25 Jan Istimewa
Tidak ada yang istimewa dari orang-orang yang menganggap dirinya istimewa. Pada dasarnya setiap orang ingin menjadi individu yang istimewa, hanya saja tidak semua orang paham bagaimana harus mewujudkannya. Sebagian besar di antara mereka justru melakukan hal-hal yang kontraproduktif. Ya, sebagian besar manusia! Sebab, bukankah yang istimewa itu pastilah minoritas?
Jika ada yang mengatakan bahwa setiap individu terlahir istimewa, ungkapan ini sebenarnya tidak keliru juga, namun harus dipahami sesuai konteksnya. Memang setiap manusia itu unik, dan karenanya, ia istimewa. Ada manusia yang lebih efektif belajar dengan melihat (visual), ada yang dengan mendengar (auditorial), dan ada juga yang hanya bisa benar-benar paham dengan mencoba melakukannya sendiri (learning by doing). Ada juga manusia yang mentalnya jatuh jika harga dirinya diinjak-injak, tapi sebaliknya ada yang malah ‘kebanjiran adrenalin’ jika ada yang memberikan tantangan sedemikian rupa kepadanya. Manusia memang berbeda-beda. Tapi, jika semuanya berbeda, lantas di mana istimewanya? Fakta bahwa kita berbeda dengan yang lain, dan setiap orang memang tidak ada yang sama, justru membuat kita tidak istimewa.
Sekilas terdengar seperti paradoks, namun keyakinan manusia akan keistimewaan dirinya sendiri justru menjadikannya tidak istimewa sama sekali. Sebab, menganggap diri istimewa hanya menyalakan ego pribadi, dan orang yang tak mampu menaklukkan egonya hanya akan menjadi satu dari entah berapa miliar manusia lainnya. Mereka hanya menjadi satu dari sekian miliar manusia lainnya yang merupakan mayoritas, dan mayoritas manusia – sekali lagi – tidaklah istimewa.
Tengoklah budaya populer di luar sana. Betapa banyak yang menyerukan slogan ‘menjadi diri sendiri’, namun pada kenyataannya mereka justru kehilangan kepribadiannya sendiri. Iklan-iklan komersil mengajak mereka untuk ‘menjadi beda’ dengan menyajikan imej model tertentu, dan pada akhirnya imej itu ditiru habis-habisan oleh para pemuda yang kehilangan arah. Pada akhirnya, tidak ada yang beda dari kawanan pengikut tren ini. Mereka menjadi seragam, justru dalam usahanya untuk menjadi beda.
Banyak manusia yang menjadi mangsa mode, namun mereka tidak pernah menganggap dirinya sebagai mangsa. Betapa banyak orang yang berusaha begitu keras untuk mengikuti tren berpakaian, namun toh mereka tidak kunjung menjadi rujukan orang. Maksimal, mereka hanya jadi pusat perhatian sesaat saja. Karena selalu berusaha menyeragamkan diri dengan tren yang berlaku, pada akhirnya mereka menjadi tidak istimewa. Selain tren berpakaian, ada juga tren gadget. Banyak orang rela mengantri sejak Subuh demi mendapatkan gadget terbaru, seolah-olah tidak mungkin memperolehnya keesokan hari. Mungkin ia akan mendapatkan gadget tersebut lebih cepat dari kebanyakan orang, namun sepekan-dua pekan sesudahnya, ia tidak lagi istimewa. Ia hanya menjadi satu dari sekian banyak pengguna gadget yang sama. Itulah ilusi tren. Ia membuat manusia merasa istimewa, padahal ia justru melakukan persis sebaliknya.
Karena yang menjadi mangsa dari ‘perasaan istimewa’ ini umumnya tidak merasa telah dimangsa, maka jangan pula berpikir bahwa orang-orang ini hanya ada di ‘kelompok sana’, dan tidak ‘di sini’. Penyakit yang sama bahkan juga menjangkiti banyak aktivis dakwah yang sesungguhnya sangat menyadari bahaya tren dan mode.
“Afwan tidak bisa membantu, saya sibuk,” adalah salah satu ungkapan yang sering muncul dari lisan orang-orang yang terjangkit ‘perasaan istimewa’ ini. Di luar sana, kerap kita jumpai aktivis dakwah yang sudah tergabung ke dalam sebuah kepengurusan atau kepanitiaan – dan tak ada yang memaksanya untuk bergabung – tapi memiliki begitu banyak stok alasan untuk tidak ikut sibuk. Ironisnya, alasan untuk tidak ikut sibuk adalah kesibukan itu sendiri. Pertanyaannya: siapa yang tak sibuk? Apakah orang ini sebegitu istimewanya sehingga ia teramat sangat sibuk, sedangkan mayoritas rekannya tidak ada kesibukan sama sekali? Bertanyalah dengan jujur kepada diri sendiri: bukankah kebanyakan orang yang mengaku paling sibuk justru biasanya tidak sibuk-sibuk amat? Dan bukankah yang biasanya sibuk di berbagai kepanitiaan atau kepengurusan itu adalah orang yang itu-itu saja? Mengapa mereka bisa sedemikian sibuk, namun justru tidak pernah menjadikan ‘sibuk’ sebagai alasan?
