Baby blues
1630
post-template-default,single,single-post,postid-1630,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Baby blues

Baby blues

assalaamu’alaikum wr. wb.

Terjadi lagi. Sesuatu datang tanpa diundang dan mengambil alih kekuasaan dari naluri terkuat seorang ibu. Alih-alih melindungi anaknya dengan segenap jiwa, ia malah melakukan sebaliknya. Jiwa suci itu pun terenggut oleh tangan yang selama ini dikenalinya hanya karena belaian kasihnya. Ketika ia menangis, tangan itu datang membelai. Saat ia susah tidur, tangan itulah yang menimangnya. Kini, tangan itu datang untuk tujuan yang jauh berbeda.

Pengalaman ribuan tahun usia kehidupan manusia di muka bumi tidaklah mengijinkan kita untuk mengatakan bahwa kejadian semacam ini berdiri sendiri. Seorang ibu yang ditimpa rasa putus asa sedemikian rupa tidaklah muncul dari ruang vakum. Ia, seperti juga bayinya, dilahirkan ke dunia yang tak senyap, dibesarkan dalam keluarga yang penuh nilai, baik dan buruknya, lebih dan kurangnya, kemudian melangkah ke dalam lingkungan yang penuh ekspektasi, menikah dan membangun keluarganya sendiri, juga dalam ruangan yang penuh berisi. Ibu yang ditimpa rasa putus asa ini tidak datang sendirian. Rasa putus asa itu pun tidak dibangunnya sendirian.

Ia terlahir sebagai perempuan, dan kini harus belajar keras untuk menjadi seorang ibu. Yang pertama bukanlah sesuatu yang direncanakan, sedangkan yang kedua adalah sesuatu yang mesti diperjuangkan. Seandainya menjadi ibu itu gampang, tentu Rasulullah saw takkan menyuruh manusia untuk mendahulukan ibunya tiga kali dalam penghormatan, sebelum ayahnya. Islam datang dan melaknat budaya Arab jahiliyyah yang menilai segala sesuatunya dengan materi. Mereka membenci anak-anak perempuan, sebab dianggapnya tidak pandai bekerja dan tidak kuat berperang; karena itulah mereka membunuhnya. Mereka lupa, hanya anak-anak perempuan itulah yang sanggup menjadi ibu. Tanpa ibu, hapuslah peradaban.

Jika engkau merasa menimang bayi tak berdaya seharian adalah tanggung jawab yang terlalu berat, cobalah membawanya di dalam tubuhmu selama sembilan bulan! Hitunglah segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tiga juta detik itu, dan pikirkanlah bagaimana engkau akan menjalani hari-harimu, hingga tiba saatnya pertarungan antara hidup dan mati di ujungnya. Ketika bayi itu lahir, ia tidak lagi berada di dalam tubuhmu, namun bukan berarti jalannya semakin mudah. Jika dulu engkau melindungi tubuhmu sendiri agar janin di dalamnya tak terganggu, maka kini sang janin telah menjelma menjadi bayi yang bisa bergerak sendiri, dan tak lama akan mampu merangkak dan berjalan sendiri, memilih bahaya yang akan dihadapinya sendiri. Sudahkah engkau mengkalkulasi segala risiko?

Sembilan bulan belum tentu waktu yang cukup untuk mempersiapkan seorang perempuan untuk menjadi seorang ibu. Engkau tak tahu bagaimana cara ia dibesarkan; apakah ia tumbuh dengan belaian seorang ibu yang layak diteladani? Engkau tak tahu pula bagaimana keadaannya ketika menghadapi kehamilan; mungkin suaminya diberhentikan kerja karena krisis ekonomi, barangkali bisnis keluarganya rontok karena ditipu orang, atau bisa jadi rumah lamanya terbakar karena tetangga lalai mematikan kompor. Engkau tak pula mengenal siapa orang-orang di sekitarnya, atau orang terdekat di sisinya. Manusia, tentu saja, berbeda dengan binatang buas. Yang tadinya lemah bisa dikuatkan, namun sebaliknya, yang tadinya kuat pun bisa dilemahkan hingga perlahan menyerah.

