29 Aug Bebas dari Allah
Tidaklah sulit untuk menemukan kontradiksi di antara pemikiran dan perbuatan kelompok yang menyebut dirinya ‘Islam liberal’. Pada dasarnya, menyandingkan Islam dengan liberalisme memang perkara yang terlalu pelik, bahkan bisa dikatakan mustahil, sebab keduanya memang berkebalikan. Islam artinya ‘taat, tunduk patuh’, dan ‘selamat’. Artinya, kalau mau selamat ya harus taat. Konsep yang kukuh ini kemudian hendak dikombinasikan dengan liberalisme yang menghendaki kebebasan dalam arti seluas-luasnya. Masalahnya, keselamatan tidak diperoleh dengan logika itu.
Kebebasan itu sendiri sudah problematis, sebab manusia tidak bersepakat dalam mendefinisikannya. Banyak orang kini memaknai kebebasan sebagai hak untuk memilih; memilih apa saja, untuk diri sendiri, meski tidak semua pilihan itu baik bagi dirinya. Manusia-manusia modern (apalagi post-modern) merasa merdeka ketika ia bebas melakukan apa saja, tak ada yang melarang-larang, padahal manusia perlu dinasihati, perlu diperingatkan, perlu dilarang, bahkan perlu dicegah. Akibatnya, mereka terus membuat kaidah dan aturan yang tidak pernah berhasil diterapkan, dan tidak pula memberikan hasil yang diharapkan.
Atas nama kebebasan, manusia harus bebas mengkonsumsi minuman keras, meski sejarah tak dapat membuktikan bahwa minuman keras itu baik bagi manusia. Ada yang tampil dengan membawa data penelitian: alkohol dalam dosis kecil itu baik bagi tubuh. Tapi siapa yang sanggup untuk selalu menghentikan dirinya? Ketika minum segelas, pikirannya sudah terpaut pada gelas kedua. Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, ia telah melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Memang benar, manusia akan menghindari sesuatu yang akalnya telah memahami keburukannya. Tapi bagaimana kalau yang dirusak oleh alkohol justru akalnya?
Untuk menyiasati, muncullah aturan ‘don’t drink and drive’. Jangan mabuk sebelum menyetir, atau boleh mabuk, asal tidak menyetir. Pemabuk yang menyetir adalah sumber permasalahannya, bukan mabuknya, bukan pula alkoholnya. Tapi apa gunanya membuat aturan untuk para pemabuk? Bukankah aturan hanya dapat dipahami oleh mereka yang akalnya sehat? Ketika orang sudah menenggak alkohol, sulit untuk mencegah mereka untuk menjadi setengah mabuk. Kalau sudah setengah mabuk, sulit mencegah mereka untuk mabuk. Kalau sudah mabuk, siapa yang bisa melarang mereka menyetir?
Atas nama kebebasan, anak usia 18 tahun harus sudah dianggap mampu membuat pilihannya sendiri, meski sekolah dan kuliahnya masih dibiayai orang tua, dan dianggap mampu menentukan nasibnya sendiri, meski sebenarnya tak ada orang yang tahu takdirnya seperti apa. Terserah dia mau pacaran dengan siapa, mau berzina dengan siapa, orang tua tak perlu ikut campur, agama tak usah mengatur-atur. Orang tua hanya perlu bersiap lapang dada jika anaknya hamil atau menghamili di luar nikah, kawin lari, atau kena penyakit akibat perbuatan kotornya. Orang tua tak usah menghakimi, tapi wajib memaklumi dan menemani anaknya ketika sakaratul maut karena sakit yang diakibatkan oleh segala hal yang mereka larang-larang dahulu.
Memang bukan perkara mudah menyandingkan Islam dengan liberalisme, karena keduanya terlalu keras bertentangan. Seseorang memeluk Islam didasarkan atas keimanan. Kata “iman” itu sendiri seakar kata dengan “amn” yang maknanya adalah keadaan aman. Karena itu, di dalam konsep iman ada perasaan aman, ada pula cinta yang lahir dari perasaan aman itu. Mereka yang beriman kepada Allah SWT adalah orang-orang yang telah menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Allah-lah yang sejak dahulu memenuhi kebutuhan makhluk-makhluk-Nya, dan ketika kita membutuhkan sesuatu, maka Dia-lah yang akan memenuhinya, jika Dia berkehendak.
