16 Mar Childfree Adalah Pilihan yang Mudah, Tapi…
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Sesuai janji beberapa hari sebelumnya, hari ini (16/03) saya punya agenda jalan pagi bersama anak pertama saya. Kegiatan ini setidaknya akan memenuhi empat kebutuhan. Pertama, untuk mengajak anak saya rutin berolah raga; sesuatu yang semestinya sudah sejak dulu saya lakukan. Kedua, untuk menghabiskan waktu spesial, karena setiap anak perlu waktu-waktu khusus bersama ayahnya; begitulah konon pendapat para pakar pengasuhan yang pernah saya ajak berdiskusi. Ketiga, untuk mengisi waktu liburnya. Keempat, meneruskan tradisi almarhum Papa saya yang sering mengajak anak-anaknya berjalan kaki ke pedesaan di hari libur.
Jalan pagi kali ini agak istimewa. Beberapa hari yang lalu, saat kami jalan pagi untuk pertama kalinya, anak saya sendiri yang secara spesifik meminta agar sesi berikutnya bisa jalan ‘agak jauh’. Yang dimaksud ‘agak jauh’ olehnya ini adalah mengikuti rute lari pagi saya yang sekitar 10 km jaraknya. Tentu saja saya senang mendengar semangatnya dan merasa berkewajiban untuk memenuhi permintaan itu.
Selepas shalat Subuh dan segala rutinitas pagi, saya menyuruhnya untuk segera bersiap. Setelah mengenakan celana training dan salah satu jersey lari, saya termenung sebentar ketika memasang jam tangan yang biasa saya gunakan saat berolah raga. Selama ini, saat berlari atau berjalan pagi, saya tidak pernah membawa uang. Lari ya lari saja; cukup dengan segala hal yang melekat di badan. Tapi pagi ini situasinya agak berbeda. Saya memasukkan beberapa lembar uang kertas ke dalam kantung, kemudian memasang sepatu dan sejurus kemudian kami pun berangkat.
Walaupun anak saya meminta rute yang sama dengan yang saya lalui biasanya, tapi saya punya rencana lain. Saya ambil jalan memotong, mengurangi jarak sekitar 2 km. Tentu saja saya tidak benar-benar akan mengajaknya mengikuti rute lari saya yang 10 km, karena hari ini adalah pengalaman jalan pagi yang kedua baginya. Saya pikir, 8 km cukuplah.
Selain jarak, saya juga menyesuaikan dengan kecepatannya. Saya yang terbiasa berlari kali ini harus menahan gemas karena tidak bisa melaju secepat biasanya. Panjang langkah dan kekuatan otot kami tentu saja belum sama. Dia masih semangat, tapi saya bisa melihat bahwa — setelah beberapa kilometer — ia mulai merasa kelelahan. Sementara itu, matahari mulai naik. Panas mulai terasa, keringat mulai mengucur. Untungnya, kami tidak pernah kehabisan bahan obrolan. Karena rute perjalanan kami menembus sebuah komplek militer, banyaklah saya bercerita serba-serbi kemiliteran; tentang batalyon kesehatan, divisi infanteri, hingga artileri medan. Tidak banyak yang tahu, sampai lulus SD dulu, sebenarnya saya bercita-cita ingin jadi tentara.
Ketika tiba di depan sebuah minimarket, saya menyadari bahwa ini saat yang tepat untuk menggunakan uang yang saya bawa. Kami masuk dan membeli dua botol kecil air mineral, kemudian duduk di luar untuk istirahat beberapa menit dan meneguk air sekadarnya. Saya ingatkan kepadanya bahwa perjalanan baru rampung separuhnya, jadi air minum sebaiknya jangan dihabiskan dulu. Setelah membiarkan anak saya menghapus dahaganya, kami pun meneruskan perjalanan.
Melewati kilometer kelima, saya menyadari bahwa target 8 km sepertinya masih belum realistis. Ketika kami kembali ke jalan raya, saya menawarkan kepadanya untuk naik angkot saja sampai ke depan komplek, baru kemudian meneruskan berjalan lagi sampai ke rumah. Dia langsung setuju. Tandanya: memang sudah lelah. Untuk kedua kalinya, uang yang saya bawa (padahal biasanya tidak) itu menunjukkan manfaatnya. Dari depan komplek, kami melanjutkan berjalan kaki sekitar 1 km. Jarak total perjalanan kami pagi itu adalah sekitar 6,5 km, tentu tidak termasuk jarak yang ditempuh saat menumpang angkot.
Bagaimanapun, ini bukan kisah soal membangun kebiasaan berolah raga!
Di luar sana, ada anak-anak muda yang masih bersemangat membicarakan childfree; ada yang berstatus pasangan muda, tapi kebanyakan justru belum menikah. Banyak yang berpikir praktis saja. Kalau tak punya anak, tentu hidup jadi jauh lebih sederhana. Sampai situ, saya setuju 100%.
