Berhala di Kampung Kami
1056
post-template-default,single,single-post,postid-1056,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Berhala di Kampung Kami

Berhala di Kampung Kami

Geger. Di kampung kami yang sederhana, baru sekali ini terjadi. Memang kampung kami ini tidak selalu damai sentosa aman tenteram sejahtera, tapi tidak ada yang menyangka akan begini. Tiap beberapa tahun sekali, memang ada gejolak seputar perebutan kursi kepala desa, atau mungkin berebut hak waris. Tapi baru kali ini kekuasaan diperebutkan di langgar!

Pak Ustadz, imam langgar kami, juga tak habis pikir. Entah apa yang diributkan. Langgar kami bahkan belum diberi nama, meski sudah beberapa tahun dibangun. Soal nama langgar saja tidak pernah diributkan, apalagi soal jabatan.

“Entah, saya juga bingung. Tugas saya cuma mengimami shalat saja. Saya cuma imam shalat, merangkap marbot. Di sini tempat saya shalat, geser sedikit sampai ke tempat saya tidur. Entah apa menariknya langgar ini, sampai rebutan segala,” ujar Pak Ustadz sambil garuk-garuk kepala.

Pikiran beliau memang sederhana. Beliau hadir beberapa pekan setelah langgar ini berdiri. Awalnya, warga kampung sepakat bahwa kita perlu tempat untuk shalat. Masjid terdekat ada di balik bukit, di kampung sebelah yang memang agak lebih ramai. Setelah langgar didirikan, barulah kebingungan melanda. Yang sudah mengerti cara shalat dengan baik hanya sedikit, yang berani jadi imam malah tak ada. Untunglah Bang Uki yang suka keluar-masuk kampung sini untuk jual perabot kreditan mau membantu mencarikan imam dari kampung lain. Kadang-kadang orang yang satu itu ada gunanya juga.

Maka datanglah Pak Ustadz, mengajari orang shalat. Lumayan, yang tadinya peserta shalat cuma hitungan jari tangan, kini menghitungnya harus pakai tangan dan kaki. Tapi tugas Pak Ustadz memang cuma begitu saja. Dia sama sekali tidak paham politik.

“Saya beneran nggak tau, Bang. Kalau shalat memang saya imamnya. Tapi urusan lain, saya tidak tahu. Ini pintu langgar perlu diperbaiki engselnya, tapi saya nggak bisa apa-apa kalau belum dikasi dananya,” ujar Pak Ustadz lagi dengan mata nanar. Saya rasa dia sudah lama tidak tidur di kamar yang pintunya berfungsi dengan baik.

Pak Ustadz memang disenangi karena keramahannya, dan juga karena setia mengimami shalat warga sini. Soal kemakmuran langgar, Pak Ustadz cuma bisa kirim laporan saja. Ada beberapa orang tua di kampung sini, para inisiator langgar, yang di usia pensiunnya berjibaku mengajak orang untuk rajin shalat dan peduli pada langgar.

“Badan sudah uzur, anak-anak sudah hidup sukses di luar kampung, hidup cukup dari dana pensiun. Mau apa lagi. Setidaknya saya sudah mewariskan langgar ini. Mumpung masih ada umur, mudah-mudahan belum terlambat,” begitu tutur Aki Bana setiap kali ada yang bertanya tentang sejarah langgar ini.

“Aki Bana ini suka merendah, padahal jasanya besar. Kalau bukan beliau yang ngomong, mungkin warga tak akan mau mendengar, apalagi menyumbang,” sahut Aki Darsa sambil menepuk akrab dengkul Aki Bana yang duduk di sebelahnya.

“Warga menyumbang rame-rame juga karena melihat contoh dari Aki Darsa. Justru Aki Darsa ini yang paling besar sumbangannya,” balas Aki Bana memuji, sementara yang dipuji hanya menoleh terkekeh sambil menyeruput teh manisnya. Memang kedua kakek ini bersahabat sejak lama. Waktu muda saling ledek, setelah tua baru saling memuji.

Masih ada Pak Satam yang baru bulan lalu menyatakan pensiun dari pekerjaannya sebagai tukang bangunan. Beliau orangnya diam-diam saja, tapi semua masalah dibereskannya. Setelah diputuskan untuk membangun langgar, tanpa banyak bicara, tahu-tahu besoknya Pak Satam sudah langsung menggali pondasi. Kalau ada urusan dengan bangunan langgar, beliau yang paling cepat bertindak, asalkan duitnya sudah ada. Tapi beliau sendiri tak pernah mau dibayar pakai duit.

“Asal bisa ngopi tiap hari, insya Allah semua kerjaan beres. Untuk langgar ini, saya gak itung-itungan,” begitu kata beliau dulu sambil senyam-senyum simpul. Memang bicaranya singkat-singkat begitu.

Kalau bicara soal aktor intelektual, nama Bang Ahmadi juga harus disebut. Yang satu ini malah tidak tinggal di kampung, tapi sekali sepekan pasti menyempatkan pulang. Di kampung ini masih ada ibunya yang sudah renta dan beberapa saudaranya. Ibunya tidak mau diajak pindah. Biasalah orang tua. Sudah terlanjur cinta, tak mau diajak berkenalan dengan hiruk-pikuk kota. Penat.