Tidak mungkin memahami Islam tanpa iman, tidak mungkin beriman tanpa berserah diri. Mereka yang menyangka mampu mengatasi segala persoalannya sendirian pada akhirnya akan hidup sendiri, mati sendiri, tapi sayangnya urusannya tidak berakhir di situ. Ia akan dibangkitkan, dan ketika dibangkitkan, ia tidak sendirian. Di sana ada orang-orang yang hidup bersamanya, yang menuntut keadilan atas apa yang telah diperbuatnya, ada malaikat yang menyampaikan kesaksiannya, dan tentu saja ada Allah SWT yang akan menerima segala pengakuan pada hari itu. Pada saat itu, tak ada persoalan yang bisa diselesaikan sendirian. Yang menemui kematian dalam keadaan beriman atau kufur, di kehidupan berikutnya toh akan datang juga untuk menyerahkan diri ke hadapan Allah.
Banyak manusia bersikeras bahwa akalnya dapat menjangkau setiap penjuru alam semesta, menelaah setiap kemungkinan, memprediksi setiap kesudahan, namun pada akhirnya ia harus mengakui juga bahwa ada begitu banyak hal dalam hidup yang berada di luar kendalinya. Mereka yang menggunakan akalnya dengan benar akan sampai pada kesimpulan bahwa ada Dzat yang lebih memahami mereka ketimbang diri mereka sendiri. Perasaan aman akan meliputi diri manusia yang menyerahkan urusan kepada Yang Maha Mengetahui, dan sebaliknya, kekhawatiran akan terus meliputi mereka yang terus berusaha melawan-Nya.
Kaum yang berusaha mengerahkan kemampuan akalnya untuk menyerang agama akan terus berbenturan dengan logikanya sendiri. Persoalannya, agama itu ciptaan Allah, dan akalnya pun ciptaan Allah. Keduanya tidak diciptakan untuk saling memerangi. Jika hal itu dilakukan, maka manusia sendiri yang akan merugi.
Memerangi agama dengan akal hanya akan menyingkap kelemahan akal itu sendiri. Logika liberal yang ‘berantakan’ dapat dengan mudah kita temukan ketika mereka mengklaim bahwa kebenaran itu relatif, seraya bersikap seolah-olah pendapat tersebut adalah kebenaran absolut. Kita dapat melihat inkonsistensi mereka pada klaim mereka yang mengatakan bahwa semua pendapat benar, namun mereka menghabiskan hari-harinya untuk menyalahkan orang lain, terutama yang pendapatnya berseberangan dengan mereka. Mereka terus saja mengatakan bahwa hanya Allah yang tahu kebenaran, namun ketika wahyu Allah disampaikan, mereka malah berpaling.
Kita, yang beriman kepada Al-Qur’an, tentu tak merasa asing dengan tabiat mereka. Dahulu, di kolong langit ini pernah hidup kaumnya Nabi Nuh as, yang didakwahi ratusan tahun, namun tak kunjung bisa diyakinkan, meski banjir besar telah melanda. Di muka bumi ini juga pernah hidup sebuah bangsa yang menyaksikan bagaimana laut dibelah dan seorang tiran dibenamkan, namun mereka masih meminta berhala ketika akhirnya beroleh keamanan. Ada kaum yang meminta dipimpin oleh seorang Nabi dan raja, dan Allah memberikan keduanya, namun mereka tak juga patuh. Kemudian Allah mengutus Nabi dan Rasul secara bergantian, tanpa jeda, agar mereka merengkuh hidayah, tapi tak juga sudi mereka lakukan. Hingga akhirnya Allah sampaikan utusan terakhir-Nya ke hadapan mereka, dengan ciri-ciri yang telah mereka baca dengan jelas dalam Kitab-kitab sebelumnya, namun ada juga yang tak bisa diyakinkan sampai malaikat menjemput mereka satu persatu.
