Ada Agenda Di Balik Kata-kata
1668
post-template-default,single,single-post,postid-1668,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Ada Agenda Di Balik Kata-kata

Ada Agenda Di Balik Kata-kata

20191204_071720assalaamu’alaikum wr. wb.

Di balik kata ada konsep, di balik konsep ada pemikiran. Karena itu, perang pemikiran selalu dimulai dari kata-kata. Sangat logis, karena memang pemikiran manusia disebarluaskan melalui bahasa, dan bahasa itu terdiri dari kata-kata. Karena fungsinya yang memang untuk menyebarluaskan pemikiran, maka sebenarnya tak ada kata tanpa tujuan. Oleh karena itu, di mana ada kata, pastilah ada agenda!

“Ini ibu Budi,” begitulah anak-anak dahulu (atau masih?) belajar berbahasa di sekolah. Memang ini cuma pelajaran menyusun kalimat. Akan tetapi, pada prakteknya, setiap kalimat pasti memiliki tujuan. “Ini” adalah kata tunjuk, menunjukkan obyek yang tidak jauh. “Ibu” menunjukkan peranan seseorang dalam hidup; dalam hal ini, yang dibicarakan adalah ibunya seseorang. “Budi” adalah nama seseorang. Kalimat seringkas itu pun sudah memiliki tujuan. Kalau dirangkai dengan kalimat-kalimat berikutnya, hingga menjadi suatu paragraf, maka agenda sesungguhnya akan semakin terungkap.

Yang lebih pelik sesungguhnya adalah agenda yang tidak bisa disimpulkan hanya melalui kata-kata, melainkan dengan memperbandingkannya dengan kenyataan. Ketika seseorang menyandingkan istilah “liberal” dengan “Islam”, misalnya, jangan terburu-buru terhipnotis dengan makna ‘kebebasan’ yang identik dengan kata pertama itu. Apalagi jika kemudian muncul narasi “Islam liberal adalah antitesis dari Islam fundamentalis”, yang membuat orang tanpa disadari merasa terpaksa untuk mendukung Islam liberal, agar tidak disebut fundamentalis. Narasi itu sendiri memang dibuat untuk membangun kerangka berpikir seolah-olah hanya ada dua pilihan: menjadi liberalis atau fundamentalis. Yang disebut ‘fundamentalis’ dikesankan kolot, kaku, ngotot dengan prinsipnya sendiri dan memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Tapi bukankah kaum liberal juga ngotot dengan prinsipnya sendiri dan memaksakan liberalisme itu kepada orang lain? Cobalah tengok bagaimana nasib negara-negara yang ‘disinggahi’ oleh prajurit-prajurit AS, padahal AS selalu bernarasi “akan membawa demokrasi kepada mereka” (bringing democracy to them).

Sejak jauh-jauh hari Noam Chomsky sudah memperingatkan akan bahayanya narasi yang tidak jelas dan maknanya mengambang. Chomsky, misalnya, mempertanyakan retorika “Do you support our troops?” yang menurutnya tidak fair. Apakah orang bisa menerima jawaban “tidak” terhadap pertanyaan semacam itu? Tentu setiap warga negara harus mendukung prajuritnya. Tapi prajurit hanyalah prajurit. Mereka hanya melaksanakan tugas. Tentu kita bersimpati kepada para prajurit yang gugur saat menunaikan tugas. Tapi apakah tugas itu lahir dari kebijakan yang dapat dibenarkan? Apakah warga negara AS harus selalu mendukung kebijakan luar negeri AS, meskipun sudah nyata kezhalimannya?

Ketika Nurcholish Madjid datang dengan narasi ‘pembaharuan’, misalnya, banyak orang yang langsung percaya bahwa yang dibawanya itu benar-benar baru. Padahal di tahun 1970-an, Buya Hamka sudah mendebatnya ketika ia menggadang-gadang pemikiran sekuler yang memisahkan urusan agama dan politik, dan sebelum Indonesia merdeka, Natsir telah memperdebatkan hal yang sama dengan Soekarno. Tiga dekade setelah Nurcholish disemprot Buya, muncul pula Ulil Abshar Abdalla dengan pemikiran yang hampir sama persis, juga dengan narasi ‘penyegaran’. Padahal, ‘buah’ yang ditawarkan sama sekali tidak segar, melainkan sudah busuk sejak lama.

Apakah Anda tidak curiga dengan para pembesar, orang-orang kaya atau bangsawan, yang saat diwawancara justru banyak berpesan agar orang-orang menjalani hidup dengan penuh kepasrahan, nrimo dan mengikut arus seperti air? Padahal, orang-orang itu justru memperoleh kesuksesannya dengan perjuangan, bukan kepasrahan yang mudah sekali tergelincir pada kepasifan. Adakah ia justru tengah mendoktrin orang-orang di sekitarnya untuk nrimo, sedangkan ia sendiri sibuk mengejar ambisinya? Bukankah lebih mudah memperoleh apa yang kita inginkan jika orang-orang di sekitar kita tidak memiliki ambisi dan hanya ingin mengabdi kepada kita sepanjang hidupnya?