Jika lisan tidak berkata-kata, maka perbuatan adalah cermin terbaik. Lihatlah para aktivis yang gemar datang terlambat, apakah mereka adalah yang paling sibuk di antara rekan-rekannya? Ya, tentu saja, kadang-kadang ada kondisi di luar kuasa manusia yang menghambat kita. Misalnya, qadarullaah, sepeda motor tunggangan kita bannya bocor di tengah jalan, sehingga kita harus mencari tukang tambal ban selama sepuluh menit, mengantri lima belas menit, dan menunggu ban ditambal lima belas menit. Total keterlambatan: empat puluh menit. Tapi orang yang terlambat namun benar-benar berusaha datang tepat waktu pasti terlihat berbeda dengan mereka yang terlambat karena memang berangkatnya pun terlambat. Betapa banyak aktivis dakwah yang terlambat datang satu-dua jam tapi langkahnya tidak terburu-buru, atau tidak kita jumpai setetes keringat pun sebagai saksi usaha kerasnya untuk datang sesuai jadwal. Pada akhirnya kita hanya menjumpai berbagai varian alasan dengan satu makna: “Afwan saya terlambat, ada kesibukan!”
Sekali lagi, tengoklah wajah-wajah mereka yang rajin datang dan jarang terlambat. Bukankah orangnya itu-itu saja? Bukankah yang paling berkomitmen adalah juga mereka yang paling sibuk? Dan bukankah yang paling banyak alasan adalah mereka yang paling sedikit kesibukannya?
Maaf sejuta maaf, tapi pembenaran tidak otomatis menjadikan yang salah menjadi benar. Segala sesuatu yang terjadi memang ada alasannya, namun terlalu banyak beralasan adalah tanda bahwa Anda tidak istimewa, sebab sebagian besar manusia memang terlalu banyak beralasan. Adapun mereka yang benar-benar istimewa pikirannya terfokus pada target, dan tidak menjadikan situasi sulit atau kondisi diri yang unik sebagai alasan. Tentu saja setiap manusia itu istimewa, tapi mereka memperebutkan target yang sama, yaitu untuk menjadi yang terbaik. Oleh karena itu, setiap manusia harus menghadapi masalahnya masing-masing, dan bukannya justru merasa istimewa dengan masalahnya itu.
Pebasket mana yang tak kenal Michael Jordan? Namanya memiliki tempat yang sangat istimewa – bahkan salah satu yang paling istimewa – dalam dunia basket. Akan tetapi, karirnya yang istimewa itu justru diawali dengan kesadaran bahwa dirinya tidaklah istimewa. Jordan semasa SMA tidak ada bedanya dengan siswa yang lain. Kenyataannya, ada masanya ketika seorang Michael Jordan pun tidak terpilih sebagai anggota tim basket. Jika saat itu Jordan mengajukan sejuta pembenaran atas ketidakberhasilannya, maka pastilah ia akan menjadi seperti mayoritas manusia yang hanya bisa main basket, dan bukannya menjadi salah satu pebasket terbaik sepanjang sejarah. Tapi Jordan menerima kenyataan meski pahit dan menjadikannya sebagai tantangan. Solusi yang ada dalam pikirannya sangat sederhana: untuk mengungguli yang lain, maka ia harus berusaha lebih keras daripada yang lain. Maka Jordan pun menjelma menjadi pebasket yang etos kerjanya tak terkalahkan. Sebelum yang lain datang, ia sudah mulai berlatih. Setelah yang lain pulang, ia masih berlatih. Jordan berhasil menjadi yang terbaik justru karena menyadari bahwa dirinya tidak istimewa. Barangkali banyak orang lain yang memiliki potensi sebaik dirinya atau bahkan lebih baik, namun tidak banyak yang berani berkomitmen seperti Jordan.
Jalan hidup yang kurang lebih sama juga dilalui oleh nama-nama besar lainnya. Jika Anda berpikir bahwa Bruce Lee menjadi begitu hebat karena ia terlahir hebat, maka sebaiknya Anda segera bangun dari mimpi dan mencuci muka dengan air dingin. Tidak ada yang istimewa dari Bruce Lee. Ia menjadi yang salah satu yang terhebat karena ia mendedikasikan dirinya sedemikian rupa dalam bidang keahliannya. Jika Anda bertanya kepadanya bagaimana cara ia bisa melakukan pukulan begitu kuat dari jarak satu atau tiga inci saja (ini adalah teknik khas yang dikembangkannya sendiri), maka barangkali ia akan tersenyum meledek dan menjawab, “Berlatihlah memukul seribu kali sehari, lama-lama kau akan ngerti juga!” Bruce Lee jago memukul dan menendang karena ia melakukannya lebih banyak daripada yang lain, sebagaimana Michael Jordan jago melakukan shoot karena ia melatihnya lebih sering daripada yang lain.
