Pemilu yang Mencerdaskan
1346
post-template-default,single,single-post,postid-1346,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Pemilu yang Mencerdaskan

Pemilu yang Mencerdaskan

IMG20181020083104assalaamu’alaikum wr. wb.

Saya ingat, di masa-masa sekolah dulu, ketika Orde Baru masih berkuasa, sedangkan saya belum memiliki hak pilih. Ketika musim kampanye telah dimulai, saya seringkali tenggelam dalam pemikiran: mengapa rakyat harus membodohi dirinya sendiri seperti ini?

Selama beberapa waktu, rakyat dipaksa mengkotak-kotakkan dirinya menjadi tiga kelompok. Ada yang berbaju hijau, ada yang kuning, dan ada yang merah. Lalu? Ya sudah! Kampanye itu cuma perang warna. Paling-paling meningkat jadi perang logo, perang bendera, atau simbol jari tangan.

Mengapa orang memilih warna hijau? Mengapa kuning? Mengapa merah? Pertanyaan itu seolah terlampau rumit untuk dicarikan jawabannya. Pokoknya hijau, pokoknya kuning, pokoknya merah! Lalu ramai orang berkerumun di depan panggung yang menawarkan joget dangdut atau pidato yang tak seorang pun mengingat isinya, kemudian keliling kota di atas truk atau mobil bak terbuka. Ada juga yang naik motor atau berjalan kaki. Hakikatnya, cuma perang warna!

Kadang-kadang, sekian puluh orang yang berkerumun merasa dirinya bagaikan ribuan, dan yang ratusan merasa tak terkalahkan. Euforia dengan delusi kemenangan, massa dari berbagai warna ini pun tidak jarang bentrok jika saling bertemu di jalan. Padahal, di luar musim kampanye, mereka menyeruput kopi di warung yang sama, menikmati gorengan yang sama, sekolah dan bekerja di lingkungan yang sama. Di saat-saat menjelang pemilu, warna menjadi pembeda yang paling hakiki. Padahal, warna kulit kusamnya rakyat yang berpeluh setiap hari ya di mana-mana sama saja.

Lagipula, apa gunanya rakyat diprovokasi untuk berkelahi di jalanan, kalau nanti wakil mereka dari partai-partai yang berlainan warna itu hanya memilih presiden berdasarkan satu kriteria utama, yaitu pengalaman? Kalau kriterianya cuma itu, ya pasti yang terpilih hanya yang itu-itu saja. Terbukti, selama tiga puluh dua tahun, hanya ada satu presiden yang memimpin negeri ini. Padahal rakyatnya waktu itu sudah jauh melampaui seratus juta jiwa.

Saya tidak pernah berpikiran untuk mengubah total sistem pemilu. Hanya saja, harus ada jalan keluar dari pembodohan semacam ini. Saya dulu berpikir, alangkah baiknya kalau warna-warna ini dihapus saja. Pilihannya dua: (1) semua partai menggunakan warna hitam-putih dan kelabu, atau (2) setiap partai menggunakan lebih dari satu pilihan warna. Desakralisasi warna, sebutlah demikian. Sekedar langkah kecil agar orang tidak melulu memikirkan warna.

Langkah berikutnya, dalam pikiran sederhana saya dulu, adalah melarang total aksi-aksi kerumunan. Sudah abad ke-20 (waktu itu belum berganti abad), masak masih mengandalkan euforia massa? Kalau mau berkumpul, berkumpullah seperti orang beradab. Duduk di kursi, atau lesehan pun tak mengapa. Yang penting tertib. Acara joget juga harus diharamkan, karena tidak ada relevansinya. Kita mau memilih pemimpin negara, bukan kontes goyang badan. Sudah semestinya rakyat diingatkan akan esensi pemilu yang sesungguhnya.

Rakyat juga berhak tahu siapa yang akan dipilihnya. Walaupun dulu yang dicoblos hanya partai, tapi dalam rangka mencerdaskan rakyat, boleh dong partai-partai memperkenalkan calon wakil rakyatnya ke hadapan publik. Suruh saja mereka bicara satu-persatu untuk memperkenalkan diri dan visi-misinya. Biarkan rakyat menilai, siapa yang mengerti permasalahan bangsa dan siapa yang tidak.

Sayangnya, semua itu tidak terjadi. Tidak di Orde Baru.

Ketika angin reformasi berhembus kencang, banyak yang berharap akan ada perubahan. Memang di sana-sini ada perubahan. Yang dulunya dibatasi hanya boleh ada tiga partai, maka kini jumlahnya tidak dibatasi, hanya ada kriteria yang harus dipenuhi. Pada tahun 1998, jumlah partai peserta pemilu membludak menjadi 48 partai.

Dengan semangat keterbukaan, penyampaian visi-misi dan debat terbuka mulai dibudayakan. Bukan hanya partai-partai, bakal calon presiden pun tidak lagi takut memperkenalkan diri dan berbicara melalui layar televisi.

Meski demikian, agenda mencerdaskan rakyat nampaknya masih jauh dari selesai. Yang dulunya perang warna kini berubah menjadi perang baliho. Berbagai slogan diluncurkan, sementara rakyat jelata disuruh puas dengan sekedar menelan kata-kata. Sayangnya, slogan tidak membuat harga bahan pangan atau nilai tukar dolar menurun.

