20 Feb Ideologi di Balik Tiga Pasal Susila KUHP
Setelah lebih dari 20 kali sidang, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak permohonan uji materi (judicial review) tiga pasal kesusilaan dalam KUHP. MK memandang DPR sebagai lembaga yang tepat untuk melakukan perubahan sebagaimana yang dimohonkan. MK pun merekomendasikan agar semua keluhan, pandangan, pertimbangan dan saran yang berkaitan dengan ketiga pasal tersebut diajukan ke DPR.
Sebelumnya, persidangan judicial review di MK memang sangat alot dan mengundang perhatian banyak orang, termasuk media di dalam dan luar negeri. Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, yang memiliki perhatian besar terhadap proses persidangan ini, turut mendapat sorotan. Meski tidak semua pemohon adalah aktivis AILA Indonesia, namun tak pelak lagi, organisasi yang satu ini kadung diidentikkan dengan judicial review pasal-pasal kesusilaan KUHP. Tidak heran, aliansi yang satu ini menerima muntahan kemarahan dari kelompok-kelompok sekuler-liberal.
Sebuah surat kabar berbahasa Inggris terbitan Jakarta, pada edisinya di akhir bulan Agustus 2016, memuat sebuah artikel opini yang diberi judul sangat provokatif: “Why AILA is a Bigger Threat to Freedom Than the FPI”! Intisari pemikiran yang mendasari sang penulis untuk menyimpulkan bahwa AILA itu sangat berbahaya tergambar dengan jelas dalam salah satu paragraf singkatnya:
“Unlike the FPI, which often acts outside or above the law, AILA is exploiting the existing legal system to turn law enforcers into a morality police, so that later they will practically do what the FPI has been doing for years.”
Dengan demikian, agaknya dalam pandangan sang penulis, akar masalah sesungguhnya bukanlah FPI atau bukan FPI, tidak juga bertindak melanggar hukum atau menaatinya, melainkan segala usaha untuk mengatur moralitas masyarakat; suatu hal yang sangat dibenci oleh para penganut sekularisme.
Tiga Pasal Kesusilaan
Ketiga pasal kesusilaan dalam KUHP yang dipersoalkan adalah pasal 284, 285 dan 292. Persoalan mendasar dari KUHP yang digunakan di Indonesia saat ini adalah karena ia bersumber dari hukum kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie yang telah diberlakukan sejak tahun 1918. Dari segi waktu, undang-undang ini sudah kedaluwarsa dan layak diperbarui. Sedangkan dari segi ideologi, ia tidak sejalan dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Secara ringkas, perubahan pasal-pasal kesusilaan yang dimohonkan dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, pasal 284 yang melarang perselingkuhan perlu diperluas menjadi larangan terhadap perzinaan. Sebab, tidak semua perzinaan itu berupa perselingkuhan. Banyak orang yang tidak terikat dalam pernikahan melakukan zina, dan karena mereka tidak dalam pernikahan, maka mereka tidak terancam dengan pasal ini. Padahal, segala perzinaan, dan bukannya hanya perselingkuhan, telah mengancam keutuhan keluarga di seluruh dunia, yang berdampak langsung pada kondisi bangsa.
Kedua, pasal 285 berfungsi melindungi masyarakat dari tindak pemerkosaan, hanya saja, definisi pemerkosaan yang dimaksud adalah memaksa seorang perempuan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh. Padahal, sebagai contoh kasus saja, dengan semakin merebaknya penyimpangan homoseksual sekarang ini, semakin banyak laki-laki yang mengalami pemerkosaan. Karena itu, pengertian dalam pasal ini perlu diperluas sehingga korban pemerkosaan bukan lagi sebatas perempuan, melainkan juga mencakup laki-laki, atau dengan kata lain semua orang tanpa pembedaan.
Ketiga, pasal 292 melarang orang dewasa melakukan perbuatan cabul sesama jenis dengan orang yang belum dewasa, sehingga tidak melindungi masyarakat dari perbuatan cabul sesama jenis yang dilakukan oleh sesama orang dewasa atau sesama orang yang belum dewasa. Para pemohon judicial review berpandangan bahwa larangan semestinya diperluas kepada hubungan sesama jenis tanpa batasan umur, karena hubungan sesama jenis bagaimana pun membahayakan bagi masyarakat dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang religius.
Ancaman
Sejak awal, pertimbangan yang diajukan oleh para pemohon melalui tim kuasa hukumnya tidak main-main. Para ahli yang diundang dan menyampaikan pandangannya di hadapan Majelis Hakim MK pun menyatakan keprihatinannya yang sangat mendalam akan kondisi kesusilaan di negeri ini. Dr. Adian Husaini, pakar pendidikan, menyatakan bahwa tujuan pendidikan Indonesia sebagaimana tercantum dalam undang-undang sesungguhnya sangat mulia, yaitu membentuk manusia yang beriman dan bertakwa, dan seterusnya.
