07 Jul Can You Handle The Truth?
assalaamu’alaikum wr. wb.
Di beberapa grup Whatsapp, pembicaraan seputar Covid-19 sudah resmi dinyatakan terlarang. Semua khawatir daya tahan tubuhnya akan turun justru karena banyak menyimak berita seputar pandemi ini. Pasalnya, sejak awal pandemi, sudah beredar kata-kata “kepanikan adalah separuh penyakit, dan ketenangan adalah separuh obat” yang konon dinisbatkan kepada Ibn Sina. Kata-kata ini kemudian menjadi sangat populer, bahkan Presiden Joko Widodo pun tak ketinggalan juga telah menggunakannya dalam sebuah kesempatan.
Saya rasa banyak yang kurang jeli dalam memahami ucapan Ibn Sina tersebut. Beliau memang bicara soal kepanikan dan ketenangan, tapi tidak membahas soal ketidaktahuan atau ketidakmautahuan. Jika Anda akan sedang mengendarai mobil Anda melintasi jalan pegunungan yang berkelok-kelok di tengah malam yang berkabut, maka Anda harus tenang dan jangan panik. Akan tetapi, sangatlah penting bagi Anda untuk mengetahui bahwa situasi yang Anda hadapi memang cukup berbahaya, sehingga ia harus dihadapi secara serius. Kalau Anda lupa — meski barang sejenak saja — bahwa jarak pandang Anda sangat terbatas, mungkin Anda akan secara sembrono memacu mobil dengan kecepatan normal, bahkan lebih daripada itu.
Tidak mau menyimak berita soal Covid-19 sangatlah berbeda dengan ketenangan dalam menghadapinya, demikian juga mendengarkan berita seputar pandemi tidak mesti melahirkan sebuah kepanikan. Kalau sama sekali tidak menyimak berita, kita akan sangat merugi, karena kita akan sangat ketinggalan informasi di saat-saat kita justru membutuhkannya dengan sangat cepat sekarang ini. Tanpa mendengarkan informasi terkini, mungkin kita tidak tahu bahwa ada begitu banyak varian baru dari virus corona, dan juga tidak tahu bagaimana caranya mengenakan masker ganda. Atau, jangan-jangan, kita termasuk sebagian orang yang masih termakan berita bohong bahwa virus ini sama sekali tidak berbahaya, padahal sudah banyak rumah sakit yang kelebihan kapasitas dan tabung oksigen semakin susah dicari saking banyaknya orang yang menggunakannya?
Ketidakmautahuan juga tidak akan membuat masalah lenyap begitu saja. Hanya karena sebagian orang menolak untuk membicarakannya, Covid-19 tetap saja menyebarluas ke mana-mana. Kurang lebih sama saja seperti anak sekolah yang pura-pura tidak tahu jadwal ujian dan memilih untuk terus asyik dalam permainannya sehari-hari; pada akhirnya, toh ia terpaksa ikut ujian juga, dan menanggung akibat dari ketidakmautahuannya itu.
Mengingkari bahaya yang mengintai, pada kenyataannya, juga tidak membuat seseorang menjadi pemberani. Jika seseorang mampu menjalani hidupnya dengan normal lantaran selalu menghindari pemberitaan soal Covid-19, maka sesungguhnya ia bukan tidak takut lagi kepada virusnya, namun justru ia berada dalam keadaan yang lebih menyedihkan daripada itu; jangankan menghadapi virusnya, menghadapi pemberitaannya pun ia tak berani! Belakangan ini kita disuguhi semacam komedi yang sangat menyakitkan. Betapa banyak orang yang mengaku tak takut Covid-19, tapi kemudian tenggelam ke dalam suasana panic buying memborong susu merek tertentu, vitamin, obat-obatan yang sebenarnya tak boleh dikonsumsi tanpa bimbingan dokter, dan bahkan kelapa ijo. Kalau mulutnya membicarakan keberanian, maka sikap latahnya justru membuktikan hal sebaliknya.
Kata-kata Ibn Sina sebelumnya mungkin cukup akurat. Saat ini kita menyaksikan bangsa kita kepayahan menghadapi Covid-19, sebab banyak orang menyangka ketenangan itu timbul dari ketidaktahuan, padahal ketidakmautahuan hanyalah topeng untuk menutupi kepanikannya belaka.
Saya rasa, sudah saatnya kita membuang jauh-jauh kebiasaan bangsa kita yang tidak mau menerima kabar buruk sebagai sebuah kenyataan. Padahal, meskipun namanya kabar buruk, ia tak lain adalah kabar juga yang semestinya dinilai dari tingkat kebenarannya. Kalau memang benar situasi buruk, maka baiklah kita dengarkan apa adanya, meski pahit. Sebab, jika suatu masalah tidak diatasi atau ditunda-tunda penyelesaiannya, maka ia hanya akan bertambah buruk.
