Catatan untuk Arif dan Gita
1939
post-template-default,single,single-post,postid-1939,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780,elementor-page elementor-page-1939

Catatan untuk Arif dan Gita

Catatan untuk Arif dan Gita

Assalaamu’alaikum wr. wb.

Siapa sangka, setelah delapan belas tahun berlalu, kata-kata yang pernah terlontar dari seorang mahasiswa perguruan tinggi Islam di Bandung yang ingin kelihatan liberal dua puluh empat karat itu muncul lagi.

Allahuakbar katamu? Anjinghuakbar atau allahuanjing kali”, begitu bunyi lengkapnya.

WhatsApp Image 2022-11-30 at 12.47.54 PM

Kalimat tersebut adalah komentar yang dilontarkan oleh pemilik akun @8612fan di platform Instagram untuk menanggapi sebuah postingan di akun @its.chelsy milik Chelsy Arta. Dalam postingan tertanggal 27 November 2022 tersebut (lihat gambar), Chelsy menulis:

Maaf ye git, gw juga ada kebebasan dalam berbicara kan? Gw jg berhak open minded kan? Semoga Allah jaga dan beri hidayah selalu. Rahmat ampunan Allah insyaallah luas kok…

WhatsApp Image 2022-11-30 at 12.46.09 PM

Gita Savitri kembali menjadi sorotan banyak orang. Setelah beberapa waktu lalu menghebohkan dunia maya dengan keinginannya untuk tidak memiliki keturunan (childfree), kali ini ia menyampaikan ketidaksetujuannya dengan sikap Qatar yang melarang praktik dan penggunaan simbol-simbol LGBT dalam perhelatan Piala Dunia 2022. Seperti lazimnya para pendukung LGBT, Gita melabeli Qatar sebagai negeri yang menghidupkan homofobia (homophobia).

WhatsApp Image 2022-11-28 at 3.02.54 PM WhatsApp Image 2022-11-28 at 3.03.39 PM

Sikap Gita yang mendukung LGBT, yang tidak sejalan dengan sikap mayoritas bangsa Indonesia yang umumnya religius, mendapat kecaman dari banyak pihak, termasuk pengikutnya sendiri. Apa dinyana, ketika netizen mengkritisi sikapnya, Gita malah memaki dengan cara yang sangat kebablasan.

“Dulu lo stunting kali ya makanya agak lamban.”

“Ni lagi orang stunting nambah satu. Freak.”

Sikap Gita yang demikian tentu hanya memperkeruh masalah. Sementara itu, para pengikut Gita juga melibatkan diri dalam pusaran perdebatan, termasuk akun @8612fan yang kemudian memaki dengan kata-kata “anjinghu akbar” dan “Allaahu anjing”. Setelah dikonfirmasi oleh beberapa pihak, pemilik akun yang mencantumkan nama Arif Setiawan di profilnya ini mengaku khilaf dan meminta maaf. Yang menyakitkannya, ia mengaku sebagai Non-Muslim. Sebagai pengikut setia Gita Savitri, ia merasa kesal melihat idolanya disudutkan, sehingga akhirnya khilaf dan terucaplah kata-kata di atas.

Ada beberapa hal yang perlu kita bahas di sini.

 

Dunia Bukan Hanya Barat

Gita dan mereka yang sudah terlanjur terpesona dengan Barat mungkin lupa bahwa Barat bukanlah segala-galanya. Bahkan sebenarnya, kekaguman yang berlebihan terhadap Barat justru menunjukkan sempitnya wawasan. Jika kita mempelajari sejarah secara mendalam, kita akan menyadari bahwa Barat baru digjaya beberapa ratus tahun saja. Bahkan Eropa baru hidup relatif damai dan Amerika Serikat (AS) menjadi negara adidaya sejak Perang Dunia II berakhir, dan itu artinya baru tujuh puluhan tahun saja. Jangan bandingkan dengan kejayaan Andalusia yang melintasi masa hampir delapan ratus tahun.

