Jadi, Kita Kembali Kepada Jabriyyah?
1691
post-template-default,single,single-post,postid-1691,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Jadi, Kita Kembali Kepada Jabriyyah?

Jadi, Kita Kembali Kepada Jabriyyah?

DSC07275assalaamu’alaikum wr. wb.

Segera setelah Covid-19 (atau sederhananya biasa disebut Corona saja) menginvasi negeri ini, orang mulai bertanya-tanya bagaimana pandangan Islam dalam menyikapi wabah. Tak perlu menunggu lama, diskusi di kalangan para ulama sudah mulai bergulir, dan Ust. Taufik Hulaimi segera meluncurkan sebuah uraian singkat dalam format e-book (.pdf) yang diberi judul Menjaga Iman dalam Situasi Wabah Corona.

Judul e-book di atas sebenarnya menggelitik, karena menyertakan kata “iman”. Selain membahas apa yang perlu dilakukan dalam pandangan fiqih, e-book tersebut juga membahas seputar taqdir, dan semua orang tahu bahwa pembahasan soal taqdir adalah bagian dari bab ‘aqidah, karena taqdir adalah bagian dari Rukun Iman. Dengan demikian, yang dibahas bukan hanya ‘apa yang harus dilakukan terhadap virus Corona’, tapi ‘bagaimana cara memaknai wabah virus Corona sebagai taqdir Allah SWT’.

Mungkin kelihatannya terlalu berbelit-belit, apalagi bagi masyarakat awam. Tapi kalau mau mendalami fiqih, mau tidak mau harus juga memasuki pembahasan ‘aqidah. Tidak mungkin memisahkan keduanya sama sekali. Keruwetan akibat menceraikan dua saudara kandung ini terlihat dengan jelas di tanah air ketika muncul berita dikosongkannya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi karena wabah Corona sudah memasuki wilayah Saudi Arabia. Kedua masjid tersebut jelas tidak sama dengan mushola di pojokan komplek. Untuk melarang jamaah memasukinya, perlu ada komando dari para ulama yang jelas otoritasnya. Intinya: pengosongan itu benar-benar direstui ulama!

Dengan segera, muncullah berbagai teori konspirasi dari netizen tanah air. Ada yang mengatakan bahwa pengosongan kedua masjid suci itu adalah bukti bahwa para ulama Arab telah menyimpang dari jalan yang benar, ada pula yang mengatakan bahwa fenomena ini menunjukkan bahwa Arab tengah berusaha menyenangkan majikannya yaitu Donald Trump, tanpa menjelaskan apa kepentingan Trump dalam pengosongan ini. Pada kenyataannya, Trump sendiri sedang ditekan habis-habisan di negerinya sendiri lantaran dianggap lamban bahkan tidak serius dalam menangani Corona.

Yang doyan kajian akhir zaman, tentu saja, akan menghubungkan fenomena ini dengan akhir zaman. “Siap-siap, akhir zaman semakin dekat!” Ya, memang benar, sejak empat belas abad yang lalu, rasa-rasanya tak pernah ada yang mengatakan bahwa akhir zaman semakin menjauh. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw memang sudah memperingatkan bahwa jarak diutusnya beliau dengan kiamat adalah bagaikan jarak di antara jari tengah dan telunjuknya yang direnggangkan. Mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa hal itu berlebihan, karena pada kenyataannya sudah empat belas abad berlalu tapi belum Kiamat juga. Tapi bukankah 1.400 tahun itu masih sedikit jika dibandingkan dengan umur umat manusia seluruhnya, apalagi jika dibandingkan dengan umur Bumi atau alam semesta?

Yang agak memprihatinkan adalah argumen kaum ‘berani mati’ yang mengatakan bahwa kita diperintahkan untuk hanya takut kepada Allah SWT, sedangkan kematian akan datang sesuai jadwalnya, baik dengan bantuan virus atau tidak. Sebagiannya lagi bahkan mencela larangan untuk Shalat Jum’at yang mulai diedarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) seraya beralasan bahwa mati di saat shalat atau di masjid adalah salah satu cara mendapatkan mati syahid.

Yang mengatakan dirinya hanya takut kepada Allah SWT mungkin lupa bahwa Allah SWT sendiri telah memerintahkan manusia untuk takut kepada sejumlah hal lainnya. Dalam Al-Qur’an, misalnya, selain takut kepada Allah SWT, manusia juga diperintahkan untuk takut kepada Neraka (lihat QS. Al-Baqarah [2]: 24 dan QS. At-Tahriim [66]: 6). Urusan mati memang tidak diketahui siapapun, dan kita diajarkan untuk mencari kesempatan untuk mati syahid. Meski demikian, hal itu tidak berarti kematian boleh disongsong begitu saja tanpa perhitungan. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw pernah berpesan kepada salah seorang sahabatnya agar sebisanya jangan membiarkan ahli waris hidup dalam kemiskinan sepeninggal dirinya. Jika sengaja mengabaikan keluarga sendiri, bukankah itu namanya kezhaliman? Dan bukankah setiap kezhaliman akan dihukum pula oleh Allah SWT? 