Agenda lari pagi saya kali ini pun akan jauh lebih mudah kalau saya tak punya anak. Saya tinggal mengenakan pakaian olah raga, sepatu dan jam tangan, kemudian berlari sesuka hati. Mau lari 5 atau 10 km, itu tergantung situasi dan mood saja. Kalau perasaan lagi enak, dibablasin jadi belasan kilometer pun tak mengapa. Tak perlu menyesuaikan kecepatan kecuali dengan kemampuan tubuh sendiri. Tak usah repot-repot bawa uang. Kalau kondisi tidak fit, tinggal balik arah saja sebelum kelelahan. Tidak usah membeli air mineral, karena di rumah ada banyak air segar yang bisa diminum. Perjalanan jadi jauh lebih cepat, karena saya tak perlu mengikuti kecepatan anak sebelas tahun. Waktu yang dihabiskan tak lebih dari sejam, dan sesudahnya saya bisa beraktivitas apa saja. Dan pastinya, kalau tak ada anak, saya tak perlu mengosongkan jadwal khusus untuk menemaninya berolahraga atau menghabiskan quality time bersamanya.
Begitulah kira-kira kehidupan orang yang membujang. Tapi semuanya harus berubah setelah anak hadir dalam kehidupan. Harus ada waktu yang diluangkan untuknya, harus ada upaya lebih untuk mendidik akal, fisik dan jiwanya, dan harus ada seribu satu penyesuaian yang mesti dilakukan karena ia belum memiliki kapasitas seperti orang dewasa.
Kalau Anda berpikir bahwa hidup tanpa anak itu lebih mudah, maka Anda sama sekali tidak salah. Akan tetapi, jika memutuskan untuk childfree, maka Anda akan kehilangan kesempatan yang sangat baik untuk mendidik diri. Dengan memiliki keturunan, maka Anda akan belajar untuk hidup lebih bertanggung jawab, berpikir beberapa langkah ke depan, pendeknya Anda akan terbiasa untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri, sebab Anda sudah memiliki tanggungan. Lari pagi tanpa membawa uang rasanya aman-aman saja, terutama jika jaraknya masih 10 km atau lebih pendek daripada itu, dan lokasinya masih di sekitar komplek rumah sendiri. Tapi kalau sudah membawa anak, maka membawa uang sekadarnya itu menjadi sebuah keperluan. “Takut ada apa-apa,” begitu kata Mama saya biasanya. Kalau Anda bepergian dengan anak yang masih bayi, maka membawa baju ganti untuknya adalah sebuah keharusan. Saat terjebak macet, orang dewasa bisa menahan diri (walaupun sambil mengomel), tapi saat membawa anak-anak perlu menyiapkan cemilan sebagai pengganjal perut. Jangankan lari pagi, agenda liburan pun (harus) bisa dibatalkan kalau anak sakit, meskipun semua tiket sudah dipesan jauh-jauh hari.
Memang memikirkan diri sendiri itu jauh lebih mudah daripada harus memikirkan orang lain, apalagi anak-anak yang belum bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Akan tetapi, justru di situlah letak pendidikannya. Kalau mau menjalani pendidikan ini dengan ikhlash, maka Anda akan menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih pandai berempati, lebih suka mengasihani, lebih pandai menyayangi, dan seterusnya. Tengoklah bagaimana orang-orang di sekitar Anda mengalami perubahan setelah menikah dan memiliki keturunan!
Pada titik ini, mungkin ada yang akan beralasan bahwa kalau cuma mau belajar menyayangi manusia masih bisa dengan menyantuni anak-anak yatim, tanpa perlu membesarkan anak sendiri. Logika ini sama kelirunya dengan orang yang mengira bahwa menyantuni panti asuhan itu sama saja dengan membesarkan anak yatim di rumahnya sendiri. Tentu saja Anda bisa kapan saja menyantuni panti asuhan, namun anak-anak yatim itu sama seperti anak-anak lainnya; mereka bukan hanya butuh transferan, tapi juga butuh orang tua yang ada untuk mereka. Tidaklah sama orang yang menyantuni dengan orang yang sepenuhnya hadir. Jika dengan menyantuni sekali sebulan Anda merasa telah melembutkan hati, bayangkan apa yang terjadi jika Anda membesarkan seorang anak dan anak itu hadir dalam hidup Anda 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan! Mungkin Anda tidak bisa membersamainya secara fisik sepanjang hari, namun Anda akan dipaksa untuk menyesuaikan seluruh hidup Anda dengan kehadirannya.
Childfree memang pilihan yang mudah. Hanya saja sesuatu yang besar, megah dan suci biasanya tidak didapatkan dengan bermudah-mudah.
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Opan
Posted at 22:18h, 16 MarchMantap Kang. Istiqomah nulis di blog disaat literasi kebanyakan orang cenderung menurun. Tapi bagi saya penyampaian ide secara lengkap seperti ini sangat diperlukan.
M. Fatih
Posted at 11:41h, 01 Septembervery mind blowing ustadz
Yolanda Anjani
Posted at 22:55h, 19 AprilJazakallah khayr tulisannya ustadz