Ketidakjujuran Barat dalam menulis sejarah telah dikritisi oleh banyak pihak, termasuk para sejarawan Barat sendiri. Berbicara soal sains, Barat terbiasa membahas penemuan-penemuan dari para saintis Yunani kuno, dan kemudian ‘tiba-tiba’ saja melompat ke zamannya Galileo Galilei. Tidak banyak orang yang menyadari bahwa di antara kedua zaman itu membentang masa hampir satu milenium; apakah selama seribu tahun itu sains dunia benar-benar tak berkembang? Kenyataannya, dunia memang bukan cuma Barat. Ketika Barat mengalami zaman kegelapannya (The Dark/Medieval Age), pada saat itu Islam memiliki dua ibukota sains dunia di Timur dan Barat, yaitu Baghdad dan Qurthubah (Cordoba). Di luar itu, masih ada peradaban Cina, India, Jepang dan lain sebagainya yang seringkali — sengaja atau tidak — ditinggalkan begitu saja dalam kajian-kajian sejarah sains yang dilakukan oleh Barat selama ini.

Kenyataannya, peradaban Andalusia yang begitu megah akhirnya runtuh juga. Begitulah faktanya. Hanya saja, sepeninggal Islam, Spanyol dan Portugal tidak pernah menjadi mercusuar sains dan teknologi lagi. Kedua negara ini justru dikenal karena kebuasannya, mulai dari inkuisisi (pencarian dengan kata kunci “spanish inquisition” dan “portuguese inquisition” akan memberikan pengalaman menakutkan bagi siapapun yang masih punya hati) hingga penjajahan yang meninggalkan jejak berdara dari benua Afrika hingga Amerika, salah satunya di negeri tumpah darah Gita Savitri sendiri.

Jika melihat sejarah butuh usaha yang tidak sedikit, baiklah kiranya Gita menengok kondisi kehidupan di Barat pada masa kini. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit dan kendaraan-kendaraan canggih yang melesat cepat, ada keluarga-keluarga yang tak utuh lagi. Anak-anak tak lagi mengenal siapa ayahnya, bahkan ibu merekapun tak lagi bisa menyebutkan sebuah nama, sebab ia terbiasa tidur dengan begitu banyak lelaki. Zina, minuman keras dan narkoba telah menghancurkan kemanusiaan dan mengakibatkan korban yang tidak sedikit. Kalau Gita rajin menyimak pemberitaan dari AS tentang kasus-kasus penembakan masal di sekolah yang makin marak, maka ia akan bertemu juga dengan persoalan bullying dan kepemilikan senjata berapi yang sudah di luar kendali. Akan tetapi, itu semua hanya masalah di permukaan. Kalau benar-benar berminat menyelam ke kedalaman, maka yang akan dijumpainya adalah persoalan ketahanan keluarga; suatu topik yang sangat dibenci oleh orang-orang sekuler, baik di Barat maupun di negeri Gita sendiri.

Beberapa teman yang bolak-balik ke AS selalu menyampaikan kabar bahwa kondisi di sana sangat memprihatinkan. Gelandangan dan peminta-minta semakin banyak, bahkan di kota yang hanya menawarkan hedonisme seperti Las Vegas. Kereta bawah tanah begitu menakutkan dan hanya dinaiki orang kalau kantongnya sedang benar-benar kempes. Kalau ada waktu senggang, main-mainlah ke Youtube dan gunakan kata kunci “Kensington Avenue” agar pandangan kita semakin proporsional terhadap Barat.

Di hadapan realita yang demikian, bukalah pikiran dan pahamilah pandangan orang-orang yang tidak lagi memandang Barat sebagai kiblat untuk berpikir. Sudah banyak beredar video-video yang menunjukkan sikap rasis orang Barat yang bahkan bisa tersulut kemarahannya hanya lantaran mendengar ada orang yang menggunakan bahasa asing di negerinya, padahal mereka tengah berbicara dengan rekan senegaranya sendiri. Jika sebesar itu fanatisme Barat terhadap budayanya sendiri, lantas mengapakah Qatar tidak boleh menegakkan aturan yang sejalan dengan kebudayaannya? Qatar tidak melarang kedatangan pelaku LGBT, karena toh hal semacam itu terlalu sulit untuk dideteksi. Yang dilarang hanya praktik dan simbol-simbolnya saja, yang sebenarnya sama sekali tidak berkaitan dengan sepakbola. Lagipula, Piala Dunia hanya perhelatan yang lebih singkat daripada musim haji. Apa Gita Savitri sudah sebegitu termakan dengan arogansi Barat sehingga sulit sekali menghargai kebudayaan orang lain?

