22 Jun Akhlaq Bangsa dan Inkonsistensi Kita
assalaamu’alaikum wr. wb.
Belakangan ini, akhlaq generasi muda banyak menjadi bahan perbincangan. Sebagian besar kalangan masyarakat ‘senior’ memandang bahwa anak muda Indonesia sekarang sangat kekurangan sentuhan moral, meski secara akademis baik-baik saja. Dari sini, masing-masing kelompok berusaha mencari akar permasalahan dengan perspektif yang bermacam-macam.
Sebagian orang berpendapat bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah akibat menghilangnya pelajaran moral. Dahulu, ada mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Sekarang, jangankan moral, Pancasila saja sudah kabur maknanya, sehingga sejumlah akun di media sosial pada saat tertentu mengumandangkan slogan ‘Saya Pancasila’, namun di saat lain malah tidak malu mengumbar sikap rasis. Entah seperti apa wujud ‘Pancasila’ yang dibayangkan oleh mereka ini.
Jika siswa tidak lagi diajari moral, maka jangan heran jika mereka tak bermoral. Sederhana namun cukup tajam. Begitulah logika yang dikembangkan. Memang ada benarnya juga, sebab siswa yang pandai matematika adalah yang diajari matematika, dan ini berlaku untuk semua bidang ilmu. Sangat masuk akal.
Tapi kalau boleh berpikir ‘nakal’ sedikit, bolehlah kita mempertanyakan: sebenarnya siapa yang menghapus pengajaran moral di sekolah-sekolah negeri ini? Apakah mereka adalah orang-orang tak bermoral? Bukankah dulu pun mereka mendapatkan pelajaran moral di bangku sekolah dan mendapatkan manfaat darinya? Lantas mengapa kini mereka ‘mengkhianatinya’?
Fakta bahwa mereka yang kini mengesampingkan pelajaran moral adalah orang-orang yang dahulu juga belajar moral di sekolah adalah bukti bahwa belajar saja tidak cukup, atau memang pelajarannya tidak cukup. Bagi yang pernah mendapatkan pelajaran PMP dan semacamnya, coba ingat-ingatlah lagi; berapa jam waktu yang dialokasikan untuk mata pelajaran ini di sekolah? Cuma dua jam, bukan?
Okelah, masih ada mata pelajaran agama yang juga mengajarkan moral, bahkan sesungguhnya agama itulah sumber dari ajaran moral yang sesungguhnya. Ditambah dua jam, jadi totalnya seorang siswa belajar moral yang baik selama empat jam di sekolah. Cukup? Tidak! Bukankah diskusi ini berawal dari kenyataan bahwa apa yang kita lakukan selama ini belum cukup?
Barangkali, inilah saatnya kita mempertimbangkan kembali konsep akhlaq yang sebenarnya. Meski akhlaq dan moral tidak ekivalen, namun keduanya sangat berhubungan. Orang bermoral niscaya akhlaq-nya mulia. Demikianlah prinsip yang senantiasa kita pegang.
Dalam buku Kuliah Akhlaq, Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas mencantumkan tiga definisi akhlaq pada lembaran-lembaran awalnya. Menurut Imam al-Ghazali, akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Syaikh Ibrahim Anis mendefinisikan akhlaq sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah bermacam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Adapun Syaikh Abdul Karim Zaidan mendefinisikan akhlaq sebagai nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya, seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.
Dari penjelasan Imam al-Ghazali dan Syaikh Ibrahim Anis, kita dapat menemukan dua poin utama. Pertama, yang namanya akhlaq itu tertanam di dalam jiwa, bukan hanya indah terlihat di permukaan. Karena itu, bicara akhlaq berarti bicara soal jiwa, bukan sekedar perilaku. Perilaku bisa diluruskan dengan cara paksaan, hukuman, dipermalukan dan semacamnya, namun jiwa manusia lebih rumit daripada itu. Kedua, akhlaq itu menghasilkan perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan lagi. Artinya, ia bekerja secara otomatis. Dengan demikian, padanan yang lebih tepat untuk kata “akhlaq” bukanlah “perilaku”, melainkan “karakter”. Kalau belum jadi karakter, maka bukan akhlaq namanya. Adapun penjelasan dari Syaikh Abdul Karim Zaidan lebih menekankan pada kemampuan jiwa untuk membedakan baik dan buruk, kemudian membuat pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan berdasarkan penilaian tersebut. Penjelasan ini pun memberi penekanan pada konsistensi. Sebab, kalau tak berniat konsisten pada kebaikan, buat apa menimbang-nimbang sesuatu itu baik atau buruk? Kalau hanya menghamba pada hawa nafsu belaka, tentu pertimbangan adalah sesuatu yang tak perlu.