Sudah sejak lama kata-kata menjadi unsur utama dalam propaganda. Karena kata-kata berfungsi untuk mentransfer pemikiran, maka ia tidak hanya bisa digunakan untuk menjelaskan kenyataan, melainkan juga melakukan rekayasa sosial. Orang-orang yang tertarik bergabung ke dalam Keraton Sejagat, misalnya, mungkin tak pernah berpikir untuk menguji kebenaran klaim-klaimnya. Mereka hanya orang-orang biasa yang pikirannya kalut melihat kekacauan negeri ini, lantas menemukan harapan dalam narasi (atau lebih tepatnya: dongeng) tentang kebesaran sejarah Majapahit. Tentu saja kata “sejagat” harus digunakan di sini, demi memberi nuansa bombastis. Tentu saja, semua narasi ini tiba-tiba basi ketika kepolisian menciduk sang raja dan ratu sejagat itu. Kisah Majapahit pun tiba-tiba lenyap begitu saja.

Mungkin demikian pula halnya yang dialami oleh para pengikut Sunda Empire. Mereka adalah orang-orang yang prihatin dengan keadaan dunia, dan kemungkinan besar juga merasa memiliki ikatan kuat dan kebanggaan yang sangat tinggi dengan kebudayaan Sunda. Mungkin mereka lelah mendengar bagaimana bangsa Barat dan Cina sibuk dengan perang dagangnya, jengah dengan Turki yang dipuja-puji, dan bertanya-tanya kapan bangsanya akan memperoleh kehormatan yang sebanding. Karena itu, ketika ada yang datang dengan narasi meninggikan kebudayaan Sunda, seraya menjelaskan sejuta teori konspirasi yang dapat menjelaskan mengapa Sunda Empire belum terwujud setelah sekian lama, maka mereka pun menyambutnya dengan penuh harap.

Yang paling pelik di antara yang pelik-pelik, barangkali, jika sebuah narasi dibuat untuk menyenangkan publik sehingga mereka terbuai dan lupa dengan persoalan yang sesungguhnya. Jelang Pemilu, para politisi sekuler mahir sekali memainkan peranannya dalam hal ini, misalnya dengan mengumbar kalimat “Sekarang rakyat sudah pintar.” Dengan kalimat itu, rakyat terdorong untuk memberi dukungan, sebab sang politisi dianggap telah berpihak kepada mereka. Padahal, kenyataan pahitnya, rakyat belum pintar. Kalau rakyat sudah pintar, bukankah semestinya parpol-parpol yang paling banyak melahirkan koruptor semestinya sudah ditinggalkan? Nyatanya, meski Orde Baru dianggap sebagai periode yang sangat korup, dan karenanya mesti lahir Reformasi, toh dua parpol produk Orde Baru masih saja merajai hasil Pemilu dari tahun ke tahun.

Rakyat belum pintar. Tapi apa mereka siap dengan kenyataan itu? Di sinilah media sosial memperkeruh persoalannya. Dulu, kalau orang mau menyatakan pandangannya, ia harus memiliki kemampuan dan kepercayaan diri untuk menguraikan pemikirannya dalam sebuah karangan yang utuh, seperti artikel singkat yang tengah Anda baca ini. Kini, orang bisa menghabiskan waktu seharian dengan membuat celetukan-celetukan tak berarti seperti, “Ah, itu kan pendapat Anda saja!”. Ada ulama yang dihardik anak muda dengan kata-kata “Miris. Ulama kok pemikirannya terbelakang kayak Anda!”. Ada cendekiawan yang dimaki dengan sebutan ‘kadal gurun’, ada seorang ibu yang dibilang perilakunya bak pelacur hanya lantaran menyatakan kewajiban berjilbab, dan seterusnya. Adakah intelektualitas itu Anda temukan di akun-akun media sosial milik anak-anak negeri ini?

Sejatinya, kata-kata digunakan manusia untuk bertukar pikiran. Tidak semua yang kita pikirkan itu benar, namun penting sekali bagi manusia untuk setia pada kebenaran. Di situlah jahatnya kebohongan, sehingga kebohongan itu disebut sebagai ‘induknya kejahatan’. Hal itu sejalan dengan sabda Rasulullah saw:

“Sesungguhnya kejujuran menunjukkan jalan kepada perbuatan baik, dan perbuatan baik menunjukkan jalan kepada Surga dan sesungguhnya seseorang yang membiasakan jujur ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan, sesungguhnya dusta menunjukkan jalan kepada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa menunjukkan jalan kepada Neraka, dan sesungguhnya seseorang yang biasa berdusta ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim)

wassalaamu’alaikum wr. wb.

No Comments

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.