Dogma Primordialisme
870
post-template-default,single,single-post,postid-870,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Dogma Primordialisme

Dogma Primordialisme

photo6122957016025638844assalaamu’alaikum wr. wb.

Alkisah, Wilfred Cantwell Smith, seorang cendekiawan di Barat, telah menyerah dari usahanya untuk menemukan definisi yang tepat untuk istilah “religion” (agama). Tawaran terakhir darinya adalah untuk meninggalkan istilah ini sepenuhnya. Sebagai gantinya, Smith menawarkan dua konsep lain, yaitu faith (iman) dan cummulative tradition (tradisi kumulatif).

Meski “faith” umumnya dianggap akurat bila diterjemahkan sebagai “iman”, namun masyarakat Barat memahami kata ini dengan pemahaman yang berbeda dengan umat Muslim. Iman, dalam pandangan kalangan sekuler, adalah keyakinan yang tanpa batas, dan juga tanpa sebab-sebab yang jelas. Karena itu, konsep iman seringkali dianggap irasional, sehingga akal dan iman harus ‘berpisah jalan’, demikian juga antara sains dan agama, dunia dan akhirat, dan seterusnya.

Dalam pandangan Islam, memang tidak segala hal bisa dipahami oleh akal manusia (para saintis pun niscaya mengakui bahwa masih banyak hal yang belum mampu mereka jelaskan), namun tidak berarti keimanan itu sepenuhnya irasional, atau sama sekali tidak memiliki landasan rasional. Indikator sederhananya adalah pada hal yang menjadi syarat untuk memasuki agama Islam itu sendiri, yaitu syahadatain. Andaikan iman tidak membutuhkan akal sama sekali, tentu tak perlu ada syahadatain, atau kesaksian akan kebenaran Allah sebagai satu-satunya Ilah dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Seseorang yang ingin memeluk agama Islam tidak diwajibkan mandi, mengenakan pakaian tertentu, atau menjalankan upacara dan semacamnya. Akan tetapi, ia harus dengan sadar memberikan kesaksiannya. Layaknya orang yang memberi kesaksian di hadapan majelis hakim, tentu seseorang yang bersyahadat pun harus memahami apa isi kesaksiannya dan juga konsekuensinya.

Tidaklah disebut Muslim jika seseorang menganggap bahwa di dunia ini tidak ada Tuhan, atau bahwa Tuhannya bukanlah Allah, atau bahwa Allah bukanlah satu-satunya Tuhan, dan seterusnya. Semua hal ini harus dipahami sebelum memberikan kesaksian. Oleh karena itu, Al-Qur’an menegaskan, “…Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,” (QS. 13: 19).

Pernahkah Anda melihat bagaimana seorang muallaf mengucapkan syahadatain di hadapan banyak orang di masjid? Bahkan sebelum mengucap syahadatain sekalipun, ia masih ditanya: “Apa Anda yakin akan masuk Islam, dan benar-benar hendak menjadi Muslim tanpa paksaan?”

Oleh karena itu, Prof. M. Naquib al-Attas, seorang cendekiawan Muslim, ketika menjelaskan tentang kebahagiaan (sa’aadah), beliau mengaitkannya dengan keyakinan (yaqiin), dan ketika menjelaskan apa yang dimaksud dengan keyakinan itu, beliau menjelaskan, “It is peace and security and tranquility of the heart (tuma’niinah); it is knowledge (ma’rifah) and knowledge is true faith (iimaan).” ([Keyakinan itu] adalah kedamaian dan perasaan aman dan ketentraman dalam hati; ia adalah pengetahuan dan pengetahuan itulah iman yang sesungguhnya). Kesimpulannya: tak ada iman tanpa pengetahuan, dan iman hanyalah milik orang-orang yang memahami dengan benar.

Selain menolak konsep ‘faith’ ala Barat, Islam juga tidak mengikuti pendapat Smith yang selanjutnya, yaitu yang menganggap agama sebagai tradisi kumulatif. Agama bukanlah tradisi, meski agama bisa menerima tradisi yang tidak bertentangan dengannya, dan agama bisa mewarnai tradisi. Akan tetapi, sebuah sistem ajaran tidak menjadi agama hanya karena ditradisikan, dan Islam jelas bukan tradisi dari daerah mana pun.

