Balada Anak DKM
789
post-template-default,single,single-post,postid-789,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Balada Anak DKM

Balada Anak DKM

DSC_0134

assalaamu’alaikum wr. wb.

Rohis kembali mendapat sorotan. Setelah bertahun-tahun yang lalu sebuah stasiun televisi swasta secara serampangan mengaitkan rohis dengan radikalisme, kini muncul kembali wacana untuk mengawasi kiprah rohis. Muaranya sama, yaitu sesosok hantu yang bernama terorisme. Untuk suatu alasan yang seolah tak perlu dikritisi lagi, teroris di kolong langit ini pasti Muslim, dan khusus di negeri ini, juga anggota rohis.

Kegaduhan ini membuat pikiran saya melayang ke masa lampau, jauh ketika saya masih menjadi anggota rohis di sekolah dulu, bahkan lebih jauh lagi. Banyak kenangan yang belum pernah saya bagi kepada siapa pun sebelumnya, mungkin karena belum ada kesempatan yang baik untuk melakukannya. Tapi rasanya saat ini adalah waktu yang tepat.

Sebelum bercerita singkat tentang pengalaman saya di rohis semasa SMA, ijinkan saya untuk bercerita tentang masa-masa akhir saya di SMP. Saat itu, pada tahun 1995, saya kehilangan seorang lelaki yang paling saya sayangi, yaitu almarhum Papa saya, yang wafat karena penyakit jantung. Saya tidak pernah dikenal sebagai anak yang pendiam, tapi pada saat yang bersamaan juga tidak pernah berbicara tentang perasaan, tak pernah punya teman dekat, dan belum lagi menemukan ketertarikan dalam hal tulis-menulis. Banyak yang mengira saya sangat tabah menghadapi kehilangan itu, karena memang tak banyak yang tahu bagaimana saya mengalami breakdown ketika Papa saya telah dikafani. Keluarga sengaja membawa saya ke belakang agar Mama tidak melihat, walaupun mungkin pada akhirnya tahu juga.

Saya baru menjelang usia 15 tahun ketika semuanya terjadi. Saya mengerti betul rasanya jadi anak remaja yang labil dan manja di satu hari dan, karena dipaksa keadaan, harus menjadi lelaki dewasa di hari berikutnya. Saat itu, kakak pertama saya sudah kuliah di Bandung, dan kakak kedua saya menjelang kelulusannya di SMA, dan tak berapa lama kemudian pindah juga ke Bandung. Maka, si bungsu pun mau tak mau harus memantaskan diri untuk menjadi satu-satunya lelaki di rumah.

Ada begitu banyak tangis yang tak pernah diceritakan pada masa-masa itu. Penyesalan terbesar saya adalah karena Papa pergi ketika prestasi saya di sekolah sedang jelek-jeleknya. Ya, sebelum segala kejadian ini, saya adalah remaja belasan tahun biasa yang filosofi hidupnya tidak terlalu jauh dari coba-coba. Kata orang, ‘mencari jati diri’, walaupun kini saya merasa itu cuma pembenaran saja. Kalau ada masa-masa paling buruk dalam hidup saya, itulah masanya! Justru pada saat itulah Papa saya wafat. Saya benar-benar marah pada diri sendiri, dan rasanya sampai saat ini pun belum bisa benar-benar memaafkan diri.

Saya berhasil ‘membalas’ keterpurukan itu dengan memperbaiki prestasi saya. Dalam waktu singkat, nilai-nilai saya membaik, bahkan kemudian saya berhasil lulus dan diterima di SMAN 1 Bogor, yang sejak dulu dianggap sebagai sekolah favorit di Kota Hujan. Akan tetapi, masih ada lubang dalam jiwa, karena saya belum sanggup berdamai dengan masa lalu.

Setelah kelulusan, jelang dimulainya tahun ajaran baru, salah seorang paman saya mendaftarkan saya ke sebuah pesantren kilat. Sanlat istimewa yang satu ini diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa Republika di lokasi yang kemudian digunakan untuk Al-Kausar Boarding School, Sukabumi. Saat itu, belum banyak fasilitas gedungnya, namun ada beberapa bangunan yang sudah berdiri rapi dan dimanfaatkan untuk kegiatan sanlat selama beberapa hari.

Sanlat ini adalah salah satu titik balik dalam kehidupan saya. Di sini, pada tahun 1996, saya berkenalan dengan Pak Ahmad Mansur Suryanegara, dan juga Aa Gym. Sesi muhasabah setelah Subuh di hari terakhir bersama Aa Gym (waktu itu saya sama sekali belum pernah mengenal beliau) begitu berkesan, karena saat itu sayalah yang menangis paling keras. Tidak ada yang tahu kenapa, karena memang saya tak pernah bercerita. Dan saat itu pula saya berkenalan dengan kakak pembimbing kami yang kini wajahnya sudah langganan muncul di TV, yaitu Mas Agus Idwar (dulu kami memanggilnya: Kak Agus).

Setelah sanlat itulah baru saya menyadari bahwa tak ada yang mampu mengobati hati selain agama. Agamalah yang mengingatkan manusia akan hakikat dirinya, membantunya memahami segala hal yang dihadapinya dalam hidup, menguatkannya di hadapan cobaan, dan menundukkannya di tengah kejayaan. Karena itu, di masa orientasi sekolah, ketika kami diperkenalkan dengan berbagai organisasi dan ekstrakurikuler, saya langsung menetapkan pilihan: saya wajib ikut rohis! Selain itu, hukumnya sunnah.

Salah satu hal yang menarik perhatian dari sekolah kami, yaitu SMAN 1 Bogor,  adalah karena sekolah ini ternyata tidak punya rohis. Ya, karena memang yang namanya ‘rohis’ itu disebut sebagai DKM Ar-Rahmah di sekolah kami. Jadi kalau di sekolah lain banyak ‘anak rohis’, maka di SMAN 1 Bogor ada ‘anak DKM’.

Kami bersekolah di masa-masa transisi antara Orde Baru dan Orde Reformasi, dengan segala kebaikan dan keburukannya. Krisis moneter yang menghantam Indonesia secara tiba-tiba membuat kehidupan terasa semakin berat. Di sisi lain, semakin melemahnya Orde Baru juga berimbas pada berbagai kebijakan sekuler yang telah dipertahankan bertahun-tahun lamanya.

Kehidupan sekolah pada masa itu sangat jauh berbeda dengan sekarang. Jika sekarang sudah jamak saja siswi berhijab (bahkan hijab kini sudah menjadi salah satu ‘aliran’ dalam dunia fesyen), maka waktu saya SMP dulu, hanya segelintir saja yang berhijab. Dari satu angkatan yang jumlahnya lebih dari tiga ratus orang, rasanya yang berhijab tak sampai sepuluh orang. Kondisi itu mulai berubah ketika saya SMA. Hampir setiap bulannya ada teman yang memutuskan untuk mulai mengenakan hijab. Dan kami cukup bangga juga saat itu, karena dulu hanya di SMAN 1 Bogor saja (atau mungkin ada sekolah lain juga, tapi rasanya tidak banyak) siswi berhijab diperbolehkan untuk tidak memasukkan kemejanya ke dalam rok, sehingga kemejanya bisa menutupi pinggul.

Meski begitu, tidak berarti urusan hijab ini mulus-mulus saja. Masih banyak pejabat yang cara berpikirnya masih mengikuti ‘pakem Orde Baru’. Saya masih ingat berbagai kebijakan yang tidak masuk akal (dan hal ini saya sampaikan secara blak-blakan kepada beberapa guru) kepada para siswi yang berhijab. Awalnya, berhijab diperbolehkan, tapi untuk bikin pas foto, hijabnya harus dilepas. Keadaan semakin membingungkan ketika ada wacana untuk memperbolehkan berfoto dengan hijab, asalkan telinganya diperlihatkan. Di mana urgensi kedua daun telinga untuk identifikasi diri? Amat disayangkan, di institusi sekolah yang semestinya menjunjung tinggi rasionalitas, pernah terjadi perdebatan yang sangat jauh dari akal sehat seperti itu.

Kembali pada kehidupan kami saat itu sebagai anak DKM. Namanya juga anak DKM, sehari-harinya kami di Masjid. Kami berusaha sering-sering melaksanakan Shalat Dhuha, walaupun cuma beberapa raka’at dan tidak konsisten. Baru saat itulah saya sering membaca Al-Qur’an, karena memang disuruh saat mentoring. Shalat di masjid, mentoring di masjid, rapat pun di masjid juga. Masjid menjadi ‘tempat perhentian wajib’ semasa di sekolah, disusul dengan lapangan basket di posisi kedua.

Soal mentoring, ada juga pengalaman berkesannya. Suatu hari, Mama saya menyatakan kekhawatirannya karena saya sepekan sekali pergi di luar jam sekolah untuk mentoring, walaupun sudah saya katakan bahwa mentoringnya ya di sekolah juga. Saat itu memang sedang santer pemberitaan tentang aliran sesat yang disebut N11, yang begitu ekstremnya hingga mengkafirkan orang tua sendiri dan menghalalkan hartanya untuk diambil dengan cara apa saja, mungkin karena dianggap sebagai ghanimah (rampasan perang). Waktu itu, saya dengan santainya berkata, “Tenang aja Ma, kalo duit Mama nggak ada yang hilang, berarti mentoring Akmal baik-baik saja.”

Dan memang kenyataannya baik-baik saja. Dalam mentoring itu, kami diwanti-wanti untuk berbakti kepada orang tua, bukan malah mengkafirkannya. Kami diajari hidup hemat agar bisa sedekah, bukan mencuri untuk disetor kepada pimpinan. Tentu saja, yang rajin mentoring, apalagi anak DKM, biasanya jauh dari berbagai macam kenakalan, mulai dari bolos sekolah, merokok, pacaran, sampai tawuran. Narkoba? Waduh, itu malah nggak pernah dibahas, saking jauhnya!

Yang disebut ‘anak DKM’ bukan berarti hanya aktif di DKM saja. Banyak yang juga sangat aktif di OSIS, Pramuka, PMR, bahkan di angkatan saya, ada beberapa unit bela diri yang diketuai oleh anak DKM juga. Karena itu, anak DKM punya berbagai imej, mulai dari ‘penghuni tetap’ di masjid, organisatoris, ahli bela diri, sampai juara kelas. Menurut saya, itu konsekuensi logis dari sekelompok orang yang berusaha mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Sungguh wajar jika mereka yang mempelajari Islam menjadi pribadi yang menonjol di bidangnya masing-masing. Justru tidak wajar jika yang terjadi malah sebaliknya.

Salah satu pengalaman yang paling terkenang dalam jiwa adalah ketika kami harus berdebat agak kencang dengan guru menjelang orientasi siswa baru (saat itu saya sudah naik ke kelas 2 SMA). Dalam sebuah pertemuan, Wakasek Kesiswaan saat itu menetapkan bahwa DKM Ar-Rahmah dipercaya untuk memimpin shalat zhuhur dan doa sesudah shalat di sepanjang masa orientasi, tapi hanya itu. Banyak teman yang kecewa dan kami kasak-kusuk di barisan belakang, mendiskusikan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Saat itu, dengan level kenekatan yang belum pernah saya alami sebelumnya, saya meminta ijin berbicara. Di hadapan para guru, dengan tetap menjunjung tinggi kehormatannya, saya bicara terus terang bahwa keputusan tadi amat mengecewakan. Jika orang ikut OSIS untuk belajar berorganisasi, ikut Pramuka untuk belajar survival, dan ikut PMR untuk menumbuhkan jiwa sosial, maka saya tegaskan bahwa kami bergabung di DKM untuk berdakwah, dan dakwah itu untuk menyelamatkan generasi. Tugas kami di DKM bukanlah sekedar menggiring siswa ke masjid, menyuruh mereka shalat dan tilawah atau memimpin doa, melainkan jauh lebih penting daripada itu. Karena itu, kami dengan senang hati akan memimpin kegiatan shalat berjamaah dan doa bersama di sepanjang masa orientasi, bahkan di sepanjang tahun, namun sekolah sudah sepantasnya memberikan hari khusus untuk DKM agar bisa memperkenalkan dirinya secara utuh kepada siswa-siswi yang baru masuk. Ini bukan lagi soal sosialisasi, karena agama itu bukan ekstrakurikuler.

Rapat berakhir tanpa jawaban. Satu atau dua hari sesudahnya, barulah kami mendapat kabar bahwa usul saya diterima dengan baik. Alhamdulillaah. Dakwah mendapatkan tempat yang cukup layak di sekolah, karena memang sudah sepantasnya demikian.

Masih banyak yang bisa saya ceritakan tentang masa-masa itu. Di DKM, kami belajar mengakrabkan diri, sehingga nasi dua bungkus digabungkan menjadi satu dan nikmat dimakan bersama. Kami belajar mengucapkan salam dan berjabat tangan kapan saja bertemu, dan menutup perbincangan dengan doa kafaratul majlis. Bahkan saya masih mengingat jelas bagaimana kami mengikuti acara mabit di sekolah, dibangunkan di tengah malam dan disuruh menyusuri jalan-jalan gelap di luar sekolah untuk menyaksikan pemandangan asli tentang umat ini, menerima segala kekurangannya dan mendoakan kebaikan untuknya.

Begitulah yang kami pelajari di DKM, dan saya rasa juga pasti dialami oleh semua anak rohis. Kalau cuma ingin belajar agama, kita bisa mendapatkannya di mentoring. Tapi di sini, di rohis atau DKM, sehari-harinya kami memikirkan umat. Segala kerusakan di negeri ini adalah sumber kesedihan kami, dan setiap pagi kami beranjak dari tempat tidur untuk mengingatkan manusia akan harkat dan martabatnya sendiri. Selangkah demi selangkah, pada akhirnya akan terlalui juga seribu langkah. Kami melawan kelelahan sehingga kelelahan itu lelah mengikuti kami.

Dan engkau, di mana posisimu ketika fitnah ini berkecamuk?

wassalaamu’alaikum wr. wb.

2 Comments
  • Pingback:Akmal Sjafril | Mencetak Manusia yang Baik
    Posted at 14:47h, 19 July Reply

    […] dalam lembaga dakwah di kampusnya masing-masing. Tapi yang terakhir ini agak runyam juga, karena rohis dan dakwah kampus adalah pihak yang paling gampang untuk diberi stigma […]

  • Gurilem
    Posted at 14:09h, 20 August Reply

    Rendah hati banget nih…. lulus UMPTN sama masuk Teknik ITB nya kok nggak diceritain? Penting lho itu 🙂 supaya pembaca tau kalau anak DKM pinter2 secara akademis juga…

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.