Mungkin ada juga yang akan berargumen bahwa dirinya berusaha meniru Abu Bakar ra yang menyedekahkan seluruh hartanya, sedangkan untuk keluarganya hanya ditinggalkan Allah dan Rasul-Nya. Tapi kata-kata Abu Bakar ra tersebut pada kenyataannya toh hanya kiasan. Sebab, yang mengurus keluarganya bukan hanya Allah dan Rasul-Nya, melainkan juga dirinya. Abu Bakar ra tidak sembrono membahayakan nyawanya sendiri dan membiarkan ahli warisnya dalam bahaya. Beliau melakukannya dengan penuh perhitungan. Lagipula, pola hidup di jaman dahulu berbeda dengan di jaman sekarang. Jaman dulu, tanpa uang sepeser pun orang masih bisa hidup dengan berburu atau memetik kurma. Sekarang, tanpa uang, mau apa? Kalau tanpa uang saja sudah runyam, apalagi tanpa kepala keluarga! Bagaimana kalau kepala keluarganya nekat saja menyongsong virus tanpa perhitungan? Apakah itu bisa dikatakan meniru Abu Bakar ra?

Ada juga yang mengatakan bahwa kematian akan datang sesuai jadwalnya, di masjid atau di tempat lain, karena virus atau selainnya. Memang benar, tidak ada yang bisa memajukan atau memundurkan jadwal maut. Akan tetapi, manusia wajib melakukan ikhtiar sebaik mungkin. Cobalah substitusi virus Corona dengan penyakit lain yang jauh lebih ringan dan substitusi pula kematian dengan sakit biasa. Saat satu-persatu tetangga jatuh sakit karena demam berdarah, apakah Anda akan membiarkan saja menumpuknya sampah dan genangan air di dekat rumah dijadikan tempat tinggal jentik-jentik nyamuk? Ketika anak sedang diare, apakah dia akan dibiarkan makan makanan yang pedas-pedas sesuai selera saja? Jika untuk mencegah sakit yang biasa saja Anda ber-ikhtiar, maka mengapa tidak melakukannya untuk mencegah sakit yang jauh lebih fatal? Nyatanya, demam berdarah dan diare juga bisa berakibat fatal jika tidak ditangani. Dengan kata lain, perbedaannya dengan Corona hanya pada tingkat bahayanya saja. Pada hakikatnya, sama-sama penyakit.

Kelompok terakhir mengatakan bahwa mati di masjid itu sama saja dengan mati syahid. Masalah pertama dari pendapat ini adalah bahwa seseorang yang kena Virus Corona di masjid belum tentu mati di masjid pula. Virus itu bisa bertahan berhari-hari lamanya sebelum muncul gejala-gejala sakit, dan masih berhari-hari lagi sebelum akhirnya terjadi kematian (jika memang itu taqdir-nya). Masalah kedua terlihat jika kita memperbandingkannya dengan mati syahid di medan jihad. Yang namanya jihad itu erat kaitannya dengan mujahadah yang artinya adalah seputar keseriusan, kerja keras dan kesabaran. Yang mati dalam jihad itu mendapat kehormatan sebagai syuhada tidak lain karena betapa kerasnya ia berupaya dalam melawan musuh. Tengoklah bagaimana Rasulullah saw mengatur strategi di Perang Uhud dan Perang Khandaq, atau lihatlah bagaimana Thariq bin Ziyad memimpin pasukannya menyeberang dari Thanjah (Tangier) ke Jabal Thariq (Gibraltar), hingga akhirnya menaklukkan Rodrigo yang membawa pasukan 100.000 orang, sedangkan Thariq hanya membawa pasukan sekitar sepersepuluhnya saja. Tidak diragukan lagi, perang-perang tersebut telah melahirkan banyak syuhada. Akan tetapi, mereka mendapatkan kesyahidan itu setelah berupaya maksimal. Apakah orang yang tidak mau tahu bahaya virus dan sama sekali tidak berupaya menghindarinya hingga mati karenanya itu bisa disebut syuhada?