Memang kalangan Islam liberal sangat gemar mengait-ngaitkan Islam dengan tradisi Arab. Hal ini sudah dilakukan, misalnya, oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang liberalis Mesir yang kerap jadi acuan di Indonesia, dalam mendekonstruksi Al-Qur’an. Menurutnya, Al-Qur’an tidak lain adalah produk budaya, dalam hal ini adalah produk budaya dari masyarakat Arab 14 abad yang lampau. Pandangan ini sudah jelas keliru, sebab selama 23 tahun kenabiannya, Rasulullah saw tidak pernah dibiarkan tenang oleh masyarakat Arab yang merasa terusik karena merasa bahwa Islam tidak sejalan dengan tradisi nenek moyangnya.

Di Indonesia, orang Barat juga getol menyuarakan paham nativisme, misalnya oleh Raffles yang memulai ekskavasi Candi Borobudur setelah terkubur selama tidak kurang dari delapan abad lamanya, melampaui masa kerajaan Majapahit dan Demak. Susiyanto, dalam bukunya, Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa, memberi komentar:

“Jadi, Borobudur sendiri sebenarnya telah “pernah mati” dalam alam pikiran orang Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa ingatan publik masyarakat Jawa terhadap simbol kebesaran masa lalu berupa ajaran Budha ini tidak terlalu mendalam atau bahkan tidak ada. Hanya merupakan sapuan cat bagi sepotong kayu yang mudah terkelupas.”

Selain menemukan Borobudur, ‘prestasi’ Raffles lainnya adalah menulis buku yang diberinya judul The History of Java, meski ia tidak tergolong lama tinggal di Jawa. Karel Steenbrink, seorang sejarawan Belanda, mengkritik metode yang digunakan oleh Raffles dalam menganalisis masyarakat Jawa, sebagaimana yang terlihat dari penulisan buku tersebut. Menurut Steenbrink, kita perlu memperhatikan bagaimana Raffles hanya menghabiskan empat halaman untuk membahas Islam, namun menghabiskan enam puluh halaman lebih untuk membahas tentang Hindu dan Budha. Padahal, candi sebesar Borobudur saja bisa ‘lenyap’ dari ingatan masyarakat Jawa selama delapan abad, dan ketika Borobudur ditemukan, masyarakat Jawa sudah didominasi Islam. Masyarakat Jawa sudah memilih Islam, namun Raffles dan para pengusung nativisme nampaknya tidak kunjung menerima fakta itu.

Dengan nativisme, masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya diajak untuk meyakini bahwa Islam tidak ada di dalam hati sanubari bangsa, melainkan hanya di kulit luarannya saja. Ditambah lagi dengan teori bahwa Islam disebarkan di Indonesia oleh para pedagang, semakin menambah kesan bahwa Islam di Indonesia memang tidak mendalam, tidak serius, bahkan ‘tidak sengaja’. Akhirnya, sebagian generasi muda bangsa ini masih saja menganggap Islam sebagai ‘benda asing’.

Primordialisme agama, suatu paham yang mengandaikan bahwa agama-agama dianut manusia semata karena mengikuti tradisi, pada akhirnya dianggap sebagai ‘solusi instan’, meski kemudian terkesan tambal-sulam, bahkan kontradiktif. Kalangan sekularis-liberalis, yang sehari-harinya menggaungkan prinsip rasionalisme, menjunjung tinggi akal dan memperjuangkan kebebasan, pada akhirnya justru terpaksa ‘berselingkuh’ dengan primordialisme ini untuk melemahkan Islam. Masyarakat Muslim diajak untuk kritis pada agamanya sendiri, pada saat yang bersamaan diajak pula untuk menerima kenyataan bahwa mereka Muslim karena tradisi, baik tradisi suku bangsanya, lingkungannya atau keluarganya.

Seorang remaja tanggung di tanah air belum lama ini telah menjadi korban dari kontradiksi semacam ini. Ia berteriak lantang tentang pentingnya menggunakan akal, namun pada kesempatan lain malah mengaku bahwa agama itu warisan yang diterima begitu saja. Karena pandangan yang tidak tentu ujungnya ini, ia menjadi bahan pembicaraan di seantero negeri, dan akhirnya, tak ada lagi yang menganggapnya serius. Primordialisme telah menjadi dogma yang tak boleh dibantah dan tak boleh dipikir ulang, dan tak terhitung berapa jiwa yang telah dimangsanya.

