempatan untuk kembali berjumpa dengan Dr. Maung Zarni dan berdiskusi lebih banyak lagi dengannya. Kini, kita semua harus berjuang demi Rohingya, dengan cara kita masing-masing. Muslim atau Budha, apa pun agama kita, dan terutama jika kita masih mengaku sebagai orang yang beragama, wajiblah terketuk hatinya jika mengetahui apa yang terjadi pada orang-orang Rohingya. Jika manusia tidak lagi memperjuangkan kemanusiaan, lantas kita ini apa?

 

Anda dapat membaca jawaban-jawaban Dr. Maung Zarni atas sejumlah pertanyaan yang kerap diajukan seputar Rohingya di sini. Ada sebuah wawancara menarik yang bisa dibaca di sini, dan juga sebuah wawancara yang dilakukan di Indonesia, ketika saya berjumpa dengannya (jika Anda teliti, pasti menyadari bahwa batik yang dikenakan pada gambar di artikel ini sama dengan yang dikenakannya saat berfoto dengan saya). Anda juga dapat melanjutkan dengan membaca sebuah artikel tanya-jawab imajiner yang bermanfaat karya Gregory Poling, yang dapat membuat Anda lebih memahami struktur kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya yang sesungguhnya.

 

wassalaamu’alaikum wr. wb.

4 Comments
  • Yudhit Ingsam
    Posted at 07:47h, 05 September Reply

    Assalammualaykum kang,… jika boleh sekedar bertanya, pada paragraf ke 14 dikemukakan alasan utama yg menyebabkan pemerintah junta militer myanmar melakukan propaganda atas etnis muslim rohingya sampai kepada tindakan ultra represif (kalo g mau dibilang genosida) adalah hanya karena ingin memiliki kekuasaan penuh pada daerah yg diokupansi oleh mayoritas rohingya?, lalu bukankah myanmar itu negara berdaulat? sebagai negara bukankah myanmar memiliki hak untuk mengatur seluruh wilayahnya? kenapa harus repot2 berfikir dengan segala retorika dan propaganda yg dijalankan selama ini?,… boleh dibantu pencerahannya?

    • malakmalakmal
      Posted at 12:16h, 05 September Reply

      Sebagaimana pendapat Dr. Maung Zarni yg saya kutip di dlm artikel, nampaknya Junta Militer menganggap cara ini cukup efektif. Wilayah itu sudah ada penghuninya, jadi harus dikosongkan. Kalau sekedar main kasar, itu mudah, tapi nanti akan ada campur tangan luar. Itu yg paling tdk dikehendaki. Maka dibangunlah narasi soal ‘imigran gelap’. Cara2 junta militer Myanmar ini mirip dgn cara kaum Zionis memberikan pembenaran atas penjajahannya di Palestina (dan dgn melakukan demikian, maka resistansi dari luar negeri dapat diminimalkan). Sejak awal, kaum zionis jg membangun narasi ‘the land without people for the people without land’, jadi seolah2 di tanah Palestina itu sebelumnya tak pernah ada peradaban. Semua bukti arkeologis mereka rampok, sejarah mereka tulis ulang, dan seterusnya. Tujuannya agar org benar2 lupa bahwa pernah ada orang2 Palestina di sana. Junta militer Myanmar pun begitu. Mereka berusaha agar dunia lupa bahwa di Arakan / Rakhine itu pernah ada orang2 Rohingya.

  • Septi Malian Hidayat
    Posted at 14:54h, 30 September Reply

    Ust. Afwan, izin buat shere tulisannya. Mau kita muat di majalah.

    • malakmalakmal
      Posted at 14:13h, 02 October Reply

      Silakan. Dimuat di majalah mana ya? Pengen lihat juga kalo bisa 🙂

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.