13 Dec Kalah Itu Nyaman
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Dalam salah satu kajian saya tentang sejarah Al-Andalus, saya bercerita tentang ‘Abdurrahman an-Nashir. Beliau adalah orang pertama yang menyebut dirinya Khalifah di Al-Andalus, secara efektif mendirikan kembali Daulah Umawiyyah, walaupun secara de facto Bani Umayyah telah berkuasa kembali di Al-Andalus sejak kakek moyangnya, ‘Abdurrahman ad-Dakhil, berhasil menyelamatkan diri dari kudeta berdarah yang dilakukan oleh Bani ‘Abbas. An-Nashir menjadi khalifah pada usia 22 tahun, mempersatukan kembali Al-Andalus yang saat itu sudah tercabik-cabik, menjadikan Qurthubah (Cordoba) sebagai kota metropolitan nomor satu di Eropa, bahkan kemudian meluaskan kekuasaannya hingga ke Maghrib (Maroko) demi menekan gerakan kelompok Syi’ah yang mendirikan Daulah Fathimiyah.
Setelah memaparkan kisah an-Nashir panjang lebar, saya terhenyak ketika mendapatkan sebuah pertanyaan yang tak pernah terkira sebelumnya, namun kini saya bersyukur telah mendapatkannya. Pertanyaannya kurang lebih begini: “Jika ditilik dari masanya, an-Nashir hidup pada fase Mulkan ‘Adhan. Lalu mengapa di fase ini kok ada an-Nashir yang masa pemerintahannya begitu ideal, negerinya adil makmur, dan pemimpinnya shalih?” Saya bersyukur, karena pertanyaan ini telah membantu saya memahami beberapa persoalan yang menimpa umat belakangan ini.
Yang rajin mengikuti kajian bertemakan akhir zaman pasti hapal pembagian zaman menjadi lima. Pertama, zaman Nabi Muhammad saw, yang tentunya merupakan sebaik-baik zaman. Kedua, zaman Khulafaur Rasyidin. Ketiga, zaman Mulkan ‘Adhan, atau kerajaan-kerajaan yang ‘menggigit’. Keempat, zaman Mulkan Jabariyyan atau pemerintahan diktator. Terakhir, kelima, adalah zamannya Imam Mahdi, ketika segala aturan Islam kembali ditegakkan dan Islam keluar sebagai pemenang. Kononnya lagi, fase Mulkan ‘Adhan adalah masa pemerintahan Daulah Umawiyyah, ‘Abbasiyyah dan Utsmaniyyah, sedangkan kini kita hidup di fase Mulkan Jabariyyan.
Keberadaan kita di fase Mulkan Jabariyyan menyiratkan setidaknya dua hal. Pertama, bahwa kita berada di seburuk-buruk zaman. Kedua, bahwa setelah ini Imam Mahdi akan datang dan kondisi akan segera berubah. Pada akhirnya, poin pertama meniscayakan penjelasan yang lebih jauh lagi. Jika memang kini kita berada di seburuk-buruk zaman, lantas apa yang harus kita lakukan?
Pertanyaan tentang fase Mulkan ‘Adhan sebelumnya adalah cerminan dari kebingungan umat masa kini. Meskipun fase ini tidak sejelek yang berikutnya, namun ia tetaplah tidak seideal dua zaman sebelumnya. Rupanya, keberadaan pemimpin yang adil pada fase ini sudah cukup membingungkan bagi sebagian orang. Bagaimana mungkin ada pemimpin yang baik di zaman yang buruk?
Sebagian dari masalahnya mungkin merupakan kontribusi dari kekeliruan memahami sejarah. Yang disebut ‘zaman’ itu memang tak pernah terlepas dari generalisasi. Zaman kegelapan (The Dark Age) yang menjadi sebutan populer bagi Abad Pertengahan di Eropa itu tidak berarti bahwa Eropa sepenuhnya gelap, seluruh manusia menjadi biadab dan tak ada kemajuan sains sama sekali. Ketika Nusantara dijajah Belanda, bukan berarti tak ada orang Indonesia yang bahagia. Ketika Orde Baru runtuh, memang ada kerusuhan, tapi tidak di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan di zaman jahiliyyah pun ada orang-orang yang berusaha memelihara diri dari penyembahan berhala.