 

LGBT Bukan Fitrah Manusia

Betapapun kerasnya upaya Barat meyakinkan dunia, LGBT tetaplah bukan fitrah manusia. Begitu gigihnya AS menempatkan dirinya di garda terdepan untuk mendukung penyimpangan ini, pada kenyataannya mereka tetap tidak bisa mengubah kenyataan yang tertera pada data statistik yang mereka dapatkan sendiri. Menurut Centers for Disease Control (CDC) di AS, pada tahun 2020, yang terjangkit HIV akibat hubungan seksual di antara sesama laki-laki mencapai angka 68% dari total populasi yang terjangkit, sedangkan yang heteroseksual hanya sebesar 22%.

cdc-hiv-statistics-diagnoses-category-1200x630

cdc-hiv-statistics-diagnoses-subpopulations-1200x630

 

Hubungan seksual sesama jenis tidak menawarkan kesehatan, apalagi ketentraman jiwa. Sekuat-kuatnya orang berkilah mengatakan bahwa perilaku sodomi itu normal, misalnya, pada kenyataannya ia tetaplah mengakibatkan kerusakan pada organ tubuh pelakunya. Semua itu karena apa yang dilakukan memang tidaklah sesuai dengan spesifikasi tubuhnya sendiri. Sayuran memang sehat, namun memaksa Singa untuk mengkonsumsinya sebagai pengganti daging adalah sebuah kezaliman, meski seluruh dunia menyebutnya normal.

Memaksakan diri untuk memaklumi LGBT pada akhirnya akan melahirkan kezaliman-kezaliman baru yang mungkin tak terbayangkan oleh banyak orang di Tanah Air yang terbius dengan slogan-slogan berbau ‘kemanusiaan’. Pada kenyataannya, kebanyakan manusia tetap ingin memiliki keturunan, termasuk pasangan gay dan lesbian sekalipun. Untuk mendapatkan anak, mereka bisa melakukan adopsi. Bagi pasangan lesbian, mereka juga bisa ke bank sperma dan membuahi sel telur salah seorang dari mereka dan membesarkan janin itu sampai melahirkan. Bagi pasangan gay, sekarang ada opsi menggunakan surrogate mother, yaitu ‘menyewa rahim’ seorang perempuan untuk membesarkan janin, kemudian mengambilnya sesaat setelah lahir. Akan tetapi, semua opsi ini pada hakikatnya adalah kezaliman juga. Anak yang semestinya mendapat kasih sayang ayah dan ibu pada akhirnya memiliki dua ayah atau dua ibu. Anak dari pasangan lesbian yang mendapatkan sperma dari bank sperma tidak pernah mengenali ayahnya, dan lelaki itupun tak pernah tahu bahwa ia memiliki keturunan entah di mana. Dan ke manakah perginya kemanusiaan ketika seorang seorang anak yang telah dikandung dalam rahim selama sembilan bulan direnggut begitu saja dari dekapan ibunya? Padahal sejak lahir, bayi sudah mampu mengenali ibunya sendiri dengan menggunakan indera penciumannya. Dapatkah Anda membayangkan trauma yang dialami bayi yang dilahirkan oleh seorang surrogate mother sesaat setelah ia lahir? Andai saja bayi itu sudah bisa berkata-kata, apa gerangan yang hendak ia sampaikan?

 

Gita Tidak Open Mind

Frasa “open mind” (berpikiran terbuka) sering digunakan oleh anak-anak muda belakangan ini. Sayangnya, karena literasi yang buruk dan budaya berargumentasi yang masih norak, frasa ini pada akhirnya hanya digunakan untuk memuji diri dan untuk kemudian menuduh orang lain sebagai pribadi yang close-minded (berpikiran tertutup).

Tindakan Gita yang serampangan menggunakan istilah “homophobia” dan minimnya upaya untuk memahami sikap dan kebudayaan Qatar menunjukkan bahwa ia berpikiran tertutup, meski suka mengklaim sebaliknya. Kita dapat menerima jika Gita merasa tersinggung dengan ujaran netizen, namun tidak semestinya ia menggunakan istilah “stunting” untuk menyerang lawan debatnya.

