24 Feb Alergi Islam
assalaamu’alaikum wr. wb.
Ada sebuah gejala sakit menahun yang menjangkiti Indonesia, negeri besar nan dipuja sebagai Zamrud Katulistiwa yang mayoritas warga negaranya beragama Islam ini. Sebutlah penyakit itu: alergi Islam! Manakala nama Islam disebut, kambuhlah alergi itu, dan mereka yang membawa penyakit ini dalam tubuhnya segera bersikap skeptis, mencibir, dan kemudian mencemooh. Penyakit ini sangat menular!
Dahulu, Prof. Rasjidi (Menteri Agama RI yang pertama) pernah mendapatkan sebuah pertanyaan yang telah menjebak banyak orang pada jamannya. Pertanyaan itu kurang lebihnya begini: mengapa negara-negara Islam miskin, sedangkan negara-negara Kristen itu kaya raya?
Mereka yang paham ilmu statistika dasar mestilah segera mempertanyakan ruang sampel yang dipergunakan. Sebab, jika ruang sampel untuk ‘negara-negara Islam’ itu adalah Bangladesh dan Somalia, maka wajar jika muncul kesimpulan (meski prematur) bahwa negara-negara Islam itu miskin. Demikian juga jika ruang sampel untuk ‘negara-negara Kristen’ itu adalah Inggris, Amerika atau Kanada, maka memang bisa muncul kesimpulan bahwa negara-negara Kristen itu kaya. Tapi jika ruang sampelnya adalah Brunei Darussalam dan Saudi Arabia untuk negara-negara Islam atau Yunani dan Papua Nugini untuk negara-negara Kristen, maka kita pun bisa membuat kesimpulan sebaliknya.
Beberapa dekade sejak jamannya Prof. Rasjidi, pertanyaan itu menjelma ke dalam bentuk lain: mengapa di Indonesia koruptornya kebanyakan Muslim? Ini pun masalah statistik yang tidak berat-berat amat, namun toh mampu juga mempengaruhi alam pikiran sebagian orang yang terlampau naif.
Sebuah ilustrasi mungkin dibutuhkan di sini. Bayangkanlah Anda memiliki semangkuk kelereng berjumlah — katakanlah — 100 buah. Dari 100 buah kelereng itu, 85 di antaranya berwarna putih. Silakan aduk-aduk isinya, kemudian ambillah sembarang kelereng dengan mata tertutup. Warna apa yang Anda perolah?
Tentu saja hanya Tuhan yang tahu kelereng warna apa yang akan Anda peroleh. Tapi menurut statistik, sangat besar kemungkinan Anda akan memperoleh kelereng berwarna putih. Tepatnya, prosentase kemungkinan didapatkannya kelereng putih itu adalah 85%.
Karena perbandingan antara kelereng putih dan bukan putih cukup jauh (85:15), maka kelereng putih praktis mendominasi dalam setiap prediksi. Jika Anda tumpahkan mangkuk kelereng tadi, maka kemungkinan besar kelereng yang paling jauh menggelinding berwarna putih. Jika isi mangkuk itu Anda lempar ke atas, maka kemungkinan besar kelereng yang akan membuat benjol kepala Anda adalah kelereng putih. Anggaplah Anda malas membereskan kelereng yang sudah Anda tumpahkan itu. Jika kemudian ada yang terpeleset karena tak sengaja menginjak sebuah kelereng, maka yakinlah bahwa tersangka utamanya itu berwarna putih!
Oleh karena itu, memandang buruk umat Muslim Indonesia hanya karena koruptor di negeri ini kebanyakan Muslim juga adalah sebuah tindakan yang tidak adil, karena sama sekali tidak menggambarkan realita secara utuh. Karena Muslim memang mayoritas mutlak di Indonesia, maka sangatlah masuk akal jika kebanyakan koruptor, pencuri, pembunuh dan pemerkosa di sini adalah Muslim. Tapi sebaliknya, jika ada aksi penggalangan dana untuk korban musibah, kemungkinan besar penggeraknya adalah Muslim. Jika ada remaja yang menolong seorang nenek menyeberang jalan, sangat mungkin ia adalah remaja Muslim. Dan jika suatu hari Anda mengalami kecelakaan di jalan raya, jangan terlalu terkejut jika yang segera datang menolong Anda — baik pengguna jalan lain, polisi atau paramedis — ternyata adalah seorang Muslim.
Ada lagi bentuk gagal paham statistik yang lain. Ada yang bertanya, mengapa di Indonesia pengajaran agama digelar dari pagi sampai sore, mulai dari sekolah sampai ke Masjid-masjid dan seluruh saluran televisi, namun masih muncul saja kasus-kasus yang memilukan bagi kemanusiaan? Apakah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama telah gagal membimbing manusia ke jalan yang benar?