Sebagian akar permasalahan lainnya adalah cara berpikir yang fatalis, yang mungkin timbul akibat tidak tuntasnya penjelasan tentang kategorisasi zaman tadi. Meskipun kita hidup di seburuk-buruknya zaman, namun kita tetaplah berkewajiban untuk melakukan ikhtiar yang terbaik. Toh, Allah Maha Adil. Di Indonesia, banyak sekolah yang membimbing siswa-siswanya hingga hapal beberapa juz Al-Qur’an. Tapi bagi anak-anak Uyghur, hapal Juz 30 pun sudah hebat, mengingat besarnya perjuangan untuk mencapai hal tersebut di sana. Di zaman para sahabat, menolak beriman itu memang keterlaluan, karena Rasulullah saw hidup di tengah-tengah mereka. Akan tetapi, bagi generasi terkini yang tak pernah melihat wajah beliau, istiqamah dengan keimanan pun sudah merupakan tantangan yang tidak ringan.
Bukti bahwa Allah Yang Maha Adil menilai manusia dari usahanya adalah sebuah hadits tentang Akhir Zaman itu sendiri. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Ahmad, Rasulullah saw bersabda, “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah!” Meskipun tanaman itu takkan sempat tumbuh, namun kebaikan adalah kebaikan.
Inilah penjelasan yang diperlukan untuk melengkapi kategorisasi zaman di atas. Di zaman yang buruk, kita tetap tidak diperbolehkan berdiam diri dan menyerah pada keadaan. Jika kezhaliman merajalela, maka kita tidak boleh menjadi bagian dari para pembela kezhaliman, dan sebisanya juga harus melawan kezhaliman itu, bukan membiarkannya. Apakah kita akan berhasil menumbangkan kezhaliman, atau malah kita yang kemudian dilibas olehnya, itu persoalan lain.
Keyakinan bahwa kita berada di seburuk-buruk zaman (yaitu Mulkan Jabariyyan) yang dipadu dengan sikap fatalis dan menunggu-nunggu kedatangan Imam Mahdi menghasilkan ‘optimisme’ yang janggal. Alih-alih menyelesaikan persoalan di depan mata, banyak orang malah sibuk memprediksi kapan Imam Mahdi akan datang, sebab hanya itulah solusi dari permasalahannya, lain tidak! Ketika pandemi Covid-19 melanda di awal tahun 2020, berbagai spekulasi menimbulkan kegaduhan; ada yang bilang ini sudah ‘fase dukhan’, ada pula yang berani meramal bahwa perang akhir zaman akan dimulai pertengahan tahun 2020.
Sebelumnya, sudah terkenal opini yang menyatakan bahwa di akhir zaman nanti semua teknologi akan hancur binasa. Karena itu, ada yang sudah mulai mengasah pedang, ada pula yang malah berhenti kuliah, karena merasa bahwa kuliahnya takkan berguna lagi di hadapan Dajjal. Seolah-olah kedatangan Dajjal sudah dapat dipastikan dalam hitungan hari saja! Padahal, kalaupun benar semua teknologi akan hancur dan kita terpaksa bertarung dengan pedang, panah dan tombak, tetap saja yang namanya perang itu membutuhkan kaum intelektual yang akan membangun strategi. Siapa yang akan menjadi kaum intelektual itu, kalau sekarang semuanya bersikap apatis terhadap pendidikan?
Karena apatisme yang sama, umat Muslim diajak menjauhi demokrasi. Percuma berdemokrasi, kata mereka, sebab kalau yang menang umat Muslim toh akan dikudeta lagi, seperti yang terjadi pada Presiden Mursi di Mesir. Akhirnya, sebagian Muslim pun merasa tak perlu lagi berjuang di ranah legislatif dan eksekutif karena merasa sudah pasti dicurangi dan sudah pasti pula tak bisa menolak kecurangan itu. Sementara itu, RUU yang akan membuka pintu pada perzinaan sudah siap disahkan, sedangkan yang tegas menolaknya sejak awal hanya satu fraksi saja. Baiklah kalau sudah tak mau berjuang, mari kita bayangkan, kapan kira-kira Imam Mahdi datang? Kata siapa 5 atau 10 tahun lagi? Bagaimana kalau masih 50 atau 100 tahun lagi? Kalau hari ini perzinaan dilegalisasi (bahkan sudah ada disertasi di perguruan tinggi Islam yang menghalalkan zina), apa yang tersisa dari umat Muslim di negeri ini pada saat itu? Atau jangan-jangan, ketika Imam Mahdi datang, sudah tak ada lagi Islam di Indonesia? Ini bukan mengada-ada, tapi memang sebuah kemungkinan yang terbuka. Islam memang pasti menang di akhir zaman, tapi tak ada yang bilang bahwa di akhir zaman masih akan ada Islam di Indonesia. Negeri ini tak pernah disebut-sebut dalam hadits-hadits akhir zaman!
