11 Jan #IndonesiaTanpaJIL: Perjuangan dari Hashtag, Kaos dan Flyer
assalaamu’alaikum wr. wb.
Mungkin banyak yang masih tidak percaya bahwa sebuah gerakan semasif #IndonesiaTanpaJIL sebenarnya lahir dari sebuah hashtag sederhana di jagad Twitter. Hashtag ini pada awalnya hanyalah sebuah hashtag; sekedar penanda akan adanya kesamaan sebuah tema, tanpa pernah direncanakan untuk menjadi sebuah gerakan yang terorganisir, apalagi sampai tersebar ke berbagai kota di Indonesia.
Hashtag #IndonesiaTanpaJIL adalah sebuah statement sederhana; sebuah mimpi bahwa kelak – suatu hari nanti, entah kapan – Indonesia akan bebas dari pemikiran-pemikiran sesat Islam liberal. Akan tetapi, ia bukan sekedar nama dari sebuah gerakan. Ia adalah peringatan bahwa perlawanan untuk membela agama ternyata bisa lahir melalui Twitter; media sosial yang banyak digunakan oleh anak muda, yang sebagian di antaranya – bahkan sebagian besarnya – tergolong awam agama. Inilah bukti bahwa nun jauh di kedalaman sanubari generasi muda Muslim Indonesia tersembunyi sebuah hasrat yang membara untuk berkontribusi dalam membela agamanya.
Karena ia adalah sebuah hashtag yang bisa digunakan oleh siapa saja, maka nyaris tak mungkin lagi untuk merunut ulang siapa gerangan yang pertama kali menggunakannya. Sejak awal 2012 hingga sekarang, hashtag ini masih terus digunakan, entah sudah berapa puluh ribu kali. Bagi para aktivis #IndonesiaTanpaJIL, pertanyaan “Siapa pendiri #IndonesiaTanpaJIL?” atau “Siapa yang pertama kali menggunakan hashtag #IndonesiaTanpaJIL?” memang sama sekali tak relevan. Ia adalah hashtag perlawanan; tak perlu dipertanyakan siapa yang memulai.
Dari hashtag, perjuangan beralih ke kaos. Kaos sederhana itu cukup berwarna putih saja, bertuliskan #IndonesiaTanpaJIL di bagian dadanya dan tiga buah alamat akun di bawahnya. Tidak ada hak cipta untuk kaos ini, sehingga setiap orang bebas membuatnya. Yang dilarang adalah menyalahgunakannya.
Apalah arti sehelai kaos? Banyak! Apalagi jika kita pertimbangkan bahwa kubu lawan, kelompok Islam liberal, hampir tak terdengar pernah memproduksi kaos serupa yang menyebutkan identitasnya: Islam liberal. Mereka yang menyebut dirinya Islam liberal tidak berani memperlihatkan ideologinya secara terbuka. Di tengah-tengah masyarakat, nama Islam liberal sudah terlanjur dianggap tidak baik. Meski mereka terlihat percaya diri di dunia maya, namun pada kenyataannya tak pernah mau disebut sebagai ‘Muslim liberalis’ atau ‘aktivis JIL’ di dunia nyata. Kaos #IndonesiaTanpaJIL adalah pernyataan sikap yang tegas dari pemakainya yang berani menentang Islam liberal, sekaligus sebuah tantangan kepada kubu yang berseberangan agar berani menyatakan sikapnya.
Tak cukup pada kaos, perjuangan pun kemudian beralih bentuk ke dalam flyer. Setelah memberikan statement lewat hashtag dan kaos, kini pernyataan yang lebih tegas perlu disampaikan kepada publik. Masyarakat berhak tahu apa itu JIL, siapa saja aktor-aktor di baliknya, dan bagaimana pemikiran mereka sebenarnya.
“Sebenarnya” adalah kata kunci yang sangat penting. Banyak orang sudah mengenal Ulil Abshar Abdalla sebagai tokoh intelektual muda, karena memang demikianlah citra yang dibangunnya melalui kerja sama dengan berbagai media mainstream. Orang tidak tahu persis siapa ia sebenarnya, dan ketika ia mengumbar kata “tolol” kepada lawan diskusinya di Twitter, para follower-nya sudah terlanjur taqlid buta dan menurut saja. Tapi masyarakat luas berhak mengetahui kebenaran dan berhak pula mengambil sikapnya sendiri. Kebenaran itulah yang disebarluaskan melalui flyer #IndonesiaTanpaJIL.
