Intelektual dan Media Sosial
1431
post-template-default,single,single-post,postid-1431,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Intelektual dan Media Sosial

Intelektual dan Media Sosial

assalaamu’alaikum wr. wb.

Media sosial (medsos) memang jagad tersendiri yang sangat unik. Di satu sisi, kita bisa menyebutnya sebagai dunia yang penuh kepalsuan. Banyak orang berlagak baik, padahal aslinya tidak. Ada juga yang bagaikan harimau di dunia maya, padahal cuma ‘kucing rumahan’ di dunia nyata. Tapi di sisi lain, dunia maya juga bisa menarik kepribadian asli seseorang ke permukaan. Seseorang yang biasanya pendiam namun ternyata suka bicara kasar di dunia maya bisa jadi tengah memperlihatkan wajah aslinya yang selama ini tidak bebas ia perlihatkan dengan berbagai alasan; bisa karena kurang percaya diri, kepengecutan, menjaga imej atau alasan-alasan lainnya.

Perlawanan terhadap Islam liberal, misalnya, justru menemukan momentumnya setelah medsos menjadi primadona, terutama sekali Twitter. Jika sebelumnya perbincangan soal Islam liberal hanya muncul di forum-forum diskusi dan karya-karya ilmiah kaum cendekiawan, maka setelah dasawarsa pertama di tahun 2000-an, kita menyaksikan tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) menebarkan jerat pemikirannya lewat media sosial. Akan tetapi, hal ini malah menjadi bumerang bagi JIL, sebab Twitter justru berhasil mengungkap wajah asli para pengusungnya. Mereka yang selama ini nampak elegan dalam tulisan-tulisannya ternyata jauh dari intelek di Twitter. Mereka yang selalu bicara soal toleransi, ‘Islam ramah dan bukan Islam marah’, pada kenyataannya justru menebar caci-maki di medsos. Memang makalah bisa diedit sebelum dipublikasikan, dan ceramah bisa dilatih sebelum dibawakan di depan umum. Akan tetapi, kicauan di Twitter biasanya adalah ungkapan isi hati yang sesungguhnya.

Karena itu, lahirlah gerakan #IndonesiaTanpaJIL (ITJ) yang malah lebih masif ketimbang JIL yang sampai sekarang hanya bergerak sembunyi-sembunyi. Pada akhirnya semua sadar bahwa perbincangan seputar Islam liberal memang sesungguhnya tidak layak dibawakan di forum-forum serius, sebab ia tidak lebih dari pemikiran yang dikarang-karang, ditambal-sulam, tanpa pernah dipraktikkan dengan serius oleh para pencetusnya sendiri. Mereka yang bicara soal toleransi itulah yang paling intoleran, mereka yang bicara soal rasionalitas itulah yang justru paling irasional. Bahkan ada tokoh JIL yang pernah mengekspresikan rasa frustasinya lantaran pemikiran Islam liberal justru tidak diterima di jurusan-jurusan sains. Semua ini terjadi karena mereka yang belajar sains itulah yang sesungguhnya akrab dengan logika, namun tentu berat bagi mereka untuk mengakui hal ini. Pada akhirnya, perilaku mereka yang penuh kontradiksi itu menjadi santapan sehari-hari di medsos, sehingga pada akhirnya identitas JIL itu sendiri pelan-pelan mereka tinggalkan.

Tragedi yang menimpa aksi 22 Mei 2019 yang lalu juga mengundang perbincangan ramai di medsos, termasuk di Twitter. Seperti contoh-contoh sebelumnya, perbincangan ini juga sukses mengungkap hal-hal yang sebelumnya tersembunyi dari kepribadian seseorang (atau dalam hal ini, banyak orang).

photo6332383568453544113Poltak Hotradero, peneliti senior di Bursa Efek Indonesia (BEI), pastilah bukan orang yang terbiasa menebar caci-maki di dunia kerjanya. Ia juga bukan orang baru di dunia maya. Saya mengenalnya sejak jaman Multiply, sempat berdebat beberapa kali dengannya tentang sejumlah topik, yang biasanya adalah seputar ajaran Islam.

