06 May Mengejek Palestina di Tanah Suci: Sebuah Surat Terbuka untuk Zita Anjani
Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Sebenarnya permohonan maaf sudah disampaikan, meski sangat tidak memuaskan, sebagaimana yang telah dibahas oleh banyak pihak. Saya pun belakangan disibukkan dengan begitu banyak agenda, sehingga tadinya tidak ingin mengangkat perkara ini lagi. Yang memicu ditulisnya surat terbuka ini adalah kenyataan bahwa postingan Zita Anjani yang bermasalah ternyata masih terpampang dengan angkuhnya di akun Instagram beliau.
Tanpa harus merujuk pada pandangan para ulama, salah satu langkah penting dalam pertaubatan adalah memperbaiki sedapat mungkin kerusakan yang telah terjadi dan menggantinya dengan kebaikan. Normalnya, seseorang takkan merasa nyaman jika kesalahannya diketahui orang. Jika logikanya dibalik, maka kita pantas curiga bahwa Zita tidak benar-benar merasa postingannya itu salah, dan karenanya, dibiarkan saja di tempat semula.
Foto yang dijadikan postingan itu menunjukkan sebuah tangan (tentu kebanyakan orang berasumsi bahwa tangan itu milik Zita sendiri) yang memegang segelas minuman bermerek Starbucks. Foto diambil dari sebuah balkon di salah satu gedung tinggi di sekitar Masjidil Haram; kalau boleh saya menebak, di sisi sebelah Selatan, di salah satu gedung yang terkoneksi dengan Zamzam Tower? Postingan ini ditemani dengan sebaris caption sederhana berbunyi “Lagi makan malam ehh ada yang kasih kopi, menurut kalian gimana guys?”, lengkap dengan dua buah tagar, yaitu #starbucks dan #mecca.
Bagi yang hendak mereduksi kasus ini menjadi sekedar ‘ngopi di Tanah Suci’, maka telah terbantahkan dengan tagar pertama di atas. Ini bukan sekadar tentang ngopi, melainkan memang tentang kopi Starbucks.
Ada apa dengan Starbucks? Well, bagi umat Muslim di Tanah Air yang peduli dengan penderitaan rakyat Gaza sejak Oktober 2023 silam, merk yang satu ini memang kerap digolongkan sebagai bisnis yang berhubungan dengan jaringan pendukung zionisme. Karena itu, Starbucks selalu menjadi salah satu target serangan gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS). Akun Instagram gerakan BDS Indonesia menempatkan Starbucks dalam daftar produk yang perlu diboikot, meski bukan dalam kategori yang terparah.
Foto yang diposting oleh Zita tentu nampak kontras, bahkan janggal, di tengah gegap-gempitanya dukungan dunia terhadap kemerdekaan Palestina. Bagaimana mungkin seorang warga Indonesia — negeri yang pernah merasakan pahitnya penjajahan dalam waktu yang begitu lama sebelum akhirnya berhasil merebut kemerdekaannya — bersikap begitu tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat Palestina yang terus mengalami penjajahan dan pembersihan etnis sejak 1948 silam? Sebagian cendekiawan telah menyoroti sebuah kondisi istimewa yang dihadapi kaum zionis yang menyebabkan tekanan internasional kepada mereka kali ini begitu tinggi, yaitu pesatnya kemajuan teknologi informasi. Dengan begitu banyaknya video dan gambar pelanggaran HAM besar-besaran di Gaza yang beredar di dunia maya sekarang ini, apakah Zita masih bisa menampik adanya kezaliman yang begitu dahsyat di sana?
Zita bisa menikmati segelas kopi Starbucks kapan saja dan di mana saja, namun ia memilih lokasi di sekitar Masjidil Haram untuk melakukannya, dan memajangnya di media sosial sehingga 750.000 pengikutnya (angka ketika tulisan ini dibuat) dapat melihat. Disandingkannya pula tagar #starbucks dan #mecca, sehingga jelas bagi kita semua bahwa kedua hal itulah yang menjadi titik tekan dari postingan tersebut. Demikianlah makna dari foto itu cukup sederhana dan tak butuh pendidikan tinggi untuk memahaminya. Menyandingkan Starbucks dengan Tanah Suci Mekkah al-Mukarromah, bagi kaum Muslimin yang sedang teguh melakukan pemboikotan demi menghentikan kezaliman di Palestina, tentu saja bagaikan menetesi luka menganga dengan larutan cuka.
Jika ini semua hanyalah kebetulan yang amat disayangkan, maka postingan berikutnya semestinya adalah klarifikasi dan permintaan maaf. Apa dinyana, yang dijumpai umat justru serangan balik. Zita balik menyemprot netizen yang mengkritiknya dengan berbagai komentar yang akan saya uraikan kekeliruannya satu-persatu di bawah ini. Zita mengawalinya dengan kalimat berikut:
Sibuk huru-hara cuma karena satu brand, padahal masih banyak yang harus diperhatiin kalo emang mau full support.
Melalui kalimat di atas, Zita seolah hendak mem-framing bahwa para pengkritiknya hanya meributkan satu merk saja. Padahal, foto yang dipersoalkan itu memang hanya memperlihatkan satu merk yang dianggap bermasalah saja. Memang sudah sewajarnya orang membicarakan kehadiran Starbucks dalam foto itu, karena memang hanya merk itu yang terlihat. Kalau sekiranya Zita sedang mengenakan sepatu merk Puma atau mengoperasikan printer bermerk Hewlett-Packard (keduanya juga merupakan target BDS) ketika foto itu diambil, maka tentu netizen tidak mengetahuinya. Keributan yang tertuju pada satu merk bukanlah kesalahan netizen, dan sama sekali tidak mengimplikasikan bahwa mereka hanya mempedulikan satu merk itu saja.
Zita melanjutkan komentarnya sebagai berikut:
Coba cek di rumah, masih ada gak barang-barang yang harusnya kalian teriakkan “boikot” juga? Padahal dalam Islam sendiri sudah jelas, mana yang haram dan halal dikonsumsi.
Zita kembali menyerang netizen yang — menurut prasangkanya, barangkali — masih menggunakan banyak merk yang semestinya juga diboikot. Sebaliknya, kita pun dapat mengkritisi logika Zita yang (seolah) mengakui bahwa pemboikotan harus dilakukan namun mengkritisi sikap netizen yang hanya fokus pada satu merk saja. Kalaupun benar netizen hanya mempedulikan satu merk, maka itu masih lebih baik ketimbang Zita yang terang-terangan mengabaikan pemboikotan tersebut. Bahkan menurut ajaran agama kita masih bisa menghargai orang yang diam-diam melakukan perbuatan maksiat namun menyesali dan menyembunyikannya, ketimbang orang yang terang-terangan dan tidak merasa malu karenanya.
Penyebutan soal perkara haram dan halal menunjukkan bahwa Zita memang tidak menguasai persoalan. Haram dan halalnya sebuah produk makanan untuk dikonsumsi biasanya hanya berhubungan dengan zat, dan bukan yang selainnya. Seekor ayam bisa saja disembelih sesuai syari’at, sehingga zatnya halal, namun restoran yang menyajikan hidangan yang dibuat dari ayam tersebut memberikan sebagian keuntungan yang diperolehnya kepada penjajah, dan karenanya, restoran itu layak diboikot.
Di paragraf selanjutnya, Zita masih terus melancarkan serangan:
Sadar gak sih kalo masih banyak barang-barang di sekitar kita itu dari brand-brand yang masih support Israel? