10 Apr Jangan Remehkan Ilmu
Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Ketika virus Covid-19 varian Delta sedang ganas-ganasnya, muncul seruan untuk shalat di rumah masing-masing. Setelah penyebaran virus agak mereda, shalat berjamaah kembali diperbolehkan, namun wajib mengenakan masker dan shalat harus berjarak. Masih segar dalam ingatan bagaimana sebagian Muslim terpancing untuk mencela para da’i dan ulama — mulai dari imam masjid kompleknya sendiri hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) — lantaran tidak setuju dengan fatwa tata cara shalat berjamaah di kala pandemi.
Tentang hukum shalat mengenakan masker dan menjaga jarak saat berjamaah ini dijelaskan dalam Fatwa MUI No. 31 Tahun 2020. Dalam fatwa yang ditandatangani pada tanggal 4 Juni 2020 ini, MUI menjelaskan bahwa shalat dengan mengenakan masker yang menutup mulut itu tetap sah dan hukum asalnya adalah makruh, sedangkan shalat dalam barisan shaf yang tidak lurus dan rapat itu pun sah meski tidak mendapatkan penilaian yang sempurna alias kehilangan keutamaannya. Ketika ada hajat syar’iyyah berupa kebutuhan untuk menghindari penularan virus yang mematikan, maka keduanya menjadi perlu dilakukan, tidak lagi makruh dan mengurangi keutamaan shalat. Dalam rekomendasinya, MUI juga menyarankan langkah-langkah pengamanan lainnya, yaitu wudhu di rumah, membawa sajadah masing-masing, memperpendek khutbah Jum’at, memperpendek bacaan dalam shalat, dan mendorong yang sedang sakit untuk tetap di rumah.
Tiga bulan sebelum fatwa tersebut dirilis, Komisi Fatwa MUI mengadakan diskusi dengan dua orang pakar di bidang kesehatan, yaitu Prof. Dr. Budi Sampurno, Guru Besar dari Fakultas Kedokteran UI dan Prof, drh. Wiku Adisasmito, Ketua Tim Pakar Satgas Covid-19. Dari kronologi tersebut dan penjelasan pada paragaf sebelumnya dapat dipahami algoritme yang digunakan oleh MUI sebelum menerbitkan fatwanya, yaitu terlebih dahulu mempertimbangkan fakta-fakta seputar virus Covid-19 yang diperoleh dari keterangan para ahli sebelum kemudian mendiskusikan pandangan-pandangan syari’at terhadapnya dan merumuskan solusi bagi permasalahan aktual yang berkembang di tengah-tengah masyarakat akibat pandemi.
Sudah barang tentu para ulama yang duduk di Komisi Fatwa MUI memiliki pengetahuan yang tergolong mumpuni dalam bidang syari’at. Meski demikian, untuk menyusun sebuah fatwa untuk menjawab sebuah persoalan kontemporer seperti pandemi Covid-19, para ulama tidak bertindak terburu-buru, melainkan terlebih dahulu menggelar diskusi mendalam dengan mereka yang memiliki otoritas ilmu dalam bidang kesehatan. Setelah mendapatkan penjelasan dari para ahli mengenai apa dan bagaimana cara kerja virus tersebut, barulah fatwa dirumuskan. Dengan kata lain, setelah realita dipahami secara komprehensif dan hajat syar’iyyah telah berhasil diidentifikasi, barulah hukum-hukum syari’at bisa didiskusikan.
Dari kalangan para penolak fatwa tersebut (yaitu shalat berjamaah dengan masker dan menjaga jarak di kala pandemi Covid-19) saya mendapat kesan bahwa kebanyakan mereka tidak sreg dengan fatwa itu semata-mata karena penanggulangannya berbeda dengan yang dilakukan oleh generasi salaf dahulu. Wabah penyakit memang bukan persoalan baru, melainkan sudah terjadi sejak zaman Rasulullah saw dan generasi sahabat. Abu ‘Ubaidah ibn al-Jarrah ra, salah seorang sahabat utama yang telah dijamin masuk Surga, adalah salah seorang tokoh yang wafat akibat wabah di Syam.
Di tengah-tengah wabah di zaman para sahabat Rasulullah saw, memang tidak ada ulama yang memberi fatwa untuk shalat berjamaah dengan mengenakan masker dan menjaga jarak. Akan tetapi, penggunaan masker dan keputusan untuk menjaga jarak dalam shaf shalat adalah solusi-solusi yang dirumuskan berdasarkan pengetahuan tentang virus yang sedang berkembang sejak akhir 2019 (yaitu Covid-19). Pengetahuan itu tentu saja berkaitan dengan tingkat perkembangan sains pada zamannya. Di zaman Abu ‘Ubaidah ra, belum ada yang memiliki pengetahuan mendalam tentang virus yang menjangkiti pada saat itu dan cara penyebarannya. Lagipula, kekhawatiran semestinya sudah selesai sejak MUI menjelaskan dalam fatwanya bahwa hukum asal shalat dengan mengenakan masker itu cuma makruh (bukan haram) dan menjaga jarak dalam shaf tidak membatalkan shalatnya.