Menyatakan bahwa beberapa bulan ke depan perekonomian akan meroket tentu tidak otomatis akan menyebabkan hal itu benar-benar terjadi. Demikian juga penanganan pandemi tidak bisa hanya dengan narasi yang optimis saja. Memang benar, optimisme itu harus menjadi sikap kita dalam kehidupan sehari-hari, namun seseorang dinyatakan optimis jika ia masih percaya diri setelah mengetahui berbagai kesulitan dan ancaman bahaya di hadapannya. Kalau ia tidak tahu, maka ia disebut naif, bukan optimis. Sayangnya, sejak awal pandemi, justru kenaifan itulah yang dipelihara melalui narasi-narasi yang ditawarkan oleh sejumlah influencer di Tanah Air. Kini, setelah segalanya terjadi berkebalikan dari narasi-narasi itu, adakah mereka mampu mempertanggungjawabkan kata-katanya?
Amat disayangkan, penyakit yang sama (yaitu keengganan menghadapi kenyataan) juga menjangkiti banyak aktivis Muslim. Sampai saat ini, masih ada saja yang mengatakan bahwa untuk mengatasi Covid-19 tidak perlu obat-obatan khusus, cukup dengan dzikrullah semata. Padahal, sejak awal pandemi, sudah banyak alim ulama dan orang-orang shalih yang telah meninggalkan kita, sedangkan mereka adalah para ahli dzikr. Ada juga yang bilang bahwa kita tidak perlu takut virus akan menyebarluas di masjid, karena masjid itu rumah Allah. Padahal, meskipun tidak selalu mendapat ruang pemberitaan yang masif di media massa, banyak imam dan pengurus masjid yang tertular virus dan wafat karenanya. Sebagian tertular di pesantren, yang sudah barang tentu menjadikan masjid sebagai bangunan sentral di dalamnya.
Masih segar dalam ingatan saya bagaimana seorang penikmat musik cadas yang (waktu itu) aktif berdakwah dengan ringannya menuduh saya sebagai penyusup di barisan dakwah hanya karena saya memaparkan berbagai argumen yang melandasi pandangan yang berbeda dengan dirinya tentang Syi’ah. Beberapa tahun silam, justru dia sendirilah yang memproklamirkan dirinya ‘pensiun’ dari jalan dakwah. Dalam kesempatan lain, ada juga orang yang menuduh saya telah melemahkan perjuangan umat di Suriah, hanya karena saya mengkritisi perpecahan yang terjadi di antara para pejuang Muslim di Suriah, yang juga mengakibatkan perpecahan di antara para aktivis Muslim di Tanah Air. Banyak orang tidak siap menerima kabar buruk, termasuk kritik. Padahal, kritik itu biasa-biasa saja. Ketika Anda membaca Surat Al-‘Ashr dan menemukan perintah untuk ‘tawaashaw bil-haq’ (saling menasihati tentang kebenaran) dan ‘tawaashaw bish-shabr’ (saling menasihati tentang kesabaran), apakah Anda mengira yang disebut nasihat itu tak ada yang berupa kritik? Padahal, ketika para sahabat Rasulullah saw saling meminta dengan ucapan “nasihatilah aku”, maka kata-kata itu lebih dekat maknanya dengan “kritisilah aku!”
Kalau Allah SWT menghendaki kebaikan bagi hamba-hamba-Nya, maka Dia akan menguji mereka. Kapan kita akan ‘naik level’ di hadapan Allah SWT jika kita terus-terusan mengingkari kenyataan dan berpura-pura bahwa segalanya selalu dalam keadaan baik-baik saja?
wassalamu’alaikum wr. wb.
Yiazmat
Posted at 08:05h, 08 July“We may accept this fate, or defy it, but we cannot deny it “- Urianger Augurelt (Final Fantasy XIV)
Ya dicoba aja, yang bilang virusnya ga ada silahkan ditemenin ke rumah sakit terus bilang ke yang sedang terbaring sakit megap2 butuh oksigen “virusnya ga ada, lo semua diboongin”
Then run
malakmalakmal
Posted at 14:06h, 08 JulyKita semua tau kan kalo yang sesumbar kayak gitu biasanya gak pernah mau repot juga 😀
Yiazmat
Posted at 14:03h, 09 JulyNormal Person +Anonimity + Audience = Dickwad