20 Jan Krisis Lelaki
Dalam sejumlah perbincangan terpisah saya bersama dua orang pakar dalam masalah keluarga, yaitu ust. Bendri Jaisyurrahman dan Bu Elly Risman, terselip sebuah pesan penting yang persis sama, yaitu bahwa negeri ini tengah mengalami ‘krisis ayah’. Sederhananya, krisis ini dapat dimaknai sebagai kurangnya peran ayah di banyak keluarga di negeri ini, sehingga menimbulkan sejumlah konsekuensi serius pada pendidikan anak. Tapi untuk sekali ini, ijinkanlah saya memberi penekanan lebih dengan menggunakan istilah baru: krisis lelaki!
Pangkal permasalahannya memang pada figur ayah. Sampai sekarang, masih banyak yang menganggap bahwa peran ibu lebih dominan dalam mendidik anak. Pandangan ini sekarang mulai banyak dibantah. Menurut saya pribadi, peran ibu mungkin lebih banyak secara kuantitatif, sebab umumnya ibu menghabiskan waktu lebih lama dengan anak-anaknya, sedangkan ayah memiliki tanggung jawab lebih untuk mencari nafkah. Meski demikian, bukan berarti secara keseluruhan peranan ayah menjadi kurang, sebab ia memiliki tanggung jawab yang besar dalam menanamkan nilai-nilai fundamental dalam keluarga. Sebagai kepala keluarga, umumnya anak memandang ayahnya sebagai ‘penegak aturan’ di keluarga. Dengan sendirinya, sosok ayahlah yang dipandang sebagai teladan bagi anak-anaknya. Jika ayahnya sudah tidak lagi dihormati, runtuhlah sudah wibawa institusi keluarga.
Jika di atas disebutkan peranannya sebagai ‘penegak aturan’, jangan disalahpahami seolah-olah tugas seorang ayah hanya sekedar mengevaluasi anak atau memelototi dan memarahinya jika ia melakukan pelanggaran. Lebih dari itu, sosok seorang ayah (semestinya) menunjukkan visi dan misi rumah tangga yang hendak diwujudkan – salah satu dan terutama – melalui pribadi anak-anak yang dilahirkan dari keluarga itu.
Sudah barang tentu anak perempuan sangat membutuhkan kehadiran ayahnya. Akan tetapi, yang ingin saya tekankan di sini adalah kehadiran ayah untuk anak-anak lelakinya. Bagi anak laki-laki, sosok ayah menjadi sangat penting karena suatu alasan yang sangat sederhana, yaitu: karena sang ayah adalah laki-laki. Ketika sang anak mulai mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai seorang lelaki, maka siapa yang lebih tepat untuk tugas mengajarinya hidup sebagai laki-laki, kalau bukan ayahnya sendiri?
Saya pun berusaha mengingat-ingat kebersamaan saya dengan almarhum Papa dahulu. Masa-masa itu terasa begitu dekat, meski sebenarnya sudah lebih dari separuh hidup saya jalani tanpa kehadiran beliau. Meski beliau hanya hadir dalam empat belas tahun pertama hidup saya, namun sosoknya tertancap begitu kuat, seolah baru berlalu beberapa hari saja.
Saya ingat betul betapa beliau tidak suka bila anak-anaknya (tiga anak lelaki!) bermain di dalam rumah seharian. Di antara tiga bersaudara, sayalah yang punya hobi menggambar. Karena itu, saya suka berlama-lama dengan kertas dan sibuk dengan imajinasi. Hobi ini tidak pernah dilarang, hanya saja Papa menganggap anak laki-laki tidak boleh tidak haruslah bermain dengan fisiknya. Sementara kakak-kakak saya menikmati bermain layang-layang di atas atap rumah, saya lebih suka naik sepeda dan memanjat pohon. Dua kebiasaan yang membuat kedua kaki saya penuh dengan bekas luka. Tentu saja, masa kecil saya penuh dengan kebahagiaan.
Di akhir pekan, yaitu di hari Ahad, cukup sering Papa mengajak kami jalan-jalan. Waktu itu, komplek kami masih terhitung di ‘perbatasan kota’. Artinya, komplek kami berbatasan dengan wilayah pedesaan yang didominasi jalan setapak, aliran sungai, sawah, ladang, dan kadang-kadang bertemu kambing dan kerbau milik petani. Sekarang, jalur petualangan kami sudah menjelma komplek mewah yang bernama Bogor Lakeside. Di suatu titik di tempat yang kini menjadi perumahan itu dulunya adalah bukit yang ditanami oleh berbagai tanaman, terutama singkong, dan di puncaknya ada sebuah warung kecil tempat kami biasa berhenti sejenak untuk makan pisang goreng dan memandangi sungai di bawahnya. Jika kami beruntung, kami bisa menonton petani memandikan kerbau-kerbaunya di sana. Ah, saya ingat sebuah jembatan kayu, tidak jauh dari sana, yang hanya disusun dari tiga atau empat batang pohon bambu. Kami pernah tertawa terbahak-bahak ketika salah seorang kakak saya terpeleset di jembatan itu. Setelah melewati jembatan, kami memasuki perkampungan dan entah bagaimana pada akhirnya sampai juga ke daerah desa Tegallega atau Cimahpar. Saya katakan “entah bagaimana”, karena sesungguhnya perjalanan kami ini punya satu keunikan, yaitu tidak pernah menempuh jalan yang persis sama. Adakalanya kami banyak melewati perkampungan, adakalanya perjalanan didominasi daerah persawahan.