Hal yang lebih memprihatinkan lagi terlihat dalam sikap Gita setelah dikritisi atas ungkapan “stunting” tersebut. Melalui story di akun Instagram-nya, Gita berargumen bahwa makian semacam itu dapat dibenarkan jika mempertimbangkan sikap netizen yang dianggapnya usil dan suka mencampuri kehidupan pribadinya (termasuk pilihannya untuk mengganti jilbab dengan turban). Setelah mengungkapkan segala kekesalannya, Gita mengatakan, “For the stupidity that they have showed me, consider me being generous for making this stunting joke.

WhatsApp Image 2022-11-29 at 1.16.35 PM WhatsApp Image 2022-11-29 at 1.16.37 PM

Bukan hanya meminta dimaklumi dan dianggap perbuatannya sebagai sebuah kebaikan, Gita bahkan menganggap dirinya pantas mendapatkan penghargaan karena telah ‘menahan diri’ sehingga  ‘hanya’ menyebut para pengkritiknya sebagai penderita stunting. Dalam salah satu paragrafnya, Gita menulis:

You should be grateful that it’s what came out of my mouth. For what they have done to me, what they have said to me, for YEARS, I swear to God I deserve an award for surviving their violent behavior.

Di sini, Gita mengkhianati prinsip open mind yang dipuja-puji oleh pengikutnya sendiri. Pertama, opini yang disampaikan di ruang terbuka (termasuk dunia maya) tentu layak mendapatkan respon di ruang terbuka pula. Kebebasan beropini tidak boleh hanya diberikan kepada satu orang dan mengabaikan yang lainnya. Kedua, jika Gita merasa orang lain tak berhak beropini tentang dirinya, lantas apa yang membuatnya merasa berhak beropini tentang Qatar? Ketiga, jika Gita merasa orang tak perlu beropini tentang dirinya di akun media sosialnya (dalam hal ini Instagram), maka Gita bisa melayangkan protesnya kepada Instagram, atau menutup sekalian fasilitas komentar dalam setiap postingannya.

Fenomena semacam ini sudah lama terlihat di Indonesia. Memang dunia maya yang menawarkan kebebasan berpendapat dan rendahnya budaya berargumentasi dengan sehat adalah kombinasi yang sangat menakutkan. Akibatnya, banyak yang terbawa emosi dan mengatakan hal-hal yang tidak sepantasnya.

Bagaimanapun, komentar Gita tentang stunting tak dapat dibenarkan. Seandainya mau menjadikan kekesalannya kepada netizen sebagai pembenaran, maka sebaiknya Gita bertanya kepada diri sendiri kepada siapa tepatnya kekesalan itu pantas dialamatkan, dan siapa yang sesungguhnya tersakiti dengan ungkapan stunting tersebut? Di luar sana ada banyak keluarga yang berjuang dengan kebutuhan khusus anak-anak mereka yang mengalami stunting, dan mereka sama sekali tidak terlibat dengan perdebatan, bahkan bisa jadi mereka tak-tahu menahu siapa Gita Savitri. Adilkah membalas perbuatan jahat seseorang dengan menyakiti orang lain?

 

Pemberhalaan Manusia

Pada akhirnya kita harus kembali pada masalah yang memicu munculnya tulisan ini. Efek lain dari media sosial di Tanah Air, sebagaimana yang terbukti pada perilaku Arif Setiawan sebagaimana yang dibahas di awal tulisan, diakuinya sendiri karena kekagumannya pada Gita Savitri. Media sosial seringkali menjadi ‘ajang pamer’, sehingga sebagian orang dipandang kehidupannya lebih indah dan bahagia ketimbang yang lain. Muncullah para idola yang memiliki pengaruh sangat luas kepada para pengikutnya, dan karena itu mereka disebut sebagai influencer. Kesenjangan yang sangat besar di tengah-tengah masyarakat Indonesia memainkan peranan sangat besar di sini. Di luar sana, banyak anak muda yang belum memahami caranya menyikapi dunia dengan bijak, namun mereka telah tenggelam di dunia maya. Idola mereka begitu sempurna, sehingga sikap merekapun tak kurang dari menghamba; apa yang dilakukan idolanya selalu benar, dan semua yang tidak sepakat adalah musuh yang harus ditumpas!

