28 Nov Menang Atau Kalah?
Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Tulisan ini terinspirasi oleh salah satu postingan Ust. Hepi Andi Bastoni melalui akun Instagram-nya. Meski diberi judul “KALAH”, beliau memulai uraiannya dengan menyatakan bahwa hasil akhir Perang Uhud sebenarnya masih diperselisihkan. Jika ditinjau dari jumlah korban, maka Kaum Muslimin mengalami kehilangan yang jauh lebih besar ketimbang musuh, yakni 70 berbanding 20 jiwa. Akan tetapi, jika mempertimbangkan tujuan asli Kaum Musyrikin, yakni menghabisi Rasulullah saw dan menghancurkan basis dakwah beliau di Madinah, maka hal itu pun sesungguhnya tidak berhasil mereka capai.
Kerugian yang dirasakan oleh Kaum Muslimin di Perang Uhud sangat sulit untuk dikuantifikasi. Di antara 70 syuhada itu, dua di antaranya adalah Hamzah ra dan Mush’ab bin ‘Umair ra; yang pertama adalah orang paling perkasa di antara para sahabat, sedangkan yang kedua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengislamkan Madinah. Selepas Perang Uhud, Rasulullah saw mengalami momen yang sangat menyakitkan ketika menyaksikan jenazah keduanya.
Sebagai pembelajar Sirah Nabawiyah, saya memandang Perang Uhud sebagai sebuah episode yang sangat unik. Ada masa-masanya ketika saya ‘menghindari’ pembahasan tentang episode ini sebisanya, karena akhir ceritanya sangat tidak mengenakkan. Tapi belakangan, setelah saya mempelajari Ilmu Sejarah dan menyelami filsafatnya, saya mampu melihatnya dari perspektif lain, bahkan kemudian menemukan hikmah yang begitu mendalam di baliknya.
Para penulis Sirah Nabawiyah menaruh Perang Uhud dalam sebuah bab khusus, karena memang ia adalah sebuah peristiwa besar. Akan tetapi, pada kenyataannya, hidup tidak berpindah dari bab ke bab, di mana seorang pembaca bisa memilih untuk berhenti membaca pada satu bab tertentu kemudian melanjutkan bab berikutnya di keesokan hari. Realitanya, waktu terus berjalan tanpa pernah menunggu siapapun. Mereka yang mengalami Perang Uhud tidak memiliki kemewahan untuk berhenti sejenak; para pembacalah yang memilikinya! Rasulullah saw dan para sahabatnya terus menjalani detik demi detik kehidupannya, meski rasa sedih kehilangan dan rasa perih akibat luka di Uhud masih mendera.
Sejak awal, sejarah adalah ilmu ‘untuk memberikan penjelasan’. Orang memperhatikan sejarah karena mereka ingin mengerti. Produk akhirnya adalah sebuah narasi, bukan sebuah rekonstruksi. Masa lalu — sesuai namanya — telah berlalu dan takkan kembali lagi. Louis Gottschalk dalam bukunya, Understanding History, memperingatkan bahwa meski semua sejarawan pasti berupaya untuk menggambarkan masa lampau seutuhnya, namun pada hakikatnya ia tak mungkin melakukan hal tersebut. Pasalnya, apa yang ada di tangan seorang sejarawan hanyalah kepingan-kepingan masa lampau, bukan keseluruhannya. Dari keseluruhan masa lampau, hanya sebagian yang teramati manusia. Dari yang teramati itu, hanya sebagian yang tercatat. Dari sebagian yang tercatat itu, hanya sebagian yang catatannya sampai kepada kita. Dan dari sebagian kecil yang catatannya masih kita miliki itu, baru sebagian saja yang telah diteliti oleh para sejarawan.
Karena setiap peristiwa itu begitu kompleksnya, sedang waktu tidak pernah berhenti barang sesaat, maka para sejarawan tidak memiliki pilihan kecuali untuk ‘mengisolasi’ peristiwa-peristiwa dalam sejarah, sehingga peristiwa besar seperti Perang Uhud mesti diletakkan dalam satu bab tersendiri, terpisah dari yang lainnya. Sejarawan menyadari bahwa isolasi semacam itu dilakukan untuk kepentingan analisis belaka. Manakala seorang sejarawan membahas tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, misalnya, ia takkan memulai dan mengakhiri narasinya dari 17 Agustus 1945, meskipun proklamasi memang terjadi di tanggal itu. Ada sejumlah peristiwa sebelumnya yang mempengaruhi proklamasi, dan ada pula sejumlah peristiwa sesudahnya yang merupakan akibat atau mendapatkan pengaruh dari proklamasi.
Dalam pembahasan seputar Perang Uhud, kita pun perlu menyadari bahwa membatasi penelaahan pada peristiwa perangnya — biasanya berhenti di titik ketika Rasulullah saw kembali ke Madinah — adalah murni karena keterbatasan akal manusia belaka. Pada kenyataannya, waktu tidak berhenti di Uhud. Jika kini kita mendiskusikan siapa yang kalah dan menang dalam sebuah perang, maka mereka yang terlibat di dalamnya mungkin tidak punya waktu untuk melakukan hal tersebut. Life goes on. Kalau memang kalah, lantas bagaimana? Apakah seseorang harus mencampakkan semua cita-citanya karena sebuah kekalahan?
Belum selesai memulihkan luka-luka, di pagi hari selepas Perang Uhud, Rasulullah saw telah memerintahkan para sahabat yang ikut bersamanya ke Uhud kemarin untuk kembali mempersiapkan kendaraan dan persenjataannya. Para sahabat hanya sebentar saja tertegun, sebelum kemudian menjawab panggilan Rasulullah saw. Pasukan Kaum Muslimin — yang sebagiannya dalam keadaan luka-luka — mengejar musuh yang sedang dalam perjalanan kembali ke Mekkah. Singkat cerita, setelah berhasil menjalin komunikasi dengan Abu Sufyan yang saat itu memimpin pasukan Kaum Musyrikin, disepakatilah suatu tempat bernama Hamra al-Asad sebagai tempat pertempuran berikutnya. Rasulullah saw menanti musuh di tempat itu, sedangkan Kaum Musyrikin melanggar janji dan justru meneruskan perjalanannya kembali ke Mekkah. Rasulullah saw terus menunggu di Hamra al-Asad hingga tiga hari sebelum akhirnya kembali ke Madinah.
Episode Hamra al-Asad — meski detil ceritanya tak banyak — tidak kalah menarik, sebab ia menunjukkan kondisi kedua belah pihak sesudah Perang Uhud. Kaum Musyrikin, meski berhasil membunuh banyak lawan, ternyata tidak siap untuk bertempur kembali sehari sesudahnya. Ini dapat dipahami jika kita membaca secara mendetil kisah Perang Uhud, di mana Kaum Muslimin nyaris menang mutlak sebelum pasukan pemanah meninggalkan posnya di Jabal Rumat. Sebelum perang berbalik arah, mereka pun sudah babak belur. Itulah sebabnya mereka tidak meneruskan penyerangan ke Madinah ketika Rasulullah saw dan para sahabat mengambil posisi berlindung di Jabal Uhud. Kaum Musyrikin, yang semangat perangnya hanya dibakar oleh keinginan balas dendam dari kekalahan di Lembah Badar, sudah kehilangan motivasi untuk melanjutkan perang. Sebaliknya, Kaum Muslimin, yang menderita banyak kehilangan di Uhud, ternyata berhasil mengubah kesedihannya menjadi semangat untuk membayar lunas kekalahan sebelumnya, di samping juga semangat untuk mendapatkan surga dan kesyahidan.
Dengan menyertakan pembahasan tentang Hamra al-Asad, pahamlah kita bahwa kisah di seputar Perang Uhud bukan hanya tentang kekalahan, melainkan juga bagaimana untuk bangkit darinya. Syahidnya Hamzah ra tidak membuat para sahabat menggigil ketakutan, sebagaimana syahidnya Mush’ab ra juga tidak membuat dakwah mengalami kemandekan. Life goes on, demikian juga perjuangan!
Pada akhirnya, pembahasan ini tidak untuk menggugat penempatan Perang Uhud dalam sebuah bab terpisah, karena memang hal itu lazim dilakukan secara sadar oleh para sejarawan. Hanya saja, mereka yang awam dengan filsafat ilmu sejarah pun perlu menyadari bahwa ada kontinuitas di antara satu peristiwa dengan peristiwa berikutnya, termasuk juga Perang Uhud dengan Perang Hamra al-Asad dan seterusnya.
Kita boleh berdebat tentang menang-kalahnya Kaum Muslimin di Perang Uhud, hanya saja perlu diingat bahwa yang tidak kalah pentingnya dari suatu peristiwa besar adalah bagaimana follow up kita selanjutnya. Jika seseorang mengalami kemenangan tapi kemudian jiwanya dilanda kesombongan, maka ia sesungguhnya telah kalah. Sebaliknya, jika seseorang ditaqdirkan mengalami kekalahan, namun ia mampu bangkit dengan mengambil pelajaran dari kekalahan itu, maka ia sesungguhnya telah menang. Demikian seterusnya kehidupan manusia hingga akhirnya ia menemukan ajalnya, dan di titik itulah baru seseorang menerima predikat abadinya, baik sebagai pemenang atau sebagai pecundang.
Wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Rini kumari
Posted at 08:59h, 29 NovemberMasyaa Allah, terima kasih pencerahannya ustadz,. Kang Akmal ini memang jago membuka wawasan orang dengan tulisan2 nya yg enak utk di baca, barokallah kang
malakmalakmal
Posted at 10:22h, 29 NovemberMaasyaa Allaah, tabaarakallaah…