“Nikmati aja perjalanan. Kalau nyasar ya balik arah, atau tanya jalan ke orang-orang di kampung,” begitu kata Papa saya dahulu. Saya tidak tahu apakah di jaman sekarang masih banyak ayah yang menikmati jalan-jalan santai ke daerah pedesaan bersama anak-anaknya tanpa rute yang pasti. Barangkali, perasaan tidak aman sudah terlalu merebak di negeri ini, sehingga setiap perjalanan harus serba pasti. Yang benar-benar pasti adalah bahwa masa kecil saya penuh dengan kebahagiaan.
Almarhum Papa-lah yang mengajari saya untuk memahami bagaimana caranya menjadi seorang lelaki. Sebagai anak nakal yang lumayan hiperaktif, masa-masa SD saya (terutama kelas 1-3) penuh dengan pengalaman berkelahi. Saya adalah ‘anak aneh’ yang selalu dapat ranking tapi lumayan sering juga dipanggil ke ruang Kepala Sekolah karena nakalnya. Kalau ketahuan berkelahi, sudah pasti Mama akan memarahi, tapi Papa selalu memastikan bahwa penyebab perkelahiannya bukanlah saya. Agaknya, dengan cara itulah Papa mengajari saya bahwa lelaki adakalanya harus siap berkelahi, tapi hanya tukang onar yang tak berguna sajalah yang suka memulai perkelahian.
Papa juga memiliki sedikit bakat menggambar, dan beliau suka mengamati gambar-gambar saya. Sejak TK, saya sering meniru gambar-gambar kartun, robot, atau apa saja yang menarik perhatian. Sampai suatu saat, mungkin di kelas dua atau tiga SD, beliau berpesan agar saya berhenti meniru. “Coba hasilkan karya sendiri, jangan meniru-niru lagi. Kalau kerja kita bagus, orang lainlah yang akan meniru kita,” kurang lebih begitu pesan beliau pada suatu senja. Sejak saat itu, saya benci meniru, bahkan ada ketidaksukaan melakukan hal-hal yang banyak dilakukan orang, semata-mata karena banyak yang melakukannya. Oleh karena itu, saya tidak pernah mengikuti tren. Karena banyak yang main layangan, saya tidak pernah tertarik main layangan. Ketika saya sadar hampir semua anak laki-laki bermain bola, saya pun mulai bermain basket, meski waktu itu tubuh saya terlalu pendek dan baru bertambah tinggi secara signifikan ketika SMP. Ketika banyak orang memilih elang dan harimau sebagai lambang kelompoknya di Pramuka dulu, saya memilih serigala! Dan saat EBTA Praktek (masih ada yang ingat?) saya memilih lagu daerah yang tak dipilih oleh seorang pun di sekolah saya waktu itu, yaitu “Apuse”. Oh ya, saya juga tidak pernah merokok barang sekali hisap pun, karena semua orang belajar merokok hanya karena ikut-ikutan, ya ‘kan?
Sesungguhnya, almarhum Papa bukan orang yang pandai bicara. Beliau tidak pernah banyak bicara. Mungkin karena itu pula saya bisa mengingat pesan-pesannya; jumlahnya sedikit, mudah diingat dan terus teringat. Di balik segala kekurangannya (dan semua orang memiliki kekurangan), beliau adalah ayah yang memberikan rasa aman yang luar biasa kepada seluruh keluarganya. Saya teringat perjalanan-perjalanan panjang kami sekeluarga dengan mengendarai mobil ke Yogyakarta, Bali dan Sumatera. Masih teringat jelas bagaimana kami bergantian duduk di depan untuk menemani beliau ketika harus menyupir tanpa henti semalaman. Tentu saja, setelah beberapa lama, siapa pun yang bertugas menemani pada akhirnya menyerah juga pada kantuk. Kemudian beliau akan mengusap kepala kami dan menyuruh kami untuk tidur saja. Seluruh perjalanan itu kami percayakan kepadanya.