Sementara dunia pendidikan lalai membereskan tingkat literasi anak bangsa yang masih jauh di bawah kelayakan, rakyat diadu domba lagi dengan berbagai kebohongan. Sesekuler-sekulernya partai, ketika musim kampanye tiba, apalagi jika sedang mengharapkan suara dari kyai dan para santri di daerahnya, pasti semuanya mengenakan busana Muslim. Yang lelaki berpeci, berbaju koko dan bersarung, yang perempuannya berkerudung. Ketika terpilih nanti, merekalah yang paling gigih menyuarakan pemisahan antara agama dan politik. Lima tahun berselang, pakaian Muslim pun dikeluarkan dari lemari koleksi pribadinya. Demikian seterusnya siklus kebohongan ini dilanjutkan.

Untuk menjatuhkan lawan-lawan politik, labelisasi pun dilancarkan tanpa beban. Si fulan disebut wahabi, partainya dibilang anti tahlilan (terlepas dari perdebatan soal tahlilan, memangnya mengadakan tahlilan itu adalah tugas sebuah partai?), dan kalau mereka menang, demokrasi diisukan akan hancur berkeping-keping.

Hal yang sama berlaku di berbagai ranah politik. Ketika RUU Anti Pornografi-Pornoaksi (APP) diusung, muncul isu bahwa RUU ini akan mempidanakan orang Papua yang mengenakan koteka. Mereka yang menghembuskan gosip ini (dan yang mempercayainya) lupa bahwa tanpa RUU pun koteka sudah mulai ditinggalkan orang, dan tak seorang pun berhak memaksa orang Papua untuk selamanya mengenakan koteka. Memangnya orang Jawa setiap hari mengenakan batik? Atau orang Minang, mesti selamanya tinggal di Rumah Gadang?

Politik menjadi arena pembodohan karena memang agenda pendidikan mandek. Atau, dan ini skenario yang lebih mengerikan lagi, kemandekan itu memang disengaja, demi memuluskan karir para politisi jahat. Sebab, semua orang pun tahu bahwa pembodohan itu memang dianggap perlu bagi sekelompok orang. Kalau tak ada yang bodoh, lantas siapa yang bisa dibodohi?

Saya bisa memahami bahwa kebertahapan dari sebuah perubahan adalah sunnatullaah. Tidak ada manusia yang bisa berubah total dalam semalam, apalagi masyarakat. Karena itu, setiap langkah perbaikan saya anggap adalah sebuah kemajuan. Tetapi, itu semua tidak semestinya melemahkan semangat kita dalam melakukan perbaikan. Perbaikan adalah harga mati, kecuali kalau kita merasa bahwa sudah tak ada lagi yang salah di negeri ini (dan kita semua tahu anggapan ini sudah pasti salah).

Dengan pikiran sederhana saya kini, menganggap pemilu yang mencerdaskan itu setidaknya bisa didekati melalui dua jalan, yaitu: (1) mencerdaskan pemilihnya, dan/atau (2) memastikan bahwa semua kandidat yang akan dipilih adalah orang-orang cerdas. Kedua agenda ini semestinya diprioritaskan oleh penyelenggara pemilu, kecuali jika kualitas pemilu sudah dianggap tak penting lagi.

Sayangnya, kedua agenda itu nampaknya memang tidak mendapat perhatian. Kualitas kampanye masih tidak jauh dari ‘perang baliho’, kalangan sekuler masih suka ‘mendadak Islami’, dan sekarang malah ada wacana untuk membolehkan penderita gangguan jiwa ikut mencoblos. Di sisi lain, kandidat capres-cawapres kini tak lagi diwajibkan menyampaikan visi-misinya sendiri, bahkan kisi-kisi pertanyaan dalam debat akan diberikan sebelum acara. Padahal, penyampaian visi-misi dan debat terbuka (menghadapi pertanyaan yang tidak diketahui sebelumnya) adalah sarana yang baik untuk mengukur intelektualitas seseorang, dan ini merupakan kelaziman dalam proses pemilihan seorang pemimpin, mulai dari Ketua OSIS sampai presiden.

Saya berkeyakinan, problem paling mendasar terletak pada manusia; bukan dana, bukan teknologi, apalagi infrastruktur. Apalah gunanya uang banyak bagi akal yang dungu? Bagaimana orang bodoh bisa memanfaatkan teknologi? Dan sekokoh-kokohnya infrastruktur, bisa rubuh juga bila dirusak oleh orang-orang yang jahil. Jika mencerdaskan rakyat tidak menjadi prioritas pemerintah, lantas bagaimana nasib bangsa, sekian pemilu ke depan?

wassalaamu’alaikum wr. wb.

2 Comments
  • Blood Enthusiast
    Posted at 15:05h, 15 January Reply

    “kalau tak ada yang (mem)bodoh(i), lantas siapa yang bisa dibodohi?”

    There, now your path is clear

    • malakmalakmal
      Posted at 15:10h, 15 January Reply

      LOL

Post A Reply to malakmalakmal Cancel Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.