Belajar dari Perjuangan Generasi Salaf Bangsa Ini
2040
post-template-default,single,single-post,postid-2040,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-3.3.2,woocommerce-no-js,qodef-qi--no-touch,qi-addons-for-elementor-1.8.1,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,qode-smooth-scroll-enabled,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-30.8.3,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-8.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780,elementor-page elementor-page-2040

Belajar dari Perjuangan Generasi Salaf Bangsa Ini

Belajar dari Perjuangan Generasi Salaf Bangsa Ini

_ae7d3451-8e02-41e5-8013-409948309207assalaamu’alaikum wr. wb.

Kemerdekaan Indonesia adalah buah dari perjuangannya yang tak kenal lelah dalam mengusir penjajah. Ini narasi yang dapat diterima bagi anak-anak sekolah dasar. Bagi mereka yang sudah lebih dewasa dan mampu menganalisis permasalahan secara lebih mendalam, ‘perjuangan’ itu perlu dijelaskan secara lebih akurat.

Setelah sekian lama berkuasa di hampir seluruh wilayah Nusantara, kenyamanan Belanda terganggu secara tiba-tiba lantaran kedatangan Jepang. Setelah menyerang Pearl Harbor pada Desember 1941, Jepang tidak membuang-buang waktu. Pada awal Januari 1942, angkatan militer Jepang telah melenggang di Borneo melalui Filipina. Pada 16 Februari 1942, sehari sesudah menduduki Singapura, Jepang telah memasuki Palembang. Di akhir bulan yang sama, mereka sudah memasuki Pulau Jawa. Rakyat Batavia hanya bisa terkaget-kaget ketika Belanda mengumumkan bahwa mereka secara resmi meninggalkan kota itu pada 5 Maret 1942. Hanya empat hari sesudahnya, Letnan Jenderal Ter Poorten, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda, telah mengeluarkan pernyataan untuk menyerah tanpa syarat. Meski demikian, masih ada aksi-aksi heroik yang tersisa. Mayor Jenderal Overtaker, panglima di Sumatera, berusaha melakukan aksi pengrusakan terhadap fasilitas-fasilitas strategis yang diincar Jepang. Pada bulan Mei, Jepang telah menduduki Medan dan segera mengatur dirinya. Pemerintah Militer Angkatan Darat (Tentara ke-25) memerintah di Sumatera dengan berpusat di Bukittinggi, Pemerintah Militera Angkatan Darat (Tentara ke-16) memerintah di Jawa-Madura dengan berpusat di Jakarta, dan Pemerintah Militer Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) memerintah di Sulawesi, Borneo dan Maluku dengan berpusat di Makassar.

Dalam waktu yang relatif sangat singkat, Jepang telah mengakhiri pendudukan Belanda di Nusantara yang telah berlangsung sangat lama. Hal itu bukannya tidak bisa dijelaskan secara rasional. Sebagaimana Jepang saat itu tengah merajalela di Pasifik, Jerman sibuk mengobrak-abrik Eropa sejak 1939. Belanda sendiri, meski awalnya bersikap netral dalam Perang Dunia II, pada akhirnya tetap menjadi korban invasi Jerman pada 10 Mei 1940. Lima hari kemudian, atau sehari sesudah Rotterdam dibombardir, angkatan perang Belanda sudah menyerah. Keluarga kerajaan mengungsi ke London, Inggris, sementara sebagian rakyatnya masih memberikan perlawanan secara sporadis. Dapat dibayangkan, ketika Jepang datang ke Indonesia, angkatan perang Hindia Belanda sudah seperti anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Bagaimana mereka akan bertarung dengan tangguh jika kampung halaman dalam keadaan porak-poranda?

Kondisi Belanda di negeri asalnya, dengan demikian, berkontribusi sangat banyak pada cepatnya Hindia Belanda bertekuk-lutut di hadapan Jepang. Bukan Jepang yang teramat sangat kuat (meskipun pada saat itu angkatan perang Jepang memang layak diperhitungkan), namun Belanda-lah yang memasuki pertarungan dalam kondisi sempoyongan.

Ekspansi Jepang yang begitu cepat di Pasifik pada akhirnya tidak bertahan lama. Justru luasnya wilayah yang harus dikelola itulah yang pada akhirnya menjadi bumerang. Selain harus menghadapi resistensi dari para penduduk asli yang sudah tidak lagi termakan dengan narasi ‘Jepang pemimpin Asia’, provokasi Jepang kepada Amerika Serikat (AS) juga pada akhirnya menjadi blunder. AS, yang tadinya tidak terlalu tertarik untuk melibatkan diri dalam Perang Dunia, mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghancurkan Jepang. Di Indonesia, Jepang mulai menggalang dukungan dari rakyat pribumi dengan cara membentuk kesatuan-kesatuan militer cadangan seperti Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa dan Gyugun di Sumatera. Akan tetapi, inisiatif yang baru secara efektif dilakukan pada 1944 itu sudah sangat terlambat. Pada Juli 1945, Jepang sudah dalam keadaan morat-marit dan menurunkan gengsinya untuk membicarakan perdamaian. Tanpa diduga-duga, pada 6 Agustus, ketika negosiasi damai masih dilakukan, AS menjatuhkan bom atomnya di Hiroshima. Tiga hari kemudian, bom atom juga dijatuhkan di Nagasaki, dan pada hari yang sama Uni Soviet justru mengumumkan perang dengan Jepang dan menghabisi kekuatannya di Manchuria. ‘Bagai jatuh tertimpa tangga’ bahkan tak cukup tragis untuk menggambarkan kondisi Jepang pada saat itu.