Kalau ada yang menyangka Papa saya ini orangnya galak, maka asumsinya sangat jauh dari yang sebenarnya. Meskipun memiliki wajah ‘keras’ (dan ini membuat sebagian teman saya yang pernah berjumpa dengan beliau merasa agak takut), tapi nyatanya beliau justru paling senang bercanda. Kalau marah, beliau hanya diam, dan diamnya itu sudah cukup untuk membuat kami duduk diam dengan mulut terkunci. Main tangan? Subhaanallaah, tidak pernah sekalipun!
Setiap pengalaman itu pada akhirnya membantu saya memahami artinya menjadi laki-laki. Seorang lelaki harus siap untuk kondisi apa pun. Jika saatnya tiba, ia haruslah bisa diandalkan. Rasa lelah, takut, sedih, semua itu manusiawi, dan menangis pun tidak dilarang. Hanya saja, lelaki tidak boleh tunduk pada kelemahannya di saat-saat genting. Seorang lelaki adalah tulang punggung bagi keluarganya. Ketika bahaya mengintai, maka para lelakilah yang wajib pasang badan. Kekuatannya untuk membela, bukan menindas. Saya bersyukur telah mendapatkan semua pelajaran ini dalam empat belas tahun pertama hidup saya.
Sekarang, marak beredar sebuah video yang merekam pengeroyokan seorang anak perempuan (!) sekolah dasar yang dihajar bertubi-tubi, baik oleh sesama anak perempuan, juga oleh beberapa anak lelaki (!!!). Lemahnya pengawasan guru dan orang tua, minimnya nilai-nilai agama, pengaruh tontonan yang tidak baik, sudah barang tentu menjadi ‘tersangka’. Akan tetapi, saya tidak ingin kita melupakan adanya suatu krisis yang juga menjadi faktor pemicu kasus menyedihkan ini, yaitu krisis lelaki.
Duhai para Ayah, ijinkanlah saya bertanya: apakah engkau lalai menjelaskan kepada anak-anak lelakimu bahwa memulai perkelahian itu tidak baik? Apakah engkau lupa betapa berbahayanya dunia ini jika setiap lelaki memanfaatkan tenaga besarnya untuk kekerasan? Apakah engkau tidak tahu bahwa perkelahian itu selalu ada dalam dunia anak lelaki, dan mereka butuh bimbingan untuk memahami realita ini dengan benar?
Duhai para Ayah, ijinkanlah saya bertanya: apakah engkau lalai mengingatkan kepada anak-anak lelakimu bahwa pengeroyokan adalah tindakan pengecut, dan kepengecutan adalah najis bagi lelaki!? Apakah engkau hendak mengaku lalai pula mengajarkan kepada mereka bahwa kaum lelaki adalah pelindung perempuan, dan bukannya penindas mereka? Apakah engkau lupa mengajari mereka untuk menghormati ibu mereka, dan menghormati semua ibu dan calon ibu di dunia ini?
Duhai para Ayah, ijinkanlah saya bertanya: apakah engkau telah demikian lalai sehingga anak-anak lelakimu menjadi pengecut yang ikut-ikutan memukuli anak perempuan, atau turut menikmati tontonan keji itu sampai habis, atau tak punya sedikitpun keberanian untuk membela temannya yang membutuhkan bantuan? Duhai para Ayah, selamatkanlah anak-anak lelakimu sekarang, agar mereka tumbuh menjadi sebenar-benarnya lelaki, dan bukan hanya manusia yang berjenis kelamin lelaki! Bimbinglah mereka menjadi manusia yang mulia, bukan manusia rendah yang hidup hanya untuk diri sendiri dan esok mati tanpa meninggalkan nama untuk dikenang!
Ya Allah, selamatkanlah anak-anak bangsa ini, dan berilah kami petunjuk untuk keluar dari krisis lelaki ini. Aamiin, aamiin, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin, yaa Arhamar-Raahimiin…
wassalaamu’alaikum wr. wb.
Artikel ini pernah dimuat di sini.
Fitri
Posted at 17:54h, 20 JanuarySosok seorang ayah sangat diperlukan oleh anak laki2 ataupun perempuan.
Mungkin bagi anak laki2 ayah adalah cerminan awal bagaimana seharusnya mereka bersikap.
Bagi anak perempuan, sosok ayah bs menjadi teladan dan dasar dalam penentuan pasangan dan juga modal agar jiwanya kuat serta tak mudah tergoda oleh laki2 yg tdk baik di luar sana (ini pengalaman bukan sekedar teori).
Terima kasih ya Allah u/ sosok pertama dan luar biasa yg engkau kenalkan yaitu seorang ayah.
Terima kasih pula u/ laki2ku @adityanurhardiman yg kelak akan menjadi ayah dr anak2ku.