Yang paling memprihatinkan dari diskusi ini adalah betapa kita telah lama lupa dengan perdebatan soal taqdir yang melahirkan aliran qadriyyah dan jabriyyah. Menurut aliran qadriyyah, manusia bebas menentukan taqdir-nya sendiri, sedangkan menurut aliran jabriyyah, manusia hanya bersikap pasif dan mengikuti saja apa kehendak Allah SWT atas dirinya. Rupa-rupanya, empat belas abad sejak jaman Rasulullah saw, pemikiran jabriyyah masih cukup digemari di tanah air. Padahal, ulama sudah ijma’ (sepakat) bahwa jabriyyah adalah pemikiran sesat, sebagaimana juga qadriyyah, khawarij, rafidhah (syi’ah), mu’tazilah dan murji’ah.

Memang manusia harus takut kepada Allah SWT, namun itu bukan berarti dia harus hidup tanpa perhitungan dan menantang setiap bahaya. Kita hindarkan bayi kita dari asap rokok dan tidak kita ijinkan anak-anak kita bermain di pinggir jurang, meskipun kita tahu kematian ada jadwalnya. Ya, karena masalahnya memang bukan cuma soal mati atau tidak mati. Kalau anak kita dibesarkan di tengah kepulan asap rokok sejak bayi, misalnya, bisa saja ia tumbuh besar, namun tidak dengan kesehatan paru-paru yang baik. Yang jatuh ke jurang juga belum tentu mati; bisa jadi ‘hanya’ cacat seumur hidup atau lumpuh selamanya. Di titik ini, Anda perlu berpikir: bukankah tubuh ini juga amanah dari Allah SWT? Kalau ia dibiarkan rusak begitu saja, alias tak dijaga dan dirawat, bagaimana kelak kita akan mempertanggung jawabkannya?

Kalau Anda pengikut sejati aliran jabriyyah, mungkin Anda berkhayal akan menjawab: Ya Allah, semua itu kehendak-Mu juga. Ah, tapi bukankah tak mungkin ada dusta dalam pembicaraan kita dengan Allah SWT kelak?

wassalaamu’alaikum wr. wb.

21 Comments
  • Haris
    Posted at 22:03h, 18 March Reply

    Coba itu yg aliran jabbariyyah kalo nyebrang jalan / rel kereta gak usah tengok kanan kiri
    Biar takdir yg bicara

    • malakmalakmal
      Posted at 23:03h, 18 March Reply

      Wkwkwk sadis

  • Abdul munajat
    Posted at 22:15h, 18 March Reply

    serasa saya waktu belajar di PGA dulu. pelajaran perbandingan agama dan perbandingan mazhab

  • Ahadiati
    Posted at 06:36h, 19 March Reply

    Mereka gencar banget… Dan bagi yg kurang informasi sulit merubahnya persepsinya… Itu mayoritas masyarakat Kita…

    • malakmalakmal
      Posted at 08:45h, 19 March Reply

      Saya rasa nggak mayoritas sih, tapi memang cukup banyak dan merepotkan. Masalahnya, biarpun yg bandel sedikit, tp yg sedikit ini akan merepotkan yg banyak.

  • Wita
    Posted at 07:00h, 19 March Reply

    Ustadz, bolehkah minta ebooknya Ust Taufik Hulaimi seperti di atas?

    • malakmalakmal
      Posted at 08:46h, 19 March Reply

      Saya jg lagi mikirin, ngesharenya lewat mana ya?

  • Dhela
    Posted at 07:31h, 19 March Reply

    Bingung gimana caranya menjelaskan ke orang tua perihal ini, Ustadz. Karena ilmu agama mereka sebenernya jauh lebih baik dari saya 🙁

    • malakmalakmal
      Posted at 08:46h, 19 March Reply

      Yah inilah susahnya ketidakseimbangan kurikulum dalam pendidikan agama kita. Rata2 fokus di fiqih, padahal persoalan aqidah juga penting, bahkan penting bgt.

  • Aara
    Posted at 08:10h, 19 March Reply

    Berkat corona, saya jadi kenalan dengan istilah jabriyyah dan qodriyyah.

  • Aliyah
    Posted at 10:03h, 19 March Reply

    Qadriyyah: Kena HIV/AIDS itu, mau homo atau straight, semua bisa kena. Yg penting usaha: sex aman.
    Jabbariyah: mau ada virus, mau sehat, kl udah waktunya ya mati aja.

    Iya sih, mirip ya.

    • malakmalakmal
      Posted at 10:23h, 20 March Reply

      Kurang tepat seperti itu utk qadriyyah. Perbedaan qadriyyah dgn ajaran Islam yg benar bukan pada ikhtiarnya, tapi pada PANDANGANNYA thd ikhtiar. Menurut qadriyyah, taqdir itu tergantung pada ikhtiar manusia, seolah tak ada campur tangan Allah SWT.