Penjelasan yang agak panjang-lebar di atas dimaksudkan untuk memberi gambaran bagaimana segala macam ilmu itu dibutuhkan dalam kehidupan seorang Muslim, baik ilmu-ilmu agama maupun yang di luar itu. Kebutuhan seorang Muslim akan ilmu bukan hanya demi kepentingan pribadinya, melainkan juga untuk memenuhi tugas-tugasnya sebagai Khalifah Allah SWT di muka Bumi. Jika kita meyakini bahwa kita memiliki kewajiban untuk memelihara keseimbangan alam, misalnya, maka kita membutuhkan ilmu ekologi. Untuk memprediksi pergantian bulan dan terjadinya gerhana, kita membutuhkan ilmu astronomi. Untuk mengantisipasi pergantian musim yang ekstrem (seperti di zaman Nabi Yusuf as?), ilmu meteorologi akan memainkan peranan yang amat signifikan. Untuk mendirikan bangunan di daerah-daerah yang rawan gempa seperti di banyak wilayah di Indonesia ini, maka ilmu Teknik Sipil harus terus dikembangkan.
Umat Muslim harus menyadari pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan, sebab ilmu-ilmu itu membantu kita memahami realita. Bayangkan jika ada yang berfatwa bahwa Bir Pletok itu haram, semata-mata karena namanya adalah “bir”. Pada kenyataannya, Bir Pletok adalah minuman khas Betawi yang dibuat dari rempah-rempah yang seratus persen halal. Sekiranya ada yang memberi nasihat untuk mengganti nama “bir” (karena sudah lazim dipahami bahwa bir adalah minuman beralkohol), maka itu wajar saja.
Perkembangan ilmu pengetahuan — sebagaimana telah dicontohkan dalam kasus pandemi di atas — juga mempengaruhi perumusan hukum-hukum syari’at. Dahulu, para ulama sepakat bahwa hukum merokok hanya makruh, sebab menimbulkan bau mulut yang kurang sedap. Saat ini, ketika telah jelas bahwa rokok dapat menimbulkan sekian banyak dampak buruk pada kesehatan, maka banyak ulama yang telah menyatakan tegas keharamannya. Dengan mengabaikan fakta-fakta kesehatan, maka umat seolah dibiarkan terjerat pada kebiasaan merokok yang kemudian menggerogoti kesehatan diri dan orang-orang di sekitarnya. Kalau ada ilmuwan yang mau menganalisis seberapa besar kerugian finansial yang diderita oleh rakyat — terutama golongan ekonomi lemah — karena merokok, maka analisis itu akan menambah bobot fatwa para ulama terhadap rokok.
Pengabaian terhadap ilmu sejarah dapat mengakibatkan pandangan yang simplistis terhadap peradaban. Sebagian orang, misalnya, menyederhanakan masalah sedemikian rupa sehingga mengatakan bahwa masalah Palestina akan dapat diselesaikan asal ada khilafah. Padahal, dengan bercermin pada pembebasan Al-Quds oleh generasi Shalahuddin al-Ayyubi, justru dapat disimpulkan bahwa keberadaan khilafah tidak mesti membuat penanganan masalah di wilayah-wilayah Muslim menjadi mudah. Dalam kasus Perang Salib, justru khalifah merupakan salah satu sumber masalahnya. Kasus-kasus lain seperti penyiksaan Imam Ahmad bin Hambal di zaman Khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tashim juga menunjukkan bahwa masalah tidak otomatis terselesaikan dengan keberadaan khilafah, termasuk pelanggaran-pelanggaran serius terhadap syari’at yang justru dilakukan oleh para khalifah.
Pemahaman yang keliru dalam bidang sejarah dan politik juga menyebabkan sebagian orang membuat fatwa yang menyimpang dalam menanggapi kasus Palestina. Perkara ini sudah pernah saya ulas dalam salah satu tulisan lama saya yang berjudul “Sekali Lagi, Tentang Generasi Salaf Bangsa Ini”.
Meremehkan ilmu adalah suatu penyakit yang perlu mendapat perhatian bersama kita yang hidup di zaman ini. Ada kecenderungan di antara sebagian Muslim untuk menganggap enteng ilmu-ilmu non-syari’at. Persoalan Palestina, misalnya, tidak bisa dibahas hanya oleh sarjana-sarjana ilmu syari’at saja, melainkan juga harus didiskusikan dengan para pakar hubungan internasional, sejarah, sosiologi, ekonomi dan sebagainya. Demikian pula jika ingin membangun ekonomi umat, maka tidak cukup hanya menyajikan dalil-dalil yang menjelaskan keutamaan mencari nafkah dan berdagang saja, melainkan juga harus membekali masyarakat dengan berbagai ilmu, mulai dari kewirausahaan, akuntansi, sampai marketing dan hukum.
Di masa lampau, peradaban Islam pernah memiliki dua ibukota sains dunia, yakni Baghdad dan Qurthubah (Cordoba). Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat pada zaman itu karena umat Muslim menyadari kebutuhan mereka akan ilmu. Para ulama pun menggolongkan ilmu ke dalam dua kelompok, yakni fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Artinya, semua ilmu itu wajib dikuasai, hanya saja ada yang wajib dikuasai semua orang (seperti cara shalat), dan ada yang wajib dikuasai oleh sebagian orang saja sehingga bisa memenuhi kebutuhan umat.
Kalau kita menghayati peranan kita sebagai Khalifah Allah SWT di muka Bumi, maka tidak ada ilmu yang tidak dibutuhkan. Dengan ilmu, kita dapat mengungkap rahasia-rahasia alam yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Sementara ilmu-ilmu syari’at mengajari kita cara yang benar untuk menghamba kepada Allah SWT, maka ilmu-ilmu pengetahuan lainnya membuat penghambaan itu terasa semakin lezat.
Wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Fuadi
Posted at 13:42h, 20 AprilJazakallah khayr ustadz atas remindernya