Ada perempuan yang membangun rumah tangganya berdua, namun dipaksa untuk menjadi ibu sendirian. Betapa berat cobaan yang dihadapi mereka yang ditinggal suami di saat-saat tergenting ini, namun tak kalah beratnya cobaan bagi para ibu yang memiliki suami di sisinya namun terus membiarkannya sendirian menghadapi badai.

Siapakah yang lebih tajam lisannya kepada kaum perempuan, kalau bukan sesamanya sendiri? Tidakkah engkau lihat betapa mudahnya mereka saling menghakimi hanya karena ASI yang tak keluar, atau kelahiran yang terpaksa dilakukan dengan operasi?

“Biarkan Anak berjuang beberapa hari, pokoknya jangan berikan susu formula! ASI-mu pasti keluar, itu cuma sugesti!”

“Pokoknya harus lahiran normal! Jangan mau dioperasi!”

Sounds familiar? Bagaimana kalau masalahnya bukan sugesti? Dan bagaimana kalau air ketuban sudah sangat berkurang, sedangkan kontraksi tak kunjung terjadi? Apa itu juga masalah sugesti?

Begitu dekatnya hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya, sehingga ada kecenderungan para ibu menilai semua anak dengan menjadikan anak-anaknya sendiri sebagai standar ukuran. Maka anak tetangga terlalu kurus, anak si fulanah terlalu gemuk, anaknya si tukang sayur terlalu pemalu, si anak satpam terlalu cengeng, anaknya imam masjid terlalu nakal, dan anak yang lain lagi sudah pasti salah asuhan, sebab sudah hampir masuk SD tapi masih juga mengompol. Dan untuk suatu alasan yang tak pernah ada yang mengutarakannya, semua ini harus dibicarakan, baik kepada yang berkepentingan maupun yang tidak ada urusan!

Kita semua tahu cara mendengar, tapi nampaknya harus ada kursus untuk diam. Tak ada yang tahu caranya menjadi ibu, tak pernah cukup waktu untuk mempersiapkannya. Sebagian orang merasa mampu menyelesaikan segala permasalahannya sendirian, padahal ia juga tak muncul dari ruang vakum. Mereka dikuatkan oleh orang-orang di sekitarnya, namun reaksi pertamanya ketika menemukan perempuan-perempuan lain yang butuh dukungan adalah justru menindas dan mengintimidasinya.

Kalau tak ada juga kursus untuk diam, barangkali harus diperjuangkan kursus untuk tidak mempedulikan. Akan tetapi, ketidakpedulian pastilah ada batasnya. Itulah salah satu hal yang membedakan manusia dengan binatang: kita peduli! Manusia hidup dari hari ke hari bukan hanya untuk memastikan perutnya kenyang. Kedua telinga manusia bukan hanya untuk menangkap suara, namun juga untuk menyimak pesan. Segala pembicaraan ini tidaklah semata kegaduhan, melainkan juga hiruk-pikuk pemikiran.

Sejak awalnya, setiap bayi tidak dilahirkan sendirian. Ia lahir karena kontribusi seorang lelaki dan seorang perempuan, maka selayaknya pula dibesarkan oleh seorang lelaki dan seorang perempuan pula. Nampaknya di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan merenungkan ungkapan Al-Qur’an yang sudah teramat akrab dengan kehidupan kita:

Laki-laki adalah pelindung perempuan… (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 34)

Untuk menjadi ibu, seorang perempuan harus mengerahkan segala daya dan upayanya. Anak-anak adalah amanah yang tidak gampang diraih, tidak mudah dijaga. Waktu, tenaga, perasaan, darah, keringat dan air mata diperasnya demi tugas agung itu. Karena itu, Allah Yang Maha Adil tidak membebankan banyak urusan lain kepadanya. Mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga adalah tanggung jawab pasangannya, yaitu sang suami yang menjadi tempat bersandarnya. Maka Allah berikan tubuh yang kuat, naluri yang lebih agresif, dan perasaan yang tidak terlalu sensitif bagi kaum lelaki. Jika perempuan diberi perasaan yang lembut, itu karena pekerjaan mendidik anak hanya bisa diemban oleh mereka yang lembut hati. Adapun tugas-tugas lelaki tidaklah mengijinkannya untuk menuruti perasaan, kecuali dalam waktu-waktu tertentu saja. Apa pun yang terjadi, anak-istri harus makan, anak-istri harus selamat, anak-istri harus diperjuangkan!