Dengan cara yang sangat ganjil, kekalahan pun dapat menciptakan zona nyaman bagi manusia. Banyak orang yang merasa nyaman saja menerima kekalahan lantaran ia sudah terbiasa kalah dan menganggap bahwa hanya kekalahan itulah yang mungkin ia dapatkan, sebab ia hidup di zaman penuh kekalahan. Kemenangan akan tiba sebentar lagi, walaupun ini cuma asumsi, dengan kedatangan Imam Mahdi. Ketika ia datang nanti, pokoknya kita akan bergabung di barisannya dan akan keluar sebagai pemenang, meskipun kini kita tidak ikut berpayah dan berpeluh dalam perjuangan. Betapa nyamannya menjadi kerikil yang dibawa oleh arus zaman tanpa perlu memikirkan bagaimana ia akan sampai kepada tujuan!
Dahulu, para sahabat Rasulullah saw ‘memperebutkan’ kehormatan dengan caranya masing-masing. Ada yang menahan pedihnya siksaan, ada yang meninggalkan kampung halaman, ada yang berjihad dengan harta dan jiwanya, ada yang menangis karena ditinggal rombongan jihad lantaran tak ada lagi perbekalan, ada yang tinggal sehari-hari di Masjid Nabawi agar lebih optimal menyerap ilmu, dan ada juga yang menunggu Rasulullah saw bangun untuk tahajjud agar bisa segera melayaninya. Tapi rupanya ada juga yang menanti-nanti kemenangan di akhir zaman dengan mengakrabi kekalahan.
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Anila Gusfani
Posted at 20:55h, 17 DecemberKok ada ya, orang yang rajin kajian akhir zaman? Sampe saking menjiwainya, berani meninggalkan pekerjaan, kuliah dll. Apakah dia ga tau kalo Ilmu Islam yang lebih penting lainnya masih buanyak yang perlu dipelajari.
Huft..
Btw, serem juga stadz, membayangkan Islam gak ada lagi di Indonesia, suatu saat nanti. Ya Allah… 🙁
Gayatri Arifin
Posted at 21:08h, 17 Decemberpembahasan yg menarik ^^
Dudin awaludin
Posted at 22:00h, 17 DecemberJazakalloh ust akmal nikmat baca nya dan sangat memberi wawasan
Semoga kita semua tidak menyerah pasrah akan keadaan
Tapi tetap terus ikhtiar memberi kontribusi utk kejayaan islam..
Hizi
Posted at 22:52h, 17 DecemberMenarik ustadz, apalagi soal yg terakhir, demokrasi di mesir, pernah terpikir kenapa muslim yg 90% di mesir mengulingkan pemerintahan yg sah ya? Apa di sana bukan ahlus sunnah wal jamaah sehingga sebagian melakukan bughot? Hmm~ Kemenangan dan kekalahan muslim di mesir itu menarik dibahas juga ustadz untuk tulisan selanjutnya mungkin… Hehehe
malakmalakmal
Posted at 09:53h, 18 DecemberYg melakukan kudeta kelompok militer sekuler. Yg patut disesalkan adalah kelompok2 Islam yg mendiamkan kudeta, semata2 karena yg dikudeta bukan kelompok mereka. Jadi semuanya mau aman sendiri dan membiarkan darah saudaranya mengalir.
M
Posted at 03:22h, 18 DecemberKoentji “Jika kezhaliman merajalela, maka kita tidak boleh menjadi bagian dari para pembela kezhaliman, dan sebisanya juga harus melawan kezhaliman itu, bukan membiarkannya. Apakah kita akan berhasil menumbangkan kezhaliman, atau malah kita yang kemudian dilibas olehnya, itu persoalan lain.”
Bangun Raharjo
Posted at 05:21h, 18 DecemberDibaca di pagi hari, menghangatkan pikiran karena sudah diajak berlogika dengan fakta sejarah dan fenomena umat saat ini.. dan mengetuk lagi hati untuk apa (niat) kita berjuang hari-hari ini…
Tulisan yang ringan tapi sarat analisa…
Barakallah Akh Akmal…
nico
Posted at 16:26h, 19 Decemberternyaa bukan maju untuk menang… tapi maju untuk membela
Afrianto tanjung
Posted at 19:05h, 19 DecemberZaman mulkan adnan atau zaman-zaman kerajaan yg menggigit..maksud “menggigit disini itu apa mas akmal?
malakmalakmal
Posted at 21:58h, 19 DecemberArtinya “raja-rajanya zhalim”.