Islam sendiri memiliki pandangan yang tidak ambigu terhadap tradisi. Justru karena manusia tak mampu menemukan kebenaran itu sendiri, baik karena keterbatasan akal, gangguan hawa nafsu dan sebagainya, maka agama itu diturunkan. Agama datang untuk meluruskan manusia dan masyarakat, agar mereka tak melampaui batas. Wahyu senantiasa superior dibanding akal, sebab wahyu menjelaskan banyak hal yang belum dipahami oleh akal. Bayangkanlah, ketika turun ayat “Dan gunung-gunung sebagai pasak” (QS. 78: 7) belasan abad yang lalu, berapa banyak manusia yang memahami bahwa gunung-gunung itu memang menjaga stabilitas kerak bumi bagaikan pasak yang menancap dengan kuat? Meski akal belum mampu menggapai, tapi wahyu telah menyampaikan manusia pada kebenaran.

Dalam Al-Qur’an begitu berlimpah cerita tentang bagaimana manusia menjadikan sebuah kemunkaran sebagai tradisi, dan kemudian para Nabi dan Rasul diutus untuk meluruskannya. Nabi Nuh as berdakwah ratusan tahun, namun sedikit saja yang mau mendengarkannya. Nabi Hud as diutus kepada Bangsa ‘Ad, Nabi Shalih as diutus kepada Bangsa Tsamud, Nabi Syu’aib as diutus kepada Bangsa Madyan, dan semuanya disakiti oleh kaumnya. Nabi Luth as ditolak oleh bangsanya yang mempraktikkan penyimpangan seksual, sedangkan Nabi Musa as mengalami kesulitan lebih banyak bersama kaumnya sendiri (Bani Israil) ketimbang ketika menghadapi Fir’aun. Nabi Ibrahim as bahkan tampil melawan tradisi penyembahan berhala bangsanya sendiri, bahkan menghadapi penguasa nan zhalim dengan risiko dibakar hidup-hidup. Selepas Nabi Sulaiman as, Bani Israil terus didampingi oleh para Nabi, namun selama itu pula para Nabi mereka kejar-kejar hendak dibunuh, seperti yang terjadi pada Nabi Zakaria as dan Nabi Yahya as (sebagian riwayat mengatakan bahwa mereka berhasil melakukan pembunuhan itu kepada kedua Nabi mulia ini), dan Allah gagalkan tipu muslihat mereka kepada Nabi ‘Isa as.

Memeluk Islam harus dimulai dengan akal. Memang benar pula, ada orang yang beragama ‘angin-anginan’ saja, tanpa pernah berpikir serius tentang ajaran agamanya sendiri. Akan tetapi, itu adalah contoh yang tidak baik, tidak layak untuk dijadikan landasan untuk sebuah norma yang memaksakan primordialisme. Sungguh aneh jika ada seorang Muslim yang membaca kisah-kisah di atas di dalam Kitab Sucinya, namun masih juga menganggap dirinya menjadi Muslim hanya karena warisan belaka. Kalau ada yang seperti itu, maka selayaknya ia dikritisi dan dinasihati, bukannya malah diapresiasi dan dicarikan pembenarannya.

Seorang bayi yang lahir dari orang tua berkewarganegaraan Indonesia akan segera diakui sebagai warga negara Indonesia pula. Dalam hal ini, bisa saja orang mengatakan bahwa kewarganegaraannya diterima sebagai warisan, bukan pilihan, karena toh bayi memang belum mampu memilih. Tapi seiring kedewasaannya, ia tetap saja tidak berhak untuk merusak kehidupan negaranya atau mengobrak-abrik undang-undang seenaknya. Demikian pula seseorang yang lahir sebagai Muslim tak usahlah direndahkan atau diragukan keislamannya, tak perlu juga disebut-sebut bahwa ia ‘Muslim karena warisan’. Seiring waktu, orang tuanyalah yang bertugas mengajarinya bagaimana cara menjadi Muslim yang baik, diawali dengan memahami Islam dengan baik, dan ia tidak berhak untuk mengubah-ubah ajaran Islam sesuka hatinya. Ketika ia sudah dewasa, ketika akalnya sudah mampu berpikir dengan baik, tentu ia akan memahami sendiri kebenaran Islam. Laa ikraaha fid-diin, tidak ada paksaan dalam beragama, namun bukan karena segalanya relatif, melainkan karena qad tabayyanar-rusydu minal-ghayyi, telah jelas bedanya jalan yang benar dan yang sesat.

Sekarang, saksikanlah, bahwa kami adalah kaum Muslimin, yang berserah diri kepada Allah. Kami telah bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya, dan kelak kami akan mempertanggungjawabkan kesaksian ini, sebagaimana setiap manusia kelak akan mempertanggungjawabkan setiap ucapannya di hadapan Allah SWT.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

No Comments

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.