Bagi yang familiar dengan kisah perjalanan dakwah Nabi Nuh as pasti menyadari bahwa kemunculan berhala bukanlah karena kedatangan makhluk supranatural yang mengaku dirinya Tuhan, melainkan karena pemujaan berlebihan terhadap manusia. Manusia hendak mengenang orang-orang shalih yang dihormati karena kebaikannya itu dengan membuat patung-patungnya, namun lambat-laun mereka lupa bahwa yang dibuatkan patungnya itu adalah manusia seperti mereka juga. Akhirnya, patung-patung itupun disembah; mereka mengharapkan rejeki darinya, seraya mengkhawatirkan kemurkaannya.

Mengagumi orang tentu sah-sah saja, dan hal itu memang lumrah, karena sudah semestinya kita mengakui kebaikan-kebaikan orang. Akan tetapi, kita juga tidak boleh lupa bahwa yang kita kagumi itu pada kenyataannya hanya manusia juga. Bersama segala kebaikannya, pasti ada kekurangannya juga. Kekaguman yang sehat, karenanya, adalah yang tetap di dalam batas-batas kewajaran. Kita boleh mengagumi kehebatan Michael Jordan dalam bermain basket, misalnya, namun tak perlu merasa berkewajiban untuk membenarkan gaya hidupnya. Pemujaan yang berlebihan terhadap manusia sebenarnya lebih menunjukkan adanya inferioritas dalam jiwa si pemuja ketimbang superioritas sang pujaan.

Arif Setiawan punya hak untuk tidak sependapat dengan mereka yang mengkritisi Gita Savitri, idolanya. Akan tetapi, menggunakan kalimat “anjingku akbar” dan “Allaahu anjing” jelas sudah kelewat batas. Kesalahannya berlipat ganda karena ia sendiri tidak beragama Islam. Ini tidak berarti bahwa yang Muslim boleh mengatakan hal itu. Hanya saja, dengan memaki demikian, maka ia telah ‘lompat pagar’ dan menghina agama lain; suatu perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan di negeri yang menjunjung tinggi toleransi dalam beragama. Hal yang paling konyol dari semuanya ini adalah fakta bahwa Arif, dalam rangka membela Gita Savitri, justru telah menghina Tuhannya Gita itu sendiri. Bukankah Gita masih mengaku dirinya Muslim?

Demikianlah emosi sesaat bisa membuat manusia terpental jauh dari akal sehatnya sendiri.

 

Saya Tidak Berhak Memaafkan

Setelah mengetahui penistaan yang dilakukan oleh Arif di akun Chelsy itu, saya berusaha menghubungi Arif lewat akunnya. Hanya saja, waktu itu akunnya sudah dikunci. Ketika saya sudah tidak tertarik lagi untuk berbicara dengannya, justru Arif yang berusaha menghubungi saya.

Sebenarnya, saya sudah berubah pikiran. Jika sebelumnya saya termakan emosi dan ingin bertemu muka dengan Arif, sekarang hal itu sudah tidak menarik lagi. Saya sudah mendapatkan cukup banyak informasi soal Arif, termasuk informasi-informasi yang tidak saya minta. Arif tidak perlu khawatir saya akan melakukan doxxing atau menyebarkan data pribadinya, karena saya sama sekali tidak berkeinginan melakukan hal yang demikian.

Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyadarkan seluruh bangsa Indonesia bahwa negeri kita tidak sedang baik-baik saja. Penistaan terhadap Islam — agama yang dianut oleh mayoritas rakyat negeri ini — terjadi begitu sering dan seolah dibiarkan begitu saja. Apa yang dilakukan oleh Arif adalah pelecehan terhadap agama Islam, bukan terhadap saya. Karena itu, saya tidak berhak memaafkannya.

Terlepas dari hukum positif yang berlaku, pada hakikatnya Arif perlu meminta maaf kepada seluruh umat Muslim di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Saya 100% yakin bahwa sampai kapanpun akan tetap ada yang tidak ridha dengan ucapan Arif tersebut.

Mudah-mudahan ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua; bagi para influencer yang lalai dengan tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT, bagi para pengikut yang telah berlebihan dalam memuja, bagi mereka yang terlanjur silau dengan Barat sehingga memandang rendah selainnya, dan juga bagi orang-orang yang merasa mereka berhak menghinakan Islam dan menyangka bahwa masalahnya akan selesai setelah meminta maaf kepada 1-2 orang pemeluknya.

Mari belajar bicara baik-baik. Negeri ini terlalu berharga untuk dibiarkan hancur begitu saja oleh orang-orang yang tak menimbang masak-masak sebelum bertindak.