Di sinilah kita semestinya membaca kembali tuntunan agama yang telah sejak dulu mengingatkan kita bahwa rumah tangga tidaklah dibangun sendirian; sepasang manusia menikah untuk berbagi tugas. Suami harus menguatkan istri, sebab kepadanyalah ia menitipkan anak-anaknya sementara ia tenggelam dalam kesibukan hariannya. Istri pun menguatkan suami, sebab kepadanyalah ia menyandarkan nasib untuk menjaga keluarganya, termasuk menjaga diri dan perasaannya. Jika suami telah menjadi racun dalam kehidupan istri, atau sebaliknya, maka cukuplah ia dianggap sebagai sebuah malapetaka.

Di sini pula kita memahami ajaran Islam lainnya, yaitu langkah pertama dalam membangun sebuah rumah tangga. Meskipun pernikahan itu dijalani oleh sepasang manusia, namun akad nikah dilakukan oleh dua orang lelaki. Sebab, gadis yang akan dititipkan kepadanya adalah aset yang terlalu berharga bagi keluarga, terlalu mahal bagi sebuah peradaban. Tidak ada yang mau menyerahkan anak perempuannya kepada lelaki rapuh. Siapakah yang lebih pandai mengenali perangai lelaki selain seorang lelaki juga? Banyak orang dapat dengan mudah merayu gadis incarannya, namun belum tentu sanggup mengelabui ayahnya. Sayang, seribu sayang, kini para ayah hanya dianggap sebagai pembawa ‘stempel’ legitimasi belaka, bukannya pihak utama yang harus dimintai persetujuannya untuk menikahkan anak perempuannya. Tugasnya hanya mengiyakan saja; kalau tidak mau, maka akan dicap kolot, mengekang, dan diputar ulanglah kisah Siti Nurbaya untuk menakut-nakuti seisi dunia. Padahal, tentu saja, jika laki-laki yang disebutnya ‘suami’ itu suatu saat kelak menyakitinya, maka perempuan tak punya pilihan lain kecuali lari kepada laki-laki pertama yang mencintainya, yaitu ayahnya sendiri, yang dahulu dianggapnya tak lebih dari seorang ‘pembawa stempel’.

Tidak ada manusia, laki-laki atau perempuan, yang hidup di ruang hampa. Mungkin mereka merasa mampu menyelesaikan persoalannya sendirian, namun pada hakikatnya tak ada orang yang hidup seorang diri. Jika engkau mampu melalui suatu permasalahan, itu karena orang-orang di sekitarmu setia dan sigap mendukungmu, dan itu semua adalah bagian dari pertolongan Allah kepadamu. Oleh karena itu, jika kau temukan orang-orang yang mengalami kesulitan untuk melalui permasalahan hidupnya, tidakkah engkau terpanggil untuk menjadi orang yang setia dan sigap mendukungnya? Bukankah lidahmu telah lama fasih membacakan Surat Adh-Dhuha? Belumkah tiba saatnya untuk mengamalkannya?

Marilah! Cukupkan sampai di sini saja. Jangan ada lagi bayi-bayi tak berdosa yang menjadi korban, jangan ada lagi ibu yang menderita. Tanpa ibu, tak ada peradaban. Duhai para lelaki, jika tak ada lagi yang berdiri membela ibu dari anak-anakmu, maka tugasmulah memasang badan untuk keselamatannya. Apa pun yang terjadi, kalau pun nyawa harus menjadi alat tukar, keluargamu harus selamat!

 

Dengarkan juga uraian saya sehubungan kasus yang sama dalam podcast yang berjudul “School Your Mouth!”.

 

wassalaamu’alaikum wr. wb.

No Comments

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.