Orang pun mungkin selama ini mengenal Luthfi Assyaukanie dari gelar doktornya yang begitu mentereng atau rekam jejak pendidikannya di luar negeri, namun tidak banyak yang tahu bahwa ia berpendapat setiap Muslimah yang berjilbab di luar shalat dan pengajian itu bego (itulah pilihan kata yang digunakannya!). Mungkin tidak sedikit pula yang mengenal Saidiman Ahmad sebagai intelektual jebolan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tanpa tahu bahwa ia pernah memuji penyembahan kepada matahari. Atau mungkin ada pula yang terus mengikuti analisis Zuhairi Misrawi yang sering tampil di beberapa stasiun televisi swasta dengan predikat ‘pengamat politik timur tengah’ tanpa mengetahui bahwa di Twitter ia bersikap sangat tidak simpatik kepada rakyat Palestina dan korban pembantaian di Mesir.
Flyer #IndonesiaTanpaJIL itulah yang membukakan mata umat!
Maka janganlah heran jika lembaran-lembaran flyer yang begitu sederhana, yang diongkosi oleh isi kantung para aktivis #IndonesiaTanpaJIL sendiri itu, nampak begitu menakutkan di mata kelompok Islam liberal. Flyer-flyer itulah yang akan membongkar topeng mereka dan memaparkan wajah aslinya kepada dunia. Dengan flyer-flyer tersebut, runtuhlah seluruh bangunan pencitraan yang sudah mereka bangun selama bertahun-tahun, dan tiada berguna lagi berbagai titel kesarjanaan atau predikat yang mereka sematkan kepada diri sendiri. Umat sudah tahu kebenarannya.
Janganlah heran pula jika Ulil kemudian batal berceramah di sebuah seminar yang diselenggarakan di Kampus UIN Sultan Syarif Kasim (Suska), Pekanbaru, Riau, dengan alasan ada ‘ancaman’ dari berbagai kelompok Islam. Padahal, tidak ada seorang pun yang mencegahnya untuk tampil dan bicara, apalagi mengancam-ancam. Yang ‘menunggu’ Ulil hanya sejumlah kecil aktivis #IndonesiaTanpaJIL Chapter Pekanbaru (yang jumlah totalnya hanya tujuh orang!) ditambah beberapa aktivis Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang bekerja sama membagi-bagikan flyer. Nampaknya, flyer-flyer itulah yang dianggap sebagai ‘ancaman’.
Kita dapat memahami betapa ‘mengancamnya’ flyer-flyer tersebut bagi Ulil dan rekan-rekannya. Isi flyer tersebut memang menghancurkan kredibilitasnya. Sementara ia berusaha tampil gagah di depan para peserta seminar, tapi flyer yang dibagi-bagikan secara gratis itu telah duluan menyusup ke dalam benak mereka. Sehebat-hebatnya Ulil di depan panggung, yang akan dipikirkan orang adalah Ulil yang terpampang pemikirannya di flyer #IndonesiaTanpaJIL. Tak ada yang bisa Ulil lakukan ketika akal-akal kritis mahasiswa se-Pekanbaru mulai mempertanyakan, “Apa orang semacam ini yang layak diundang sebagai pembicara?” Pada saat itu, tak ada yang bisa ia lakukan untuk menolong kredibilitasnya.
Maka, demi menyelamatkan muka, dibuatlah isu ada ancaman, seolah-olah situasi sudah sedemikian bahaya, dan Ulil harus segera diungsikan keluar kampus. Sementara Ulil belum lagi menjelaskan apa ‘ancaman’ yang ia sebutkan itu, tentu ia tak bisa mencegah orang untuk berspekulasi demikian terhadap dirinya.
Hashtag hanyalah hashtag, jika ia tidak mewakili sebuah statement yang tegas. Kaos hanyalah kaos, selama ia tidak melambangkan keberanian untuk bersikap. Flyer pun tidak lebih dari flyer, kecuali jika ia dibuat untuk menelanjangi topeng kedustaan.
#IndonesiaTanpaJIL, tentu saja, tidak berhenti pada hashtag, kaos dan flyer saja.
wassalaamu’alaikum wr. wb.
No Comments