Wassalaamu’alaikum wr. wb.

20 Comments
  • Hamba Allah
    Posted at 16:08h, 30 November Reply

    Saya tahu sosok yang bernama Arif itu. Dia juga punya masalah sama saya, di mana dia ini terlalu “mencari” tentang saya di dunia maya, melanggar privasi saya, dan sayangnya saya tuh gatau cara buat menyembunyikan konten-konten tentang saya di dunia maya. Akhirnya cuma saya blokir aja orangnya di semua tempat. Bahkan dalam suatu event, dia pernah sengaja jadi paparazzi, saya dicandid-candid sama dia di event tersebut. Lalu hasil candidnya dipamerkan di grup WhatsApp.

    Kebetulan orang ini ada hobi yang sama dengan saya, dan bukan cuma ama saya aja dia bermasalah, tapi juga sama orang-orang lain di hobi ini. Orangnya ini memang konon berkebutuhan khusus. Kalo pergi kemana-mana aja selalu pakai baju ungu atau pink, kayak ga pernah ganti baju atau bajunya emang cuma dua baju itu aja. Kalau soal apa agamanya, saya ga pernah tau sebelumnya sampai membaca tulisan ini.

    Karena banyaknya masalah antara Arif dengan orang lain ini, memang sepertinya Arif ini biang masalah. Cuma ya walaupun berkebutuhan khusus, saya rasa gak bisa dimaklumi juga. Apalagi suka melanggar privasi orang juga.

  • Zaynaskar Saleh
    Posted at 18:24h, 30 November Reply

    Nice

  • Atik Zulfiati
    Posted at 18:59h, 30 November Reply

    Terima Kasih atas pencerahannya Ustadz. Jujur sayapun dulu termasuk yang memandang barat sebagai sosok Hero. Tontonan Holywood mampu menerbangkan angan suatu saat pengen kesana kayak mereka. Segala terlihat indah dan hebat. Sehingga memandang barat bagaikan sosok tanpa cela yang apabila tidak seperti mereka itu sesuatu yang salah dan buruk.

    Kemudahan informasi yang beredar saat ini membuka mata bahwa kehebatan barat hanya kamuflase semata. Begitu banyak kebobrokan terpampang nyata. Mereka hebat karena kita yang memuja tanpa ilmu. Hanya tergiur tontonan yang telah disetting untuk kepentingan mereka

    Alhamdulillah kegelisahan mengantarkan untuk belajar lebih dalam tentang agama yang sudah dianut sejak lahir ini. Ternyata Islam tidak hanya sekedar seperti yang diajarkan seminggu sekali saat sekolah dulu. Islam ternyata begitu hebat yang saking hebatnya banyak yang ingin membuat muslim tidak mengetahui tentangnya. Berbagai cara diupayakan agar muslim tidak bangga dengan agamanya.. Padahal seandainya semua umat muslim tahu bagaimana Islam itu sebenarnya, maka barat akan tumbang dengan sendirinya.

    Ayo umat muslim. Mulai ketahui, pahami agamamu secara benar. Banggalah menjadi Muslim. Islam itu benar Agama yang Rahmatan Lil Alamin. Agama yang membawa keberkahan untuk seluruh alam. Solusi dari segala kegalauan kita.

  • Likhawaddin
    Posted at 19:45h, 30 November Reply

    Muantap, harusnya si Gita yg merasa paling German itu sadar, saat berhenti dari kebodohannya sendiri

  • Awaludin
    Posted at 19:53h, 30 November Reply

    Terimakasih pencerahan NYa bang akmal.. Lawan terus pemikiran yg merusak..

  • aisyah
    Posted at 20:39h, 30 November Reply

    semoga ini menjadi momentum untuk influencer muslim yang masih berakal sehat untuk lebih berani membela agamanya dengan cara-cara yang elegan

  • SM
    Posted at 22:08h, 30 November Reply

    Jaazakallahukhoir ustadz, senang membaca tulisan ustadz.

    Bagi saya menanggapi barat sederhana saja.., barat tempat terbenamnya matahari jd secara filosofis ya redup, lama-lama ya gelap. Maka tak begitu cocok bagi kita yg sedang mencari cahaya (ilmu) malah ke sana..