“Tujuan ini begitu mulia. Sayangnya kemudian, kami yang (bergerak) di bidang pendidikan ini, merasakan betapa beratnya menghadapi tantangan-tantangan moral, baik melalui media, bahkan juga di lingkungan-lingkungan di lembaga pendidikan itu sendiri,” ujarnya saat itu.
Menurut Adian, hal yang tidak kalah berbahayanya dari menjangkitnya perilaku asusila adalah usaha-usaha untuk melegislasi perilaku semacam itu. Adian mengambil contoh seorang pemikir liberal dari tanah air, yang secara terang-terangan menghalalkan seks bebas. Pemikiran-pemikiran semacam ini sangat berbahaya dan kerap dijadikan pembenaran bagi tindakan asusila, termasuk juga penyimpangan seksual.
Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, psikiater senior tanah air, juga pernah menyampaikan pandangannya dalam sidang ke-4 (26/07/16) bahwa pendapat yang menganggap LGBT karena faktor genetis dan tidak dapat disembuhkan tidaklah benar. Banyak orang menjadi gay lantaran pernah menjadi korban pencabulan, dan juga karena lingkungan. Pandangan bahwa LGBT itu normal juga tidak dapat diterima. Faktanya, perilaku ini telah menularkan begitu banyak penyakit, mulai dari HIV/AIDS hingga kanker anal. Hal itu menunjukkan bahwa perilaku yang demikian memang tidak pada tempatnya.
Penyakit sosial lainnya, yaitu penggunaan miras dan narkoba, juga memiliki hubungan erat dengan penyimpangan ini. Prof. Dadang mengutip sebuah temuan yang menunjukkan bahwa pelaku LGBT sangat rawan miras dan narkoba. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa semua persoalan kesusilaan ini seringkali saling berhubungan satu sama lainnya.
Dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK., yang hadir dalam persidangan di awal bulan Agustus 2016, mengatakan bahwa zina adalah persoalan besar yang menghantui bangsa Indonesia. Begitu berbahayanya zina, sehingga Dewi mengingatkan bahwa “sekarang pembunuh nomor satu wanita Indonesia adalah kanker mulut rahim atau kanker serviks. Itu penyebabnya adalah virus HPV tipe tertentu, tipe 16, tipe 18. Dan itu terjadi penularannya melalui hubungan seks berganti-ganti pasangan atau zina. Kalau dia tidak berzina, suaminya yang berzina.”
Berdasarkan pengalamannya bekerja di tengah-tengah komunitas gay dan waria beberapa tahun silam, Dewi menyatakan bahwa yang benar-benar merasa dirinya gay itu hanya sebagian kecil saja, selebihnya terjebak dalam kehidupan yang demikian. Menurut Dewi, jika laki-laki disodomi, maka yang disodomi lama-kelamaan akan merasa nikmat dan bisa ejakulasi juga, karena yang dirangsang adalah prostatnya. Karena itu, setelah diperkosa, lama-lama ia malah bisa menikmati, bahkan ketagihan. Itulah sebabnya dibutuhkan perubahan pada pasal 285 dan 292 sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Keseluruhan paparan dr. Dewi Inong telah membuktikan bahwa seks bebas, apalagi LGBT, adalah perilaku yang sangat berbahaya bagi kesehatan individu, yang kemudian juga membahayakan masyarakat karena begitu cepat berjangkit.
Dr. Asrorun Ni’am, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), juga sempat menyumbangkan pemikirannya. Menurut beliau, Pasal 292 bisa dimaknai secara a contrario bahwa ketika terjadi pencabulan sesama jenis saat sudah dewasa akan dibiarkan oleh hukum. Padahal, pembiaran terhadap perbuatan cabul dan kejahatan seksual sesama jenis yang dilakukan oleh orang dewasa ini akan melahirkan kesan di mata anak-anak bawa perbuatan tersebut memang diperbolehkan, sehingga mereka mencontohnya. Asrorun juga berharap perzinaan dilarang sepenuhnya, sebab, dalam kasus lahirnya anak di luar nikah, maka yang menjadi korban sesungguhnya adalah anak-anak tersebut. Karena itu, perzinaan tidak boleh dipandang sebagai hak individu, sebab nyata-nyata menghasilkan penderitaan bagi pihak lain yang tidak terlibat.