Kali ini, nampaknya Poltak benar-benar telah kehilangan kendali. Temperamennya naik seketika mengomentari berita tentang kehadiran Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, yang turut mengangkat keranda salah seorang korban di Tanah Abang. Dengan penuh kemarahan, Poltak menghardik lewat akun Twitternya: “Eh ‘nyet urusan loe itu dengan orang-orang yang masih hidup dan sedang berjuang supaya keadaan kota loe jadi kembali tertib.” Tidak cukup sampai di situ, Poltak pun melanjutkan, “Nggak perlu jadi Gubernur kalau kerjanya cuma mengangkat keranda.”

Ada sejumlah kesalahan serius yang dilakukan Poltak di sini, yang sesungguhnya sangat tidak layak dilakukan oleh kalangan terdidik seperti dirinya. Pertama, hanya karena Anies Baswedan terlihat mengangkat keranda, bukan berarti bahwa kerjanya hanya mengangkat keranda. Itu adalah dua hal yang sangat berbeda. Sama halnya seperti seorang pejabat yang meresmikan sebuah bangunan atau fasilitas umum dengan menggunting pita, lantas kita menyebutnya sebagai orang yang kerjanya hanya menggunting pita, seolah-olah ia tak punya kontribusi lain di luar hal tersebut.

Kedua, meski mengangkat keranda sama sekali tidak tercantum dalam job description seorang gubernur, dan memang tindakan ini mengandung aspek simbolik, namun bukan berarti tak ada artinya. Malahan sebaliknya, sesuatu itu disebut ‘simbolik’ justru karena memiliki makna mendalam. Keranda memang bisa diangkat oleh siapa saja, akan tetapi kehadiran gubernur memberikan makna yang lain. Menurut Anies sendiri, kehadirannya pada saat itu adalah untuk menunjukkan bahwa negara memberi perhatian, menenangkan warga agar bentrokan tidak semakin meluas.

Ketiga, Poltak nampaknya belum memahami psikologi umat mayoritas di Indonesia, yaitu Muslim, yang dalam hal ini setidaknya bersumber dari dua konsep, yaitu konsep kepemimpinan dan persoalan kematian. Untuk persoalan kepemimpinan, Poltak boleh merujuk pada ayat yang sempat menyedot perhatian seluruh rakyat Indonesia beberapa tahun silam, yaitu ayat ke-51 dalam Surat Al-Maidah. Dalam ayat itu, disebutkan bahwa seorang Muslim dilarang menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai awliyaa’-nya. Adapun “awliyaa’” adalah bentuk jamak dari “waliy” (diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata “wali”), dan biasanya diterjemahkan sebagai “teman setia” atau “sahabat”. Sebenarnya, makna dasar dari kata “waliy” adalah “pelindung”. Karena itu, maknanya meliputi “sahabat”, “pemimpin”, sampai kepada “yang dipertuhankan” (untuk contoh terakhir, lihat QS. 2: 257). Semua makna ini memang benar, sebab dalam keadaan terancam, seseorang akan mencari perlindungan kepada sahabatnya, pemimpinnya, dan yang dipertuhankannya. Oleh karena itu, meski terjemahannya menyebutkan “sahabat”, makna sesungguhnya mencakup spektrum yang sangat luas tadi. Jika menjadi sahabat saja tak boleh, apalagi menjadikannya sebagai pemimpin. Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa dalam ajaran Islam, pemimpin itu memiliki kedekatan personal dengan rakyatnya, sebagaimana seseorang kepada sahabatnya. Oleh karena itu, seseorang yang membentak-bentak seorang ibu di hadapan kamera televisi dan mengucapkan kata-kata kotor dalam acara liputan langsung seperti yang dilakukan Ahok, misalnya, memang sama sekali tidak dapat diterima secara psikologis oleh umat Muslim.