  • Gusfani
    Posted at 02:33h, 01 December Reply

    Sebetulnya, tulisan ini cocok banget kalo bisa dibaca secara jernih dan tenang oleh Gita. Semoga bisa jadi wawasan baru buat doi. Wallahu’alam akan sampai gak ya ke dia.

    Yang jelas, berharap ini adalah kali terakhir mbak ini bikin statement sensitif. Karena kayaknya dia hanya mikirin dirinya sendiri dan gak peduli orang lain terdampak apa atas statement2 dia. Yang dia tau, dia speak up dan dia berhak. Padahal kalo dipikir2, apa untungnya sih meng-influence orang lain untuk membangkang pada agamanya sendiri? Gak takut sama pencipta-Nya?

    Eniwei, selalu ada hal baru yg bisa kita dapetin kalo baca/dengerin kajian Bang Akmal.

    Jazakallahu khair, Bang!

    Semoga ini jg jadi reminder buat kami untuk berhati-hati berkomentar di medsos, meski diserang pake kata2 kebun binatang.

  • Ananto Widigdo
    Posted at 07:08h, 01 December Reply

    Representative ustadz. Saya dulu tau Gitasav karena mirip aktris Korea Kim Ji Won. Semakin kesini saya semakin yakin memilih Kim Ji Won dibanding Gitasav, karena Kim Ji Won tidak edgy dan sok open minded.

    • malakmalakmal
      Posted at 10:02h, 01 December Reply

      Nggak kepikiran untuk pindah ke Kim Jong Un? 😀

  • Anggi Permana
    Posted at 11:53h, 01 December Reply

    Barakallah pencerahannya Ustadz. Padahal Allah menghendaki wanita itu diakui, dihormati dan dimuliakan melalui perannya sebagai wanita yang menciptakan keserasian dan keharmonisan gender, Bukan seperti si Gita ini yang ingin kesetaraan Gender. Mungkin dia utusan Mr. J.H. Abendanon untuk menyebar pemikira feminis ke Indonesia. He…. Wallahu a’lam bish-shawab

  • Hamba Allah
    Posted at 12:14h, 01 December Reply

    Makasih banyak, Ustadz.. Yang paling relevan dan ngena buat saya adalah bagian pemberhalaan manusia,.. Kalo dipikir-pikir, sekarang otoritas orang kok kayak semakin kabur ya.. Kita kayak kebingungan gitu milih otoritas tentang siapa yang ilmunya bisa kita ambil, siapa yang layak jadi guru kita. Entahlah, apakah ini karena maraknya “budaya ngonten”? yang bikin semua orang pengen ngonten, pengen digugu, dan ditiru? Adab belajar orang-orang muslim Indonesia semoga makin baik, biar nggak salah milih ilmu, nggak salah milih guru juga..

  • GadisDesa
    Posted at 13:07h, 01 December Reply

    Suka aneh kalo ada anak muda yg lookup to gita. Padahal dia bukan siapa-siapa, majornya kimia, feminist, tapi ada aja yg konsul agama ke dia (kan gak nyambung). Aneh bat aneh.

  • Eka Santi
    Posted at 14:52h, 01 December Reply

    Sangat bermanfaat ustadz.. kita perlu banyak literasi dan membaca agar tidak salah kafrah

  • Idawati Sitompul
    Posted at 16:22h, 01 December Reply

    Bikin emosi melihat org2 yg memberhalakan manusia biasa, sampai lompat pagar pulak, pengen ngebejet, tp ntar teriak2 pula playing victim, radikal radikul

  • Orang Timur
    Posted at 16:54h, 01 December Reply

    git, berkontemplasi lah sekali-kali. pemikirnmu selama ini apakah membuat tenang jiwa dan hatimu. berkontemplasilah.

  • Isrullah
    Posted at 18:32h, 01 December Reply

    Mari kmbli kepda certa nabi dan rosul bnyk hal positf yg bsa qt ambil dan yg plng pntng agar tdk mudah jga ngefans sma orng

    Hidup ini trlalu siangkat jika mngmbil peran sbg fans manusia biasa lainnya

  • Gema bantex
    Posted at 04:31h, 02 December Reply

    Terima kasih ,tulisan yang sangat mencerahkan

  • Alfhitra
    Posted at 19:35h, 05 December Reply

    Barakallah ustadz..
    Semoga anak2 muda di negeri ini semakin bijak dalam mengambil teladan.

Post A Reply to Likhawaddin Cancel Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.