Gaza, Bukti Kebenaran Islam
2072
post-template-default,single,single-post,postid-2072,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-3.3.2,woocommerce-no-js,qodef-qi--no-touch,qi-addons-for-elementor-1.8.1,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,qode-smooth-scroll-enabled,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-30.8.3,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-8.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780,elementor-page elementor-page-2072

Gaza, Bukti Kebenaran Islam

Gaza, Bukti Kebenaran Islam

WhatsApp Image 2023-11-05 at 11.31.44 AM2

Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

Sementara warga Gaza bertahan dengan segala kesulitan hidupnya setengah tahun belakangan, hidayah Islam justru menyebar luas hingga ke tempat-tempat yang sulit dijangkau selama ini. Gelombang masuk Islam menjadi tren baru di kalangan anak muda Barat, mengikuti tokoh-tokoh berpengaruh yang mereka ikuti kiprahnya di media sosial, antara lain Megan Rice, seorang influencer yang aktif di TikTok, dan Shaun King, seorang aktivis sosial yang memiliki pengaruh cukup luas.

Sebagian di antara mereka yang belakangan ini memeluk Islam justru baru mengenal agama ini pasca 7 Oktober 2023. Pengeboman membabi-buta yang dilakukan oleh kalangan zionis telah membukakan mata dunia akan sebuah kenyataan pahit, yakni bahwa penjajahan dan rasisme belum benar-benar lenyap dari muka Bumi. Generasi muda di Barat, yang selama ini menerima doktrinasi melalui film-film Hollywood yang menanamkan keyakinan bahwa Barat adalah pembela keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan, kini dipaksa untuk mempertanyakan dirinya sendiri. Mungkin selama ini belum pernah mereka membayangkan bahwa bangsa mereka yang menjunjung tinggi humanisme itu akan menjadi pendukung setia terhadap genosida yang membantai orang Palestina tanpa memandang usia, jenis kelamin dan agama. Mereka yang dibesarkan dengan heroisme ala Rambo, James Bond dan Jason Bourne harus mencarikan sejuta pembenaran ketika menyaksikan bagaimana kaum zionis melakukan penyerangan terhadap semua rumah sakit di Gaza, membunuh para pasien, dokter dan perawatnya sekaligus, bahkan juga menghabisi para jurnalis.

Inggris, salah satu sekutu paling setia yang telah ‘menghadiahkan’ tanah Palestina kepada kaum zionis, hanya bisa termangu-mangu menyaksikan bagaimana tiga orang warganya yang bekerja di bawah bendera World Central Kitchen (WCK) juga tidak lolos dari pembantaian di awal April 2024. Dua bulan sebelumnya, dunia telah dibuat terkejut menyaksikan Aaron Bushnell, seorang pilot AS berusia 25 tahun, membakar dirinya sendiri di depan Kedubes Israel di Washington DC sambil meneriakkan “Free Palestine!”. Pada Bulan Maret 2024, dunia kembali mengenang Rachel Corrie, seorang aktivis kemanusiaan berkebangsaan AS yang 21 tahun silam digilas hidup-hidup dengan buldoser hanya karena membela warga Palestina yang terus-menerus mengalami penggusuran. Untuk menghargai jasa Corrie, namanya diabadikan untuk sebuah jalan di Ramallah, Palestina. Bagaimana sikap AS sendiri? Tentu saja pemerintahnya menerima jawaban dari majikannya yang mengatakan bahwa semua ini hanyalah sebuah kecelakaan. Tak ada investigasi lanjutan yang perlu dilakukan.

Pada akhirnya, kalangan muda Barat harus mempertanyakan alasan di balik kesetiaan tanpa syarat yang selama ini mereka berikan kepada kaum zionis. Semua prihatin pada penderitaan orang Yahudi Eropa selama Perang Dunia II, namun arsitek di balik kejahatan itu adalah Hitler atau Nazi Jerman. Harus ada jawaban yang masuk akal untuk menjelaskan mengapa seluruh masyarakat Barat seolah-olah kini harus tunduk tanpa syarat kepada kaum zionis dan menerima segala perbuatan mereka sebagai kebenaran. Jika argumen holocaust telah mampu membuat generasi Pasca Perang Dunia II untuk patuh, maka kini telah lahir generasi baru yang tidak merasakan beban moral yang sama.