Ada konsep sederhana yang dapat menjelaskan masalah ini dengan baik. Ia bernama: sunnatullaah. Jordan dan Lee lahir dalam keadaan sama saja dengan yang lain; mereka lahir dalam keadaan lemah, hanya bisa menangis, dan tangannya tak bisa memukul atau melempar bola. Segalanya diperoleh melalui latihan. Setiap keterampilan memang didapatkan melalui latihan, dan ini merupakan sunnatullaah bagi setiap manusia. Kalau Jordan dan Lee tidak berlatih begitu keras, tentu mereka tidak ada bedanya dengan miliaran manusia lainnya.
Tentu saja tidak semua orang ditakdirkan untuk menjadi pebasket seperti Jordan atau ahli bela diri seperti Lee. Ada sesuatu yang disebut bakat, dan ini berkaitan dengan kondisi unik dari setiap individu. Mungkin Anda tidak bisa melempar bola seakurat Jordan, tapi dengan mudah mampu mengalahkannya dalam permainan catur. Mungkin pula Anda tidak bisa menjadi ahli bela diri sekelas Bruce Lee, namun seorang Bruce Lee pun ketika mobilnya mogok ya mampir juga ke bengkel atau montir kepercayaannya. Kita semua memiliki kesempatan untuk menjadi yang terbaik di bidangnya masing-masing. Hanya saja, kita harus menerima sunnatullaah dan berhenti beralasan.
Abu Bakar ra dan ‘Umar ibn al-Khaththab ra adalah dua pribadi yang selalu mengagumkan untuk dibahas. Semua tahu bahwa pribadi Abu Bakar ra sangat lembut dan ‘Umar ra dikenal garang. Akan tetapi, ketika Abu Bakar ra menjadi khalifah, beliau langsung berhadapan dengan berbagai kasus riddah (murtad), di antaranya dari sekelompok orang yang menolak membayar zakat. Ketika itu, Abu Bakar ra langsung mengambil langkah tegas dan memerangi mereka, sementara ‘Umar ra justru membujuk-bujuk Abu Bakar ra agar jangan terlalu keras. Pada akhirnya, argumen Abu Bakar ra-lah yang berhasil menundukkan pendapat ‘Umar ra.
Sebaliknya, ‘Umar ra yang dikenal sangat kuat dan pedangnya sangat tajam justru menjadi tokoh yang begitu lembut ketika beliau menjadi Amirul Mu’minin. Beliau tidak banyak menghadapi kasus riddah seperti Abu Bakar ra, sehingga peperangan yang terjadi pada jamannya lebih banyak berkontribusi dalam melakukan ekspansi wilayah Islam. Beliau dikenang sebagai pemimpin yang kerap berkeliling melihat-lihat keadaan rakyatnya di malam hari, ringan tangan dalam memberikan pertolongan kepada yang membutuhkan.
Abu Bakar ra dan ‘Umar ra menerima sunnatullaah atas dirinya. Mereka menyadari ada keunggulan dan sekaligus juga kelemahan yang unik dalam dirinya masing-masing. Mereka juga menerima tugasnya sebagai hamba Allah SWT dan memutuskan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairaat). Kita dapat melihat bagaimana Abu Bakar ra dan ‘Umar ra terlibat dalam ‘perlombaan’ menjadi hamba yang terbaik ini dalam berbagai episode sejarah. Abu Bakar ra, yang begitu lembutnya sehingga selalu menangis ketika menjadi imam shalat, berhasil mentransformasi dirinya menjadi pemimpin yang kuat sehingga beliau mampu bersikap tegas manakala diperlukan. Demikian pula ‘Umar ra, yang begitu gagah dan ditakuti musuh-musuh Islam, berhasil mentransformasi dirinya menjadi pemimpin yang amanah sehingga beliau mampu bersikap lembut ketika rakyatnya membutuhkan kelembutan.
Abu Bakar ra dan ‘Umar ra adalah dua pribadi yang sangat berbeda, namun mereka terlibat dalam perlombaan yang sama. Keduanya tidak mengumbar alasan dan pembenaran. Mereka sibuk memperbaiki kelemahan dan memperkuat keunggulan dalam dirinya. Mereka menerima sunnatullaah bahwa keistimewaan hanyalah milik orang-orang yang istiqamah, dan sunnatullaah ini berlaku kepada siapa saja. Oleh karena itu, Anda tidak pernah menyaksikan Abu Bakar ra atau ‘Umar ra datang terlambat untuk shalat lima waktu dengan alasan, “Afwan, saya sibuk!” Mereka istiqamah dengan shalat lima waktunya sebagaimana mereka istiqamah dengan tugas-tugas lainnya, dan mereka berlomba-lomba menjadi yang terbaik bersama hamba-hamba Allah lainnya. Mereka tidak meminta diistimewakan dalam hal apa pun, dan karena itulah mereka begitu istimewa.
wassalaamu’alaikum wr. wb.
Artikel ini pernah dimuat di sini.
No Comments