Karena pemimpin itu harus dekat dengan rakyat, maka umat Muslim tidak bisa menerima pemimpin yang kerjanya hanya di balik meja, di istana atau di menara gading. Bicara soal kepemimpinan dalam perspektif Islam, pastilah merujuk kepada Rasulullah saw. Tidak ada yang bisa menampik kenyataan bahwa tokoh yang satu ini adalah individu yang paling berpengaruh di dunia; kata-katanya dihapalkan, perangainya ditiru dan akhlaq-nya dipelajari secara teliti oleh umatnya. Salah satu alasan dari kuatnya pengaruh beliau adalah karena kehadirannya di tengah-tengah umat dalam segala kondisi. Rasulullah saw memerintahkan shalat, sedangkan kakinya bengkak karena shalat. Beliau memerintahkan shaum dan bersedekah, sedangkan beliau adalah yang paling banyak shaum-nya dan paling ringan sedekahnya. Sahabat-sahabatnya payah berhijrah, sedangkan beliaulah yang paling payah menempuh perjalanan itu (karena rute yang diambilnya jauh lebih panjang dan rumit demi menghindari kejaran musuh). Beliau turut kelaparan saat diboikot di Mekkah, berjihad di barisan terdepan bersama umat, dan beliaulah yang turun tangan langsung saat para sahabatnya menemukan batu besar yang tak bisa dipecahkan ketika menggali parit untuk menghadapi Perang Khandaq.

Hal lain yang tak dipahami Poltak dari umat Muslim adalah bahwa mengurus jenazah adalah salah satu amal utama dalam Islam. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw menjelaskan enam hak seorang Muslim yang layak diterimanya dari saudara-saudaranya, yaitu: (1) menjawab salamnya, (2) memenuhi undangannya, (3) menasihatinya jika diminta, (4) menjawab “yarhamukallaah” ketika ia bersin dan mengucap “alhamdulillaah”, (5) menjenguknya di kala sakit, dan (6) mengantarkan jenazahnya setelah ia dijemput oleh kematian. Jenazah seorang Muslim diperlakukan dengan sangat mulia, mulai dari dimandikan, dikafani, dishalatkan, sebelum akhirnya diantarkan ke kuburannya dan dimakamkan baik-baik.

Masih dari riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw pernah ‘mengabsen’ para sahabatnya dengan bertanya siapa di antara mereka yang pada hari itu melaksanakan shaum, mengantar jenazah, memberi makan orang miskin dan menjenguk orang sakit. Semua pertanyaan itu dijawab dengan sempurna oleh Abu Bakar ra, kemudian Rasulullah saw menegaskan bahwa “Tidaklah semua itu ada pada seseorang kecuali dia pasti akan masuk Surga.” Abu Bakar ra, sebagaimana kita ketahu bersama, adalah sahabat terdekat Rasulullah saw dan yang terbaik di antara semua sahabatnya, yang di kemudian hari menjadi Khalifah pertama sepeninggal beliau. Jika amal ini layak bagi seorang Abu Bakar ra, pastilah ia layak bagi Anies Baswedan.

Oleh karena itu, bagi seorang Muslim, kehadiran seorang gubernur untuk mengangkat keranda jauh lebih dalam maknanya ketimbang sekedar kegiatan angkat-mengangkat. Itu adalah pemenuhan hak seorang Muslim, pemuliaan terhadapnya, dan karenanya, dapat diharapkan mampu mendinginkan suhu politik negeri yang mayoritas rakyatnya beragama Islam ini.

photo6332383568453544112Cuitan lain yang tidak kalah mengherankannya dan sangat kental nuansa kebenciannya berasal dari Nadirsyah Hosen, tokoh yang belakangan ini banyak dijadikan rujukan oleh kalangan liberal. Ketika tim medis Dompet Dhuafa dilaporkan mengalami penyerangan pada peristiwa 22 Mei 2019, komentar Nadirsyah sangat jauh dari simpatik: “Direktur Dompet Dhuafa ini dari TL-nya jelas pendukung 02.” Yang membuat tweet ini menjadi lebih janggal lagi adalah komentar di bagian akhirnya: “Saya lebih baik menyalurkan dana ZIS ke @nucare_lazisnu.”