Bang Ahmadi jarang di kampung, tapi cukup apik mengatur proyek pembangunan langgar dan pemakmurannya. Semua dicatat rapi; uang masuk, uang keluar, apa yang dibeli, dibeli di mana dan kapannya, semua jelas. Sumbangan ke langgar setiap bulan dikelola dengan baik, dan Pak Ustadz bisa makan kenyang, walau sayangnya belum tidur dengan layak.

Ada beberapa orang lain yang agak muda atau seumuran Bang Ahmadi, misalnya Bang Asrip, Bang Tarno, si Icam, Kusin, Kusno, Topo, Amat dan Madi. Saya juga termasuk rajin shalat di langgar, tapi terus terang tak ada jasanya selain meramaikan shaf.

Apa sudah saya bilang bahwa kini kampung kami geger? Ya, itu semua berawal sejak si Kusin mulai senewen sendiri. Entah dapat ide dari mana, saat para tetua asyik menyeruput teh dan kopinya, tiba-tiba Kusin dengan antusias bilang bahwa langgar ini butuh kepemimpinan baru. Jelas semua dahi mengernyit. Kepemimpinan baru? Kepemimpinan apa?

“Kamu mau jadi imam shalat, begitu?” kata Aki Bana dengan polos.

“Bukan begitu, Aki. Tapi langgar ini sudah saatnya dipimpin oleh orang yang punya gagasan-gagasan baru. Anak muda yang punya ide-ide segar dan revolusioner!” sahut Kusin.

“Memangnya selama ini langgar dipimpin siapa?” tanya Aki Bana lagi. Lalu para hadirin berhenti menyeruput minuman hangat dan mulai menoleh kanan-kiri.

Ya, siapa pemimpinnya? Tidak pernah ada yang mendiskusikan soal ini sebelumnya. Warga kampung tak suka yang rumit-rumit, apalagi kampung ini cuma dihuni oleh puluhan kepala keluarga saja. Langgarnya cuma satu, kecil lagi. Semua sudah cukup senang karena bisa shalat berjamaah, berkat kehadiran Pak Ustadz. Tidak ada yang pernah bahas soal kepanitiaan atau kepengurusan. Yang ada cuma forum duduk-duduk tiap sore di akhir pekan dengan teh dan kopi sumbangan dari Warung Bi Umi atau dari Mak Uci yang tinggal di belakang langgar.

Semua orang bingung dengan ambisi yang serba asing ini. Langgar sekecil ini, kok ada yang berambisi ingin memimpin? Saya juga tak habis pikir. Setelah mewawancarai para tetua dan seluruh anggota keluarga si Kusin, saya pun masih belum mengerti. Sementara itu, orangnya malah makin senewen karena tak ada yang menanggapi idenya.

Diam-diam, suatu malam, Kusin mampir juga ke rumah saya. Sambil menghirup kopi, saya menyimak baik-baik ide revolusionernya.

“Orang-orang tua ini memang banyak jasanya, tapi sudah tidak bisa mengejar jaman. Kemajuan tak bisa dilawan. Cepat atau lambat kampung dan langgar ini harus mau menyesuaikan diri,” ujarnya. Saya mendengarkan dengan seksama.

“Untuk melangkah maju, kita harus berani. Saya punya banyak gagasan untuk langgar ini. Saatnya anak muda dipercaya, karena dunia ini berputar dengan kekuatan para pemuda,” ujarnya lagi. Saya menyeruput sambil mengangguk-angguk, demi sopan santun.

“Orang-orang tua ini sudah tidak bisa menerima kritik. Kamu lihat sendiri sikap mereka waktu itu. Tidak ada yang mau mendengar. Mereka sudah jadi berhala,” ujarnya dengan setengah berteriak. Saya tersedak. Kopi masuk ke hidung. Minta ampun.

Insiden tersedak kopi akhirnya menyelamatkan saya dari pembicaraan ngawur malam itu. Dengan tergopoh-gopoh, istri membawakan tisu. Tapi saya sudah benar-benar kalut, terpaksa lari ke kamar mandi. Saat saya kembali ke beranda, Kusni ternyata sudah tak ada. Dia sudah minta diri saat saya di kamar mandi.

Esoknya, mulailah Kusni berkhotbah di luar langgar. Para tetua disebut berhala, langgar disebut tempat penyembahannya. Pak Ustadz yang paling bingung, karena sepengetahuannya, para tetua itu selalu di belakang beliau saat shalat, bukan di depannya.

“Siapa yang menyembah Aki-aki itu? Saat sujud, mereka tidak ada di depan saya. Kita shalat tetap menghadap kiblat, bukan ke rumah mereka,” sahut Pak Ustadz.