Sebelum dilucuti habis, Jepang telah berupaya membantu kemerdekaan di negeri-negeri yang didudukinya, termasuk Indonesia. Hal ini dapat dibayangkan sebagai langkah pragmatis belaka untuk merebut hati masyarakat. Jika Jepang kalah perang, maka bangsa-bangsa yang telah dibantu kemerdekaannya dapat diharapkan akan bertindak lebih baik kepada Jepang ketimbang negara-negara Barat yang berharap akan menduduki negeri-negeri itu kembali. Pada 7 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk. Dua hari kemudian, tiga orang tokoh PPKI, yaitu Sukarno, Hatta dan dr. Rajiman Wediodiningrat, berangkat ke Vietnam untuk menemui menemui para pimpinan pemerintahan Jepang di Asia Tenggara. Dalam pertemuan di Vietnam itu, Jepang kembali memperbarui komitmennya untuk memberikan kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Ketiga tokoh PPKI baru kembali ke Tanah Air pada 14 Agustus 1945, atau sehari sebelum Kaisar Jepang, Hirohito, mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Sebagaimana Jepang memanfaatkan momen Perang Dunia untuk menduduki Hindia Belanda, kemerdekaan Republik Indonesia juga merupakan buah dari kesigapan dalam memanfaatkan momentum. Setelah dua bom atom dijatuhkan, militer Jepang masih ada di Indonesia, dan para prajuritnya masih memegang bedil dan samurai. Akan tetapi, karena kampung halaman hancur lebur, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Dalam keadaan Jepang yang sudah lumpuh dan Sekutu belum datang itulah para pemimpin bangsa ini berpikir cepat dan mengambil inisiatif untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Pada 17 Agustus 1945, di dalam Bulan Ramadhan, terjadilah apa yang telah ditaqdirkan itu.

Jepang yang sudah babak belur memang sudah tidak lagi berpikir untuk merebut kembali Indonesia. Akan tetapi, Belanda, yang sudah ratusan tahun hidup sejahtera dengan merampok kekayaan alam Nusantara, masih ingin merasakan lezatnya hidup dengan hasil menjajah, apalagi setelah merasakan lima tahun nestapa diinjak-injak Jerman di negeri sendiri. Sekutu, yang pada awalnya hadir sekadar untuk melucuti tentara Jepang, diam-diam memboncengi Belanda dan semakin sering membikin onar. Di sana-sini terjadi bentrokan antara rakyat Indonesia dengan prajurit Belanda dan Sekutu. Perang besar akhirnya pecah pada 10 November 1945 di Surabaya. Pada 1946, angkatan perang Belanda telah bermunculan di mana-mana dan rakyat Indonesia harus kembali menghadapi musuh lamanya itu. Perlawanan kuat muncul di Sumatera dan Jawa, sedangkan pulau-pulau lain kembali berada di bawah kekuasaan Belanda dalam waktu relatif singkat.

Pada November 1946, dalam keadaan terdesak, Indonesia terpaksa menyetujui Perjanjian Linggajati yang menyatakan bahwa Indonesia hanya berkuasa atas Sumatera, Jawa dan Madura. Pada 20 Juli 1947, Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama, yang disebutnya sebagai ‘aksi polisionil’, yaitu tindakan sekadar untuk mengembalikan ketertiban. Hasilnya adalah tertekannya kekuatan perang Indonesia di sebagian Sumatera, dan wilayah yang masih dikendalikan oleh Republik pada saat itu hanyalah Yogyakarta dan sekitarnya. Pada Januari 1948, Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Renville yang semakin mempersempit wilayah Indonesia. Setelah dihujani kritik karena ketidakpuasan rakyat atas Perjanjian Renville, Perdana Menteri Amir Syarifuddin mengundurkan diri di akhir bulan yang sama. Delapan bulan kemudian, yaitu pada September 1948, Amir malah muncul kembali dalam sebuah pemberontakan bersama Muso dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun. Dalam keadaan Republik yang seperti itu, pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua. Presiden dan hampir seluruh kabinet menyerahkan diri di Yogyakarta. Sementara itu, jihad masih dilanjutkan di Jawa di bawah pimpinan Jenderal Sudirman yang tidak mau ikut-ikutan menyerahkan diri, dan di Sumatera berdiri pula Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara.

