28 Feb Kebanyakan Saintis Tetap Beriman
Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Masih teringat dengan jelas pengalaman di UIN Makassar, 2012 silam. Saat itu, #IndonesiaTanpaJIL (ITJ) Chapter Makassar mengatur sebuah agenda debat terbuka seputar Islam liberal antara saya dan Prof. Qasim Mathar, di hadapan para mahasiswanya.
Yang paling melekat dalam ingatan bukanlah debatnya, melainkan justru sesi tanya-jawabnya. Saat itu, seorang mahasiswa filsafat mengatakan bahwa mereka lebih percaya Islam liberal karena ia ‘lebih dekat’ dengan sains. Menurutnya, di zaman modern seperti sekarang ini, segalanya harus diteliti dengan menggunakan metode saintifik. Bahkan, katanya lagi, Tuhan pun ditelaah dengan sains.
Mahasiswa itu adalah perwakilan dari entah berapa ribu mahasiswa lainnya yang merasa telah mengenal sains, padahal ia cuma berinteraksi dengan sains sampai masa studinya di SMA saja, itupun belum tentu dengan prestasi yang baik. Mereka yang kenal sains cuma ‘sekenanya’ saja mengira bahwa ilmu sains itu serbapasti dan ‘harga mati’, alias sudah final. Mentang-mentang manusia sudah bisa meneropong bintang, dikiranya kita sudah tahu segala sesuatunya tentang bintang.
Mahasiswa-mahasiswa yang mengira dirinya paham sains itu barangkali mengira bahwa di Bumi sudah tak ada lagi misteri. Para saintis sejati, sebaliknya, jauh lebih rendah hati. Saya masih ingat menonton sebuah film dokumenter tentang sebuah ekspedisi penyelidikan ke suatu tempat yang belum pernah dijamah manusia di rimba belantara Papua Nugini. Harapannya, dalam waktu sekian bulan, mereka bisa mencatat puluhan spesies baru dan mengumpulkan spesimen untuk diteliti. Kenyataannya, mereka kehabisan wadah spesimen hanya dalam waktu dua pekan saja, saking banyaknya spesies baru yang mereka temukan.
Orang yang cuma mengenal dunia kelautan dari film Aquaman barangkali menyangka bahwa manusia sudah tahu segalanya tentang kehidupan di laut terdalam. Kenyataannya, masih ada saja kedalaman yang belum pernah diselami. Sebagian hanya pernah dimasuki oleh kapal selam tanpa awak, karena mengirimkan manusia ke kedalaman itu dianggap terlalu riskan. Tekanan air dapat meremukkan manusia sama efektifnya dengan bangunan beton.
Saya kira wajarlah kiranya jika mereka yang tak pernah belajar sains agak mendalam itu mengira bahwa sains modern telah mampu menjawab segala misteri alam. Selama ini, pendidikan sains di sekolah tidak pernah jauh dari ‘menjawab soal’, sehingga masuk akal jika ada yang begitu lugu menyangka bahwa semua soal telah terjawab. Adapun para saintis sejati yang sehari-harinya bergelut dengan penelitian pastilah memahami bahwa di alam semesta ini masih jauh lebih banyak pertanyaan ketimbang jawabannya; dan menemukan sebuah pertanyaan baru itupun sungguh merupakan sebuah prestasi yang tidak kurang membanggakan bagi mereka!
Di masa lampau, sains dan filsafat sangat berkaitan erat. Karena itu, orang-orang yang dikenal luas sebagai filsuf dahulunya juga bekerja sebagai saintis. Jangan heran kalau seorang filsuf Yunani ternyata pandai geometri, dan seorang ahli fisika dari abad pertengahan ternyata pandai juga berfilsafat, karena dulunya kedua bidang ilmu itu memang berkaitan erat. Ketika orang menyelidiki alam dan memahami cara kerjanya, maka ia telah menjadi seorang saintis. Manakala ia mengungkap kaidah-kaidah berpikir berdasarkan apa yang dipelajarinya dari berbagai fenomena alam, jadilah ia seorang filsuf. Saat manusia menemukan hikmah, maka ia telah menemukan sepotong hidayah. Akan tetapi tidak semua hikmah dapat ditemukan dengan akal belaka. Untuk itu, Allah SWT menurunkan ajaran-ajaran agama. Sebagaimana kata Buya Hamka, ujungnya filsafat adalah pangkalnya agama.
Benang merah yang menghubungkan sains, filsafat dan agama tersebut semestinya membantu kita memaklumi fakta bahwa sebagian besar saintis pada kenyataannya tetap beriman. Pengetahuan sains yang mereka miliki menjadi langkah-langkah kecil menuju hikmah. Justru karena mereka saintis, maka mereka tidak ‘mendewa-dewakan’ sains, dan tidak menjadi liberal dalam memahami agama.
Banyak saintis yang akan bersemangat menjelaskan kepada Anda bagaimana mereka menekuni bidang ilmunya untuk meneliti kehidupan flora dan fauna, mineral, pergerakan bintang dan sebagainya. Tapi rasanya kecil sekali kemungkinannya Anda akan menemukan saintis yang mengatakan bahwa ia mempelajari Tuhan dengan bekal sains. Mereka yang tidak teliti akan mudah saja menuduh bahwa para saintis ini telah bersikap kritis. Akan tetapi jika dipikir lagi, sebagai saintis, bukankah bersikap kritis adalah pekerjaan mereka sehari-hari? Bagaimana mungkin mereka menjadi saintis jika tidak mampu bersikap kritis?
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, biasanya saintis itu memandang alam semesta dengan semacam ‘kerendahan hati’. Seorang astronom meneliti Bulan bukan karena tidak ingin mempelajari Pluto, melainkan karena meneliti Pluto akan jauh lebih sulit ketimbang Bulan. Untuk mempelajari Bulan pun kita masih menghadapi banyak keterbatasan, misalnya, karena Bulan bukanlah tempat yang bisa kita singgahi kapan saja, berbeda dengan Kebun Raya Bogor atau Kutub Utara sekalipun.
Bagaimana dengan ‘meneliti’ Tuhan? Well, para saintis pastilah merupakan golongan manusia yang paling banyak meneliti fenomena-fenomena alam, dan karenanya, tidak terlalu sulit bagi mereka untuk menyadari bahwa segala sesuatu ini diciptakan oleh Dzat yang memiliki kecerdasan. Nah, kalau disuruh memahami kecerdasan Sang Pencipta, para saintis pasti akan memilih untuk bersikap realistis saja. Kalau alam semesta ciptaan-Nya saja masih begitu banyak menyimpan misteri, bagaimana dengan Dia yang telah menciptakan segala sesuatunya itu? Hanya karena Anda tidak mampu memahami cara Allah SWT melakukan sesuatu, bukan berarti Allah SWT tak mungkin mampu melakukannya. Ketidakmampuan manusia untuk memahami bukanlah hal baru bagi para saintis, sebab mereka justru menghadapi kenyataan itu setiap harinya. Kalau ada mahasiswa angkuh yang tak pernah menjejakkan kakinya di laboratorium sains namun justru bersikukuh menyatakan bahwa sains telah mampu menjelaskan segala sesuatunya, maka kesombongan semacam itupun sama sekali tidak baru.
Janganlah heran pula jika peristiwa yang teramat ajaib seperti Isra’ Mi’raj justru dianggap konyol oleh mereka yang tidak mendalami sains. Para saintis, sebaliknya, justru bersikap biasa-biasa saja. Jika ada yang mengatakan bahwa perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dalam semalam itu tidak masuk akal, maka Anda akan terkejut jika mengetahui ada berapa banyak ilmuwan yang saat ini tengah melakukan penelitian untuk mewujudkan sesuatu yang dapat memungkinkan hal itu terjadi, contohnya teleportasi. Bukankah digelarnya penelitian — atau bahkan sekedar olah imajinasi seperti di film Star Trek — tentang teleportasi itu menunjukkan bahwa perpindahan jarak dalam waktu sekejap itu sesungguhnya masih dapat diterima akal sebagai — minimal — sebuah kemungkinan?
Sepanjang sejarah manusia, telah terjadi sekian banyak pandemi yang disebabkan oleh bakteri dan virus. Jika teori tentang bakteri dan virus itu diungkapkan kepada generasi manusia pertama yang mengalami pandemi, bisa jadi mereka tertawa terbahak-bahak, atau malah marah karena merasa dipermainkan.
Perkembangan adalah kodratnya sains. Pengetahuan manusia tidak sampai ke ‘garis finish’ dalam sekali percobaan. Setelah menemukan suatu jawaban, sampailah manusia pada persoalan berikutnya. Begitulah yang terus terjadi. Sampai detik ini, ada tidak terhitung banyaknya tema penelitian yang valid untuk skripsi, tesis dan disertasi. Ada begitu banyak hal yang masih perlu diselidiki. Jika seorang saintis belum menemukan jawaban dari suatu permasalahan, ia takkan buru-buru menyimpulkan bahwa jawaban itu tak mungkin ditemukan.
Karena Islam liberal umumnya menyebarluas di kalangan para mahasiswa yang tidak punya latar belakang sains, tidak terlalu mengherankan kiranya jika di sana-sini kita temukan di antara mereka orang-orang yang ‘frustasi’ lantaran para saintis tidak mengikuti cara berpikir mereka. Tapi, tentu saja, kebanyakan saintis tidak akan serta-merta memilih untuk menggadaikan keimanan mereka hanya karena ada satu-dua persoalan yang belum mampu mereka jawab.
Kalau mau menggali sejarah barang sedikit, pasti akan bertemu dengan kenyataan bahwa peradaban Islam pernah memiliki dua ibukota sains dunia pada masa yang hampir bersamaan, yaitu di Baghdad dan Qurthubah (Cordoba). Pada masanya, tidak ada perkembangan sains yang lebih pesat ketimbang di kedua tempat itu. Baik di Baghdad dan Qurthubah, tak ada yang merasa perlu menggadaikan agamanya untuk menjadi saintis yang lebih baik, demikian pula tak ada yang merasa perlu meninggalkan sains untuk menjadi Muslim yang lebih baik. Setelah peradaban Al-Andalus runtuh, Eropa mewarisi berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditinggalkannya. Hanya saja, agama yang mereka anut tidak kompatibel dengan sains. Maka lahirlah sekularisme.
Hegemoni sekularisme yang kita jumpai di dunia kita saat ini tidak mesti membuat kita lupa bahwa sebenarnya ada jalan lain yang lebih baik.
Wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
No Comments