Dari uraian di atas, kalau kita harus mencari ‘kata kunci’ untuk pendidikan akhlaq yang baik, maka baiklah kita memilih kata “konsistensi”. Tanpa konsistensi, tak ada akhlaq. Konsistensi dibutuhkan untuk menanamkan suatu nilai ke dalam jiwa dan membuatnya menjadi ‘otomatis’. Bicara sopan itu harus otomatis, bukan karena status sosial lawan bicara atau karena mengharap sesuatu darinya. Bersikap murah hati dan tidak kikir semestinya bisa dilakukan secara otomatis, bukan karena ada banyak mata yang melihat.
Kalau memang persoalannya adalah konsistensi, maka terjawablah sudah permasalahan kita. Pengajaran moral itu gagal tidak lain karena tidak adanya konsistensi. Persoalannya tidak sesederhana menambah mata pelajaran atau menambah jam belajar. Karena akhlaq adalah konsistensi, maka ia harus ditanamkan secara konsisten pula. Karena itu, jika hendak menghasilkan siswa yang bermoral, maka tidak cukup dengan dua atau empat jam belajar moral, melainkan moral itulah yang harus ditunjukkan dalam setiap mata pelajaran. Dengan demikian, kita tidak bisa menerima guru Fisika yang tak bermoral, atau guru Pendidikan Jasmani yang bermulut kotor, apalagi Kepala Sekolah yang gampang naik darah. Yang harus memelihara akhlaq bukan hanya guru pendidikan moral, guru pelajaran agama dan guru bimbingan konseling saja, melainkan semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan itu.
Kita tidak mungkin berharap siswa akan mampu menanamkan nilai-nilai moral yang baik secara konsisten dalam jiwanya jika yang dihadapinya adalah inkonsistensi. Kalau akhlaq mulia hanya ditemukannya pada empat jam pelajaran dalam sepekan, sedangkan sisanya seolah tak ada kaitannya dengan akhlaq, maka yang terlihat jelas adalah pendidikan yang dualis, inkonsisten dan tidak komprehensif. Alih-alih mencetak siswa ber-akhlaq mulia, pada akhirnya kita malah hanya akan mendapatkan siswa yang jiwanya terjangkiti dualisme, atau bahkan siswa yang bermuka dua, manipulatif, curang, bahkan munafiq. Na’uudzubillaah…
Dalam sebuah perjumpaan bersama Menteri Agama, Pak Lukman Saefuddin, beberapa tahun yang lalu (saat itu beliau masih menjabat di kabinet yang dipimpin oleh SBY), saya pernah menyampaikan persoalan dualisme semacam ini. Kurang lebihnya, saat itu saya mengatakan bahwa persoalan negara takkan pernah selesai selama kita masih menggunakan logika berpikir sekuler. Negara berharap masyarakatnya menjadi baik, salah satunya dengan membangun Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan Nasional dan sebagainya, namun pada saat yang bersamaan juga tidak melarang kerusakan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan dalih ‘kebebasan’.
Sebagai contoh, ketika siswa-siswa SD, SMP dan SMA berkumpul hingga pagi buta untuk bermain game online, siapa yang boleh bertindak? Kalau Kementerian Agama bertindak, pasti akan dianggap nggak nyambung. Kalau majelis ulama yang berfatwa, akan dikomentari telah bertindak lebay. Kalau Kementerian Pendidikan mengambil tindakan, mungkin orang akan bingung, sebab bagi banyak orang, pendidikan itu identik dengan sekolah. Karena itu, para pendidik bangsa ini cuma punya otoritas di sekolah saja, bukan di tempat lain. Payahnya lagi, jika hansip atau satpam komplek harus bertindak membubarkan permainan semacam ini, bisa jadi nanti malah orang tuanya yang menghardik, “Saya aja nggak melarang mereka, kok Anda melarang-larang?”
Susah mengharapkan generasi muda bangsa ini untuk memiliki akhlaq yang mulia jika kita tidak siap untuk konsisten. Kalau memang ingin menjadi manusia yang mulia, maka bersikaplah mulia selama 24 jam sehari, 7 hari dalam sepekan. Tegakkanlah aturan-aturan yang memelihara kemuliaan itu dan menjauhkan masyarakat dari kehinaan. Kita tidak bisa memasrahkan nasib bangsa pada prinsip ‘kebebasan’, sebab kadang manusia tak mampu membedakan antara akal dengan hawa nafsunya. Jika binatang tak mungkin menyelisihi instingnya, maka manusia memerlukan aturan untuk memelihara kemanusiaannya itu.
Bagaimana anak-anak bangsa ini mampu memelihara kemuliaan dirinya, sementara pujaan mereka mengumbar foto tidak senonoh di akun Instagram-nya, selebriti dibayar mahal hanya untuk mempertontonkan candaan kasar dan berselera rendah, dan ada pejabat negara yang berulang kali mengucapkan kata-kata kotor di siaran langsung televisi. Semua ini diperparah lagi dengan sikap negara yang mendiamkan saja, seolah-olah tak ada yang salah, dan seolah-olah semua pelajaran moral yang maksimal cuma empat jam sepekan itu benar-benar tak ada artinya lagi.
wassalaamu’alaikum wr. wb.
No Comments