Di Sumatera, PDRI bekerja dalam keadaan terus berpindah-pindah dari hutan ke hutan, sesekali berkumpul di suatu kampung untuk segera berpencar lagi dalam waktu singkat. Belanda terus berpropaganda bahwa Indonesia sudah tak ada, namun perlawanan rakyat membuktikan segalanya. Di Sumatera Barat, para ulama menyerukan jihad dan menghukuminya sebagai fardhu ‘ain. Para lelaki dewasa berangkat ke hutan untuk bergerilya, meninggalkan anak-istri dan orang tua mereka di kampung-kampung. Belanda seringkali memanfaatkan keadaan ini dengan menghujani perkampungan dengan mortir-mortirnya, sehingga korban jiwa dari rakyat sipil sangat banyak. Ulama seperti Buya Hamka, ditemani putranya, Rusydi, berkeliling pedalaman Sumatera Barat dengan berjalan kaki untuk memberi asupan rohani kepada para mujahid. Ada juga sebagian orang yang pada saat itu memilih untuk tidak ikut berjihad dan memilih untuk terus menyibukkan dirinya dengan mencari nafkah. Setelah revolusi usai, nasib mereka kurang beruntung, sebab mereka dicemooh dan dijauhi orang karena dipandang sebagai antek Belanda. Hal ini digambarkan oleh Buya Hamka dalam salah satu novelnya yang berjudul Menunggu Beduk Berbunyi.

Pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan oleh Belanda, dan juga agresi militernya yang sangat kejam, mendapat perhatian dunia. Para tokoh bangsa dan mahasiswa Indonesia di luar negeri terus menggalang solidaritas. Mesir, yang telah mengakui kedaulatan Republik Indonesia sejak 1947, beserta negara-negara Timur Tengah lainnya, melancarkan kecaman terhadap Belanda. Aksi boikot juga terjadi di berbagai negara sahabat. AS, yang pasca Perang Dunia II menjadi salah satu negeri terkuat, juga ikut mengecam. Tekanan internasional itu berhasil memaksa Belanda untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung sejak akhir Agustus hingga awal November 1949 di Den Haag. Hasilnya, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Jika uraian di atas sudah terasa cukup rumit, maka yakinlah bahwa kenyataannya masih jauh lebih kompleks lagi. Masih banyak kejadian-kejadian lain yang tidak diceritakan, baik karena ketidaktahuan penulis maupun karena keterbatasan ruang dan waktu untuk memaparkannya. Setidaknya, penjelasan di atas diharapkan mampu untuk memperjelas makna ‘perjuangan’ yang telah diperbincangkan di awal.

Demikianlah perjuangan generasi salaf (terdahulu) di negeri ini. Yang namanya perjuangan bukan hanya angkat senjata, tapi dimulai dari doa, mendidik umat, mencetak para mujahid, berjuang di meja perundingan, bergerilya menggalang dukungan di negeri orang, bersabar menyaksikan anggota keluarga yang menjadi syuhada, berjihad dengan harta dan nyawa, memanfaatan momentum yang tersaji di depan mata, atau bahkan bertahan sekadar untuk mengulur waktu; semuanya adalah bagian dari perjuangan.

Generasi salaf negeri ini tetap berjuang meski menurut perhitungan di atas kertas pasti akan jatuh banyak korban jiwa, sebab memang tak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Jika Rasulullah saw harus menangis pilu menyaksikan dada Hamzah ra berlubang, apakah umatnya pantas mengharapkan hidup tanpa diuji? Ketika Presiden Sukarno menyerah di Yogyakarta, Jendral Sudirman dan para pemimpin bangsa di Sumatera tidak kebingungan menunggu perintah dari Ulil Amri, sebab kondisi di lapangan memang seringkali menuntut keberanian untuk berinisiatif. Dan ketika para ulama Minangkabau mewajibkan jihad, tak ada rakyat yang mencela, meski mereka tahu rumahnya bisa dimortir kapan saja. Korban jiwa berjatuhan, tak ada yang saling menyalahkan, sebab perjuangan ini milik semua. Ada begitu banyak segi dari perjuangan. Oleh karena itu, para pendahulu kita dengan penuh kerendahan hati telah menyatakan bahwa kemerdekaan bangsa ini adalah “Atas berkat rahmat Allah.”

Mari meneladani generasi salaf.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

1 Comment
  • Joy.karimson
    Posted at 15:50h, 03 November Reply

    Teramat sedih kaum salaf negeri ini melihat generasi mudanya dengan gampangnya menCap orang-orang yang sedang berjuang dicapnya sebagai teroris padahal, merekalah ibarat saudara kandung kami yang pertama mengakui kami sebagai bangsa yang merdeka. Teramat sempit generasi mudanya memagari siapa yang membantu siapa maka dia adalah siapa siapa tersebut, padahal yang memagari taklantas membantu dengan segenap jiwa dan raga. Padahal yang mereka inginkan agar secepatnya menyusul saudara kandungnya untuk menjadi bangsa yang merdeka, agar bayi bisa bercanda dengan orangtuanya, agar anak2 dapat bersekolah dan beribadah, agar orangtua bisa menjadi rumah dan naungan untuk anak anaknya.

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.