  • Rojauna Zalfatthoriq
    Posted at 22:15h, 20 March Reply

    Kalo saumpama tetep sholat di masjid dengan pemahaman “masjid itu rumah Allah, aku yakin Allah akan menjagaku” gimana tadz?

    • malakmalakmal
      Posted at 14:03h, 21 March Reply

      Komentar seperti itu tidak hanya jauh dari logika, tapi juga sedikitpun tidak sesuai tuntunan Rasulullah saw. Pertama, kalau dia merasa dijaga Allah SWT di masjid, apa alasannya Allah SWT tidak menjaganya di luar masjid? Kedua, secara empiris pun tdk terbukti. Waktu kerusuhan di Ambon dulu, umat Muslim dibantai di masjid, lho.

  • Rojauna Zalfatthoriq
    Posted at 22:32h, 21 March Reply

    Kalo tanggapan ustadz tentang syekh Sudais kurang lebihnya “kemungkinan mati akibat Corona 1%. Kemungkinan mati setiap saat 100%. Utamakan perbaiki amal” ??

    • malakmalakmal
      Posted at 08:06h, 22 March Reply

      Kadang orang melakukan ‘fill in the gaps’ sendiri thd pernyataan seorang ulama sehingga seolah2 sejalan dgn pemikirannya. Syaikh as Sudais tidak salah, kan memang benar bahwa kita semua pasti mati, tapi blm tentu karena Corona. Tapi apakah itu berarti beliau berpendapat bahwa kita tak perlu pedulikan virus ini, lantas shalat saja di masjid? Beliau nggak bilang begitu. Beliau hanya mengingatkan, krn skrg kita sedang heboh mikirin Corona, ada ironi di situ, sebab dengan atau tanpa Corona sebenarnya kita 100% pasti mati. Jadi banyak-banyaklah ingat mati, kan memang itu ajaran Rasulullah saw. Nah, ikhtiar menghindari wabah juga ajaran Rasulullah saw dan para sahabatnya. Jadi jangan dipertentangkan. Sekarang uji saja dengan kenyataan. Syaikh as-Sudais kan Imam Masjidil Haram. Nah, di Masjidil Haram kondisinya sekarang bagaimana? Ditutup juga kan? Jadi, jangan gunakan kata-kata Syaikh as-Sudais untuk membenarkan pendapat yg jelas2 tidak sejalan dengannya.

  • Rojauna Zalfatthoriq
    Posted at 09:11h, 22 March Reply

    Makasih ustadz atas ilmu nya. Jadi punya dasar nih buat tetep di rumah, soalnya temen2 banyak yg bandel.

    Cuman gini ustadz, kan di daerah sini belum terlalu menjalar, bahkan kemaren masih ngadain sholat jum’at, terus apakah lebih baik tetep beraktivitas seperti biasa atau berada di rumah.

    Satu lagi ustadz yang masih kepikiran, kalo kita punya temen2 yg emang kesehariannya sama kita, dari pagi sampe malem sebagian besar hidupnya sama kita, ngaji bareng, ngobrol bareng, sampe ngopi bareng, apa kita tetep harus menjaga jarak

  • Rojauna Zalfatthoriq
    Posted at 09:17h, 22 March Reply

    Makasih ustadz atas ilmu nya. Jadi punya dasar nih buat tetep di rumah. Soalnya temen2 banyak yg masi bandel

    Cuman gini ustadz, kan di daerah sini belum terlalu menjalar, bahkan kemaren masih ngadain sholat jum’at, terus apakah lebih baik tetep beraktivitas seperti biasa atau berada di rumah

    Satu lagi ustadz yang masih kepikiran, kalo kita punya temen yang kesehariannya bersama kita, hampir sebagian besar hidupnya dg kita, ngaji bareng, ngobrol bareng, sampe ngopi bareng, terus apa tetep harus menjaga jarak?

    • malakmalakmal
      Posted at 18:02h, 22 March Reply

      Mengingat betapa cepatnya virus ini menyebar, saya rasa justru kita gak perlu menunggu jadi wabah dulu baru kita menjaga jarak. Social distancing ya berlaku utk semua orang di luar rumah kita.

  • Miaci
    Posted at 10:40h, 22 March Reply

    Assalamualaykum ustadz, bolehkah materi2nya di jadikan bahan sharing di grup kajian?

    • malakmalakmal
      Posted at 18:02h, 22 March Reply

      Tafadhal. Tulisannya sudah dilempar ke publik, tandanya sila digunakan 🙂

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.