Titik permasalahannya sudah sangat jelas. Pertama, penegasan soal dukungan dalam pilpres, apalagi dukungan pribadi seseorang dalam sebuah organisasi (dan belum terkonfirmasi pula), sangat tidak relevan untuk dibicarakan saat menanggapi sebuah tragedi kemanusiaan. Yang namanya tim medis mudah dikenali, dan sudah dipahami bersama bahwa tim medis tidak boleh disakiti. Apakah Nadirsyah hendak mengatakan bahwa para pendukung capres yang berbeda dengan dirinya boleh mengalami penganiayaan? Tentu logika ini tak bisa diterima oleh akal sehat.

Kedua, ‘promosi’ lembaga zakat di saat menanggapi musibah yang menimpa lembaga zakat lain sangatlah jauh dari kepantasan. Kita dapat meyakini bahwa apa yang dilakukan Nadirsyah sangat jauh dari strategi promosi yang dirancang oleh lembaga mana pun. Kenyataannya, ungkapan tidak simpatik ini memang kemudian menjadi bumerang, dan malah menjadi promosi gratis bagi Dompet Dhuafa (DD). Jadi, dapat disimpulkan bahwa apa pun yang diupayakan oleh Nadirsyah melalui cuitannya ini telah gagal total dan malah blunder.

Poltak dan Nadirsyah sama-sama tokoh yang kadung dikenal sebagai akademisi, namun kini reputasinya tercoreng karena akun media sosialnya sendiri. Paul Johnson, penulis buku Intellectuals, telah lama memberi perhatian pada tokoh-tokoh intelektual yang dipuja-puji pengikutnya namun gagal memperlihatkan karakter yang baik dalam kesehariannya. Begitulah problem ilmu di Barat, yang nampaknya tengah diimpor besar-besaran ke tanah air.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

13 Comments
  • Sunhaji
    Posted at 12:17h, 10 June Reply

    Suka sekali baca tulisan mas syafril..

    • malakmalakmal
      Posted at 21:10h, 10 June Reply

      Mohon doanya agar istiqamah 🙂

  • ANP
    Posted at 20:53h, 10 June Reply

    Twitmu mencerminkan isi hatimu… Ngetwit yg baik atau diam

    • malakmalakmal
      Posted at 21:13h, 10 June Reply

      Pada akhirnya isi hati akan tercermin dari keseluruhan perbuatan kita. Semua tahu, mestinya berkata baik atau diam. Tapi kalau isi hatinya nggak baik, lama2 gak tahan juga kan 🙂

  • Feby Andriansyah
    Posted at 22:16h, 10 June Reply

    Baralallash stad … selalu mencerahkan … sehat selalu stad

    • malakmalakmal
      Posted at 23:34h, 10 June Reply

      Doakan selalu 🙂

  • TITI Suharti
    Posted at 07:23h, 11 June Reply

    Semakin mantab tidak segerbong dengan mereka, Alhamdulillah

    • malakmalakmal
      Posted at 11:25h, 11 June Reply

      Alhamdulillaah 🙂

  • Poppy Barawas
    Posted at 15:23h, 11 June Reply

    Tulisan uda Ustadz Akmal selalu mencerahkan!

    Salam Indonesia Tanpa JIL

  • Muhammad Adil
    Posted at 18:37h, 11 June Reply

    alhamdulillah, allahu akbar

  • Nefrizal
    Posted at 18:43h, 14 June Reply

    Kalau gitu alasannya ” gak perlu Jadi Presiden kalau cuma lihat gorong-gorong ” eh…balas nih ceritanya….wkwkwwk

  • Hendra
    Posted at 06:47h, 20 June Reply

    Semoga ustadz istiqomah dlm perjuangan menghadapi fitnah makhluk2 bega-jil-an.

    • malakmalakmal
      Posted at 16:02h, 01 July Reply

      Aamiin, yaa Rabbal ‘aalamiin… Jazakallaah khayran katsiiran atas doanya 🙂

Post A Reply to Feby Andriansyah Cancel Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.