Tentu saja masih ada hal yang mesti dijawab sebelum kita menghubungkan kedua hal tersebut. Apakah para pelaku kejahatan tersebut adalah mereka yang belajar agama dari pagi sampai sore? Tentu tidaklah bijak ‘menghukum’ suatu kelompok atas tindakan kelompok yang lain. Jika di antara mereka yang belajar agama dari pagi sampai sore itu muncul 1-2 bajingan, tidak bisa pula simpulkan bahwa pendidikan agama telah gagal, sebab kesimpulan gegabah semacam itu tidak dibenarkan oleh ilmu statistika. Di samping itu, masih ada pertanyaan lainnya seperti: bagaimana kualitas pendidikan agamanya? Meskipun digelar dari pagi sampai sore, jika pendidikannya salah arah, maka wajar jika hasilnya jauh dari harapan.
Masih ada bentuk pertanyaan yang mirip-mirip, namun kesalahannya seputar wawasan atau logika, bukan statistika. Kelompok gagal paham yang ini mempertanyakan mengapa Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim masih saja dirundung masalah di segala lini. Mungkin mereka lupa bahwa sejak diproklamasikannya Indonesia sampai detik ini, kaum sekuler terus mem-bully siapa saja yang membawa-bawa agama (terutama Islam) ke dalam ranah politik. Lebih ironis lagi jika mereka mencari-cari siapa gerangan yang melarang-larang penerapan Islam di ranah politik, sebab kemungkinan besar mereka akan menemukan nama dan wajah mereka sendiri.
Belakangan ini muncul jenis alergi yang lain lagi, yang disinyalir merupakan akibat dari terjangkit virus hasil mutasi dari virus-virus yang sebelumnya. Mereka sangat alergi kepada Islam dan Muslim, meski sebagian di antara mereka selalu mencantumkan “Islam” setiap kali menemukan kolom agama yang harus diisi. Begitu parahnya penyakit mereka, sehingga setiap kali umat Muslim mewacanakan sesuatu akan dianggapnya sebagai ‘anti toleransi’, ‘tirani mayoritas’, atau apalah.
Jika ada yang khawatir dengan bahaya minuman keras, dan kemudian mengusulkan agar miras dilarang saja, segeralah orang berteriak-teriak. Keragaman terancam! Ini bukan negara agama! Jangan membuat aturan hanya berdasarkan Islam saja! Padahal, miras membunuh siapa saja, baik yang Muslim maupun yang tidak, yang beragama maupun yang tidak, bahkan miras juga membunuh baik yang meminumnya maupun yang sedang tidak beruntung karena hidup di sekitar para pemabuk.
Ketika aturan-aturan ini dibakukan menjadi sebuah peraturan daerah, muncullah labelisasi ‘Perda Syari’at’. Luar biasanya, begitu banyak yang takut akan syari’at, seolah-olah syari’at Islam itu identik dengan memenggal kepala, dan seolah-olah mereka yang paranoid ini merasa akan dipenggal semua.
Paranoia terhadap segala hal yang datangnya dari umat Muslim ini tentu sangat mengherankan. Sebab, sekali lagi, Islam adalah agama mayoritas di negeri ini. Sudah barang tentu, Islam memberikan pengaruh pada cara berpikir umat Muslim. Berdasarkan statistik, karena mayoritas mutlak, maka sangat wajar jika berbagai wacana di negeri ini dipelopori oleh umat Muslim. Apakah semua wacana itu akan terus diperlakukan secara diskriminatif hanya karena ia merupakan buah pemikiran umat Muslim? Ataukah umat Muslim diwajibkan untuk tutup mulut dan menerima saja apa pun yang diperbuat orang terhadap negeri ini?
Kebencian terhadap Islam sudah jauh meninggalkan logika. Kurang lebih sama blundernya dengan berteriak-teriak menyatakan kebencian terhadap orang Minang di tengah keramaian di depan Jam Gadang, atau mengumandangkan kebencian rasis terhadap orang berkulit hitam di tengah-tengah pertandingan NBA. Apa kebaikan yang bisa didapatkan dari kebencian semacam ini? Mengapa negeri ini harus terus diprovokasi untuk ribut? Tidak bisakah kita berdialog dengan akal sehat?
Dahulu, orang-orang sekuler mengklaim bahwa sekularisme dapat menempatkan semua agama pada tempat yang terhormat. Pada kenyataannya kini, Islam direndahkan sedemikian rupa, sehingga seolah-olah setiap hal yang datang dari ajaran Islam adalah sesuatu yang merugikan bangsa. Jika benar demikian adanya, tentu Indonesia sudah hancur sejak lama. Sebab, sekali lagi, Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas negeri ini. Jika ada orang yang bilang warga Indonesia ramah-ramah, atau memuji toleransi masyarakatnya, atau pilihlah satu hal yang Anda sukai dari Indonesia, maka yakinlah bahwa kemungkinan besar ada andil umat Muslim dalam kebaikan itu. Membenci Islam tidak ada bedanya dengan membenci Indonesia.
Ini cuma masalah statistik!
wassalaamu’alaikum wr. wb.
Sunhadji
Posted at 14:51h, 24 FebruaryMantab pencerahannya
Muhammad
Posted at 15:55h, 24 FebruaryKeren bang. Menghancurkan logika para sekular
Akhmad Khumaidi
Posted at 21:09h, 24 Februarymantap bang… like this…
Delia Sati
Posted at 21:08h, 16 MarchStatistik saya B, tapi bisa gak kena gagal paham statistik yang begini 😀 Alhamdulillaah..