Terakhir saya jumpai, Pak Satam cuma membuang muka saja sambil membetulkan pintu langgar. Wajah cemberutnya sudah memberikan jawaban. Dia memang tak paham politik. Maklum, cuma pensiunan tukang bangunan. Asal ada duit dan kopi, langgar ini bisa dibikinnya jadi bangunan tiga lantai. Tapi keributan ini benar-benar bikin beliau tak nyaman.

Aki Bana jadi makin melankolis, sementara Aki Darsa jadi uring-uringan karena sahabatnya disebut berhala. Padahal dia juga termasuk yang disebut-sebut sebagai berhala, tapi penistaan terhadap sahabatnya itu nampaknya lebih menyakitkan.

Si Amat dan si Topo saya dengar juga sudah ikut-ikutan senewen kayak si Kusin. Mereka ikut menyebarkan isu bahwa para aki tidak mau mendengar masukan. Anehnya, tidak ada yang tahu masukan apa yang pernah disampaikan oleh si Amat, si Topo dan si Kusin, dan tak ada yang tahu kapan mereka memberikan masukan. Kampung ribut karena gagasan, gagasan dan gagasan, tapi tak ada yang tahu gagasan itu soal apa. Sementara, ketiga kawan muda kita itu kini tak pernah lagi datang ke langgar, bergabung bersama anak-anak muda revolusioner lainnya yang memang dari dulu jarang ke langgar. Bahkan yang tak pernah ke langgar pun kini semangat bicara soal pergantian kepemimpinan di langgar.

Bang Ahmadi, yang masih sekali sepekan kembali ke kampung, cuma ketawa miris saja mendengar isu berhala. Tapi saya sakit hati.

“Kesal saya, Bang! Mereka ribut sekali, menyebut si Kusin sebagai anak muda yang paling berjasa di langgar. Kalau mau hitung-hitungan jasa, Abang lebih pantas untuk disebut,” sahut saya sambil marah-marah.

“Hus, jangan ngomong begitu,” kata Bang Ahmadi.

“Tapi benar kan, Bang?” desak saya lagi.

“Ustadz saya di kota berpesan, jangan pernah besar kepala. Jangan merasa kenal dunia kalau belum ketemu kota, apalagi kalau belum pernah keluar kampung. Kalau urusan langgar sekecil ini saja sudah bikin takabbur, berarti kita memang belum pantas dapat amanah yang lebih besar,” ujar Bang Ahmadi. Saya pun terpana. Jarang-jarang dia bicara dengan kalimat sepanjang ini. Beginilah kalo sekolah dikelarin, kata saya dalam hati.

Kesimpulan akhirnya, saya kalah debat dengan Bang Ahmadi. Mau tanding ulang susah, karena harus menunggu akhir pekan, saat ia balik menjenguk ibunya. Ya sudahlah.

Di luar sana, propaganda anti berhala terus dilancarkan. Si Kusin makin dielu-elukan oleh penggemarnya. Sungguh heroik kata-katanya. Sang penumpas kemusyrikan, sang penggagas revolusi, musuhnya semua berhala.

Suatu pagi, adik saya yang masih gadis, si Ati, tiba-tiba saja ikut berkomentar. Dia tahu saya resah dengan keributan ini.

Nggak usah terlalu dipikirin si Kusin itu,” ujarnya.

“Ya, maunya begitu. Tapi berhenti mikir itu susah juga rupanya,” jawab saya.

“Si Kusin itu bicara soal kepemimpinan karena dia sendiri ingin memimpin,” sahut si Ati lagi.

“Ya, memang. Tapi banyak yang termakan omongannya,” jawab saya lagi.

Nggak banyak-banyak amat. Lagipula, nanti juga mereka ngerti, kalau masih ada akalnya. Ntar mereka akan tahu si Kusin itu aslinya bagaimana,” kata si Ati sambil menyeruput teh yang semestinya buat saya.

“Memang dia bagaimana?” tanya saya dengan rasa penasaran, sampai lupa bertanya kenapa teh saya malah dia seruput sendiri.

“Dia menuduh orang lain berhala, padahal pengikutnya sendiri memberhalakan dia. Dia sendiri yang bicara kekuasaan, yang lain tenang-tenang saja. Ini kayak Fir’aun yang bicara dengan kata-kata Nabi Musa, Bang,” jawabnya dengan kalem.

“Tapi pendukungnya mengira dia Nabi Musa,” ujar saya lagi.

“Memangnya laut mana yang sudah dia belah?” sahut si Ati sambil tertawa kecil.

“Kalau kita biarkan saja dia ngomong terus, lalu gimana?” cecar saya.

“Abang ini rajin ke langgar tapi risau terus. Memang dari dulu, nasib penyembah berhala gimana sih, Bang?” ujar si Ati sambil ngeloyor pergi membawa cangkir yang sudah kosong, meninggalkan saya yang tak kebagian teh hangat.

Ya Allah, sejak kapan si Ati jadi cerdas begini?

 

Depok, 8 Januari 2018

Tags:
2 Comments
  • Raka abiasa
    Posted at 10:45h, 10 January Reply

    Sindiran yg ngena

    • malakmalakmal
      Posted at 17:37h, 10 January Reply

      Beruntunglah yang paham 😀

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.