Kepercayaan diri yang terlalu tinggi di kalangan zionis nampaknya telah menjadi bumerang yang membahayakan diri mereka sendiri. Hanya dua hari setelah penyerangan yang dilancarkan Hamas, yaitu pada 9 Oktober 2023, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, telah mengungkapkan betapa rendah bangsa Palestina di matanya. Di hadapan para jurnalis yang sigap mencatat, Gallant mengatakan, We are fighting against human animals, (kita sedang bertarung melawan manusia yang seperti binatang). Lima hari kemudian, Presidennya, Isaac Herzog, mengejutkan dunia dengan pernyataan haus darahnya yang mengatakan bahwa tak ada warga sipil yang tak bersalah di Gaza. Meskipun pernyataannya itu jelas-jelas mengimplikasikan pembenaran terhadap genosida, Herzog di kemudian hari tetap memprotes Afrika Selatan yang menggugat Israel karena telah melakukan genosida terhadap Bangsa Palestina di Gaza.

Segera setelah penyerangan 7 Oktober, kalangan zionis melancarkan berbagai hoax yang menyebutkan bahwa Hamas telah memperkosa kaum perempuan, membunuh ibu-ibu hamil, bahkan memanggang dan menyembelih bayi-bayi. Semua tuduhan itu telah terbukti palsu, namun tidak kurang dari Presiden AS, Joe Biden, yang telah ‘memakan umpannya’, meskipun kemudian meralat ucapannya. Di sana-sini, hoax yang sama masih terus saja dimainkan oleh para buzzer zionis untuk membenarkan genosida yang mereka lancarkan. Kita sendiri sudah maklum bahwa yang namanya buzzer itu memang direkrut untuk menyebarluaskan kebohongan dengan prinsip “If you repeat a lie often enough, people will eventually believe it” (jika Anda cukup sering mengulangi sebuah kebohongan, lama-kelamaan orang akan percaya juga). Sementara itu, dengan semakin majunya teknologi informasi, meskipun berbagai platform media sosial masih bersikeras mendukung zionisme, pada akhirnya warga dunia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa segala hal mengerikan yang telah disebutkan sebelumnya itu justru dilakukan oleh kaum zionis kepada para korbannya. Semakin terbelalaklah mata dunia setelah menyadari bahwa semuanya ini tidak dimulai dari 7 Oktober 2023, melainkan jauh sebelum itu. Maka semakin banyaklah orang yang membuka-buka lembaran sejarah tentang Pembantaian Deir Yassin, Sabra-Shatila, Naqbah, dan seterusnya. 

Di sisi lain, dunia juga menyaksikan bagaimana warga Gaza — di tengah-tengah segala kesulitan hidupnya — tetap mampu memelihara kelembutan hatinya. Mereka tidak memperebutkan bantuan yang diberikan kepada mereka, meski semuanya sangat membutuhkan. Lisan mereka terus disibukkan dengan memuji Allah dan menyenandungkan Al-Qur’an, meski mereka sudah sangat pantas untuk mengutuki dunia dan segenap penghuninya.

Pada akhirnya, persoalan kemanusiaan ini akan membawa seorang manusia yang masih memiliki hati nurani pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam daripada sekedar masalah politik, melainkan agama. Genosida di Gaza memaksa manusia untuk keluar dari persoalan menang dan kalah — yang seringkali sifatnya hanya sementara — dan memasuki perdebatan soal benar dan salah yang sifatnya lebih fundamental. Karena agama selalu membicarakan soal benar dan salah, maka agamalah yang harus ‘memberikan penjelasan’ terhadap tragedi kemanusiaan terbesar di abad ke-21 ini.

Islam mengajarkan bahwa, meski pemikiran manusia dapat dipengaruhi oleh begitu banyak hal sepanjang hidupnya, tetap ada fitrah yang terus hidup di dalam jiwa. Fitrah tersebut membuat manusia mengetahui kebenaran, meski mereka hidup dengan melanggarnya. Orang jahat pun umumnya masih mengenali rasa kasihan dan ketidakadilan. Hal inilah yang menyebabkan umat Muslim dari masa ke masa terus berdakwah tanpa putus asa. Mereka menyentuh hati nurani manusia yang terdalam untuk menemukan kebenaran Islam, dan sebagian di antara manusia ada yang mampu menjawab panggilan hidayah itu.

Di hadapan segala kebiadaban yang dilakukan oleh kaum zionis selama setengah tahun ini, manusia bukan hanya mempertanyakan kebijakan luar negeri bangsanya sendiri, melainkan juga ajaran agamanya. Agama macam apa yang dapat membenarkan pembantaian yang sesadis ini? Apakah sebuah agama masih dapat dikatakan benar apabila ia memberi hak pada sebuah bangsa — termasuk umatnya sendiri — untuk bertindak semaunya kepada bangsa lain? Perang yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa memang bukan perkara baru, tapi bagaimana kita dapat membenarkan agama yang membela pemerkosaan, pembunuhan terhadap anak-anak, tindakan pengebomban seluruh wilayah tanpa membeda-bedakan markas militer, sekolah, rumah ibadah dan sebagainya? Masih patutkah orang membela para pemuka agama — dan agamanya sekaligus — yang tanpa malu menyatakan dukungannya terhadap zionisme? 

Salahkah jika seseorang berkesimpulan bahwa agama yang membenarkan sekian banyak kezaliman itu sebagai agama yang menyimpang, kemudian meninggalkannya untuk agama lain yang terbukti telah mengajari warga Gaza caranya untuk tangguh dalam menghadapi segala ujian hidup sekaligus memelihara kemanusiaannya?

Kita sudah tahu sama tahu akan sikap hipokrit para pendakwa pluralisme agama di negeri ini. Meski mereka terus menyatakan bahwa semua agama menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan yang sama, namun genosida di Gaza telah membuktikan sebaliknya. Kaum pluralis yang selalu mengaku humanis itu malah jauh ketinggalan dalam melakukan pembelaan terhadap kemanusiaan. Karena itu, kita sama sekali tidak bisa mengharapkan mereka.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, persoalan menang dan kalah itu seringkali hanya perkara temporal saja. Kalau kita hidup pada tahun 1941 dan menyaksikan kiprah Hitler pada masa itu, bisa saja kita menyangka bahwa ia takkan terkalahkan. Indonesia sendiri, sebelum mendapatkan pengakuan kedaulatan dari dunia, harus bersabar menghadapi perang besar sepanjang empat tahun lamanya. Belanda jelas-jelas menuai kemenangan dalam dua agresi militernya, sebelum akhirnya tunduk pada tekanan internasional dan mengakui kedaulatan Indonesia (waktu itu Republik Indonesia Serikat [RIS]) pada 1949 di Konferensi Meja Bundar (KMB).

Yang lebih penting daripada menang dan kalah, sekali lagi, adalah perkara benar dan salah. Meski untuk sementara ini Anda berada di pihak yang menang, apalah gunanya kemenangan sesaat itu kelak di hadapan Tuhan yang Maha Adil? Seberapa bernilaikah kemenangan sejenak itu jika kelak hanya akan diganjar oleh siksa Neraka yang kekal?

Jawablah panggilan hidayah itu, sebelum terlambat.

Wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

2 Comments
  • Zaynaskar Saleh
    Posted at 19:33h, 13 April Reply

    Fenomena masuk Islam ini cukup menarik sebenarnya kalau dilihat ini juga sebagai salah satu akibat sikap Israel dan negara barat pada umumnya , ketika kiblat “kemanusiaan” dan “moralitas” malah diam melihat semua fenomena genosida ini

    Di sisi lain jumlah ini sepertinya tidak bisa dijadikan tolak ukur meluasnya Islam di barat karena barat sendiri yang sepertinya sudah muak karena liberalisme tidak bisa menyelesaikan banyak hal di negaranya malah kembali ke fasisme yang sangat mengagungkan ras dan perang, dilihat dari banyaknya partai2 bernada fasis yang menang di pemilu2 negara eropa

    Orang yang memeluk islam pasti melalui proses berpikir dalam waktu yang variatif, while the rest of the world choose to remain ignorant dan lebih memilih “menyelamatkan” diri sendiri dengan justifikasi rasisme ataupun hipokrisi dalam “kemanusiaan”

  • Ayu NP
    Posted at 03:51h, 14 April Reply

    Ummat Islam di Gaza sudah berdakwah dengan kesabaran dan ketangguhan mereka. Merekalah yang sebenarnya membebaskan kita dari tipu daya dunia, bukan sebaliknya.

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.