Mereka bermimpi tentang kebebasan, berimajinasi untuk bebas dari segala aturan, meski lisannya tak cukup jantan untuk mengakui obsesinya yang sejati, yaitu untuk membebaskan diri dari Allah. Tapi bagaimana engkau akan melawan Dia yang tak memiliki tandingan?
wassalaamu’alaikum wr. wb.
Radix WP
Posted at 16:28h, 29 August“Agama yg paling diridloi cuma Islam” itu cuma klaim sepihak dari kitab keagamaan Islam. Blm tentu kata Tuhan. Di situlah kekemahan logika paling utama dari artikel di atas.
Berusaha menampilkan diri dg pikiran kritis. Tapi ternyata tak berani mengkritisi hal yg paling mendasar utk dikritisi, yaitu dogma.
malakmalakmal
Posted at 23:43h, 29 AugustKalau Anda bisa membaca dengan teliti, pasti bisa melihat bahwa yang dibicarakan di sini adalah kelompok Islam liberal, yang berulang kali ditegaskan sebagai kelompok yang masih mengaku Muslim juga (hence the name). Logikanya, kalau mengakui beragama Islam maka pasti mengakui kebenaran Kitab Suci agamanya, yaitu Al-Qur’an. Jadi kalau yang bukan Muslim tidak mengakui ya memang mereka tidak masuk dalam bahasan artikel ini. Silakan coba dibaca lagi, mudah-mudahan pada percobaan kedua bisa lebih jelas 🙂
Radix WP
Posted at 00:07h, 30 AugustAdmittedly or not, bagi sebagian besar org Indonesia, agama itu warisan, bukan pilihan. Sedari kecil tiba2 ditodong utk percaya “klaim sepihak ttg kebenaran”, hrs percaya dulu pernah ada banjir global, pernah ada laut terbelah dll yg berdasarkan sains modern sungguh meragukan.
Hanya krn nasib terlahir dari org2 yg tercatat beragama Islam, terbelenggu oleh aneka kekangan. Pdhal banyak bangsa lain tak ambil pusing oleh kekangan2 dogmatis spt itu, lalu skrg jadi bangsa2 paling sejahtera di dunia–berdasarkan Human Development Index.
Jadi, silakan yakini apapun yg anda ingin yakini. Tapi, jangan halangi pilihan org2 Islam (abangan) yg menganggap agama cuma atribut primordial. Fair kan..
Yudhit Ingsam
Posted at 09:07h, 30 Augustsepertinya radix wp belum memahami apa yg coba disampaikan akmal sjafril,… concernnya adalah akan menjadi absurd ketika masih mengaku muslim tapi meragukan apa yang diajarkan dalam islam,… karena islam punya aturan, jika ragu ya keluar saja dari islam, jangan menggunakan atribut islam dan jangan mengkooptasi ajaran islam dengan pendekatan yg justru berasal dari luar islam,…semoga paham,…
malakmalakmal
Posted at 11:31h, 31 AugustSoal primordialisme, sudah saya jawab di tulisan terbaru saya, “Dogma Primordialisme” http://malakmalakmal.com/dogma-primordialisme/ 🙂
Obie
Posted at 08:19h, 30 AugustRadix, gw Islam tapi gak merasa terkekang, lu aja kali itu mah
Yudhit Ingsam
Posted at 09:11h, 30 Augustpemikiran agama adalah warisan bukan berasal dari islam, meski anda memaksakan untuk melihat pada kenyataan, justru kalau kita ingin fair harus dilihat juga berapa banyak anak yang pada akhirnya berbeda agama dengan orangtuanya,… dalam islam iman itu tak dapat diwarisi meski dari kedua orangtua yang bertaqwa sekalipun,…
luthfi
Posted at 23:47h, 31 Augustsaya mau komen dan apresiasi. tulisannya keren!
malakmalakmal
Posted at 16:17h, 01 SeptemberSemoga bermanfaat 🙂
Robby Sandi
Posted at 06:39h, 25 AprilLogika nya manusia, tdk akan sampai memahami kebesaran tuhan kecuali dengan keimanan.
Jgn maksain dehh, ntr nyungsep, gk bakal nyampe tuh akal.