Penentangan
Seperti yang telah diketahui, dalam proses persidangan, hadir juga sejumlah pihak terkait yang menganggap bahwa judicial review yang diajukan ini justru merugikan bangsa. Azriana, Ketua Komnas Perempuan, misalnya, menyatakan bahwa perluasan pasal 284 yang berkaitan dengan perzinaan berpotensi mengkriminalisasi pasangan yang perkawinannya masih belum dianggap sah oleh negara. Kekhawatiran yang sama juga disampaikan pada kesempatan berbeda oleh Kemala Chandrakirana yang diundang sebagai ahli oleh Komnas Perempuan.
Kekhawatiran ini sebenarnya telah dibantah oleh pakar hukum Universitas Indonesia (UI), Dr. Neng Djubaedah. Menurutnya, orang-orang yang melakukan perkawinan yang tidak dicatat atau perkawinan di bawah tangan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Neng juga menambahkan bahwa perkawinan yang tidak tercatat hanya akan mendapatkan sanksi karena pelanggaran administratif, namun pada hakikatnya perkawinan itu diakui jika sudah sah menurut agama.
Dr. Irwanto, dosen Universitas Katolik Atma Jaya, menolak kriminalisasi terhadap mereka yang melakukan komersialisasi seks. “Posisi sosial, ekonomi dan budaya merekalah yang menyebabkan mereka mudah terinfeksi, karena mereka cenderung menderita stigma dan diskriminasi, dan ketika mereka berada dalam suatu hubungan seks, apalagi komersial, mereka tidak dapat dengan semau mereka sendiri untuk memakai kondom karena pelanggan sering tidak mau, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa,” ungkapnya.
Irwanto juga berpendapat bahwa berjangkitnya HIV/AIDS bersumber dari kecerobohan dan rendahnya disiplin dari laki-laki yang disebutnya ‘berisiko tinggi’. “Ketika mereka berhubungan dengan istrinya sendiri, mereka cenderung tidak melakukan hubungan yang aman,” ujarnya seraya menambahkan hanya empat belas persen dari kelompok ini yang selalu menggunakan kondom saat berhubungan.
Dari ungkapan semacam ini jelas terlihat bahwa ada ideologi yang sangat berbeda antara pemohon dan penolak judicial review. Para pemohon judicial review menjadikan ketahanan keluarga sebagai tujuan perjuangannya, dan karena itu, setiap perzinaan mesti ditolak. Adapun kelompok penolaknya, seperti yang terlihat jelas dalam pernyataan Irwanto di atas, menjadikan pencegahan berjangkitnya penyakit sebagai prioritas utama, sehingga menjadikan kondom sebagai solusi, dan bukannya mencegah perzinaan itu sendiri.
Anggota Komnas HAM, Roichatul Aswidah, S.I.Kom, M.A., yang hadir sebagai ahli atas pengajuan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa aktivitas seksual adalah ranah privat seseorang. “Hal ini berlaku bagi perilaku seksual dari seseorang dalam ranah privat atau konsumsi pornografi dalam ranah privat,” katanya.
Amanah MK
Seluruh argumen di atas telah cukup untuk menunjukkan bahwa persoalan judicial review ini lebih daripada sekedar persoalan beda pandangan atau perspektif, melainkan juga telah menyentuh permasalahan yang jauh lebih mendalam, yaitu ideologi. Para penolak memahami permasalahan kesusilaan ini melalui kacamata sekuler, yang memaknai perilaku seksual, termasuk yang menyimpang, sebagai bagian dari hak privat seseorang. Adapun para pemohon memegang teguh kepribadian bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa demi mewujudkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Sebagai catatan akhir, dalam Amar Putusan-nya, MK menyatakan bahwa penolakannya terhadap permohonan judicial review tidaklah berarti MK menolak gagasan pembaruan para pemohon, tidak pula berarti MK berpendapat bahwa norma hukum pidana yang ada dalam pasal-pasal kesusilaan KUHP tersebut sudah lengkap dan tidak butuh penyempurnaan (hlm. 452). Hanya saja, MK berpendapat bahwa yang dimohonkan adalah perluasan sejumlah makna yang lebih tepat jika diajukan kepada DPR RI sebagai pembentuk undang-undang.
Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika kini kita menyampaikan harapan bangsa Indonesia akan disahkannya RUU KUHP berupa perbaikan terhadap KUHP versi kolonial, dalam hal ini mencakup tiga pasal kesusilaan yang jelas-jelas bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Sesuai sila kedua Pancasila, manusia Indonesia dituntun menjadi manusia yang adil dan beradab. Manusia yang adil dan beradab adalah yang mampu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dengan betul. Laki-laki berpasangan dengan perempuan. Itu beradab namanya. Wallahu A’lam bish-shawab.
Artikel ini telah dimuat di sisipan Islamia, Surat Kabar Republika, edisi Kamis, 15 Februari 2018, dan di laman situs The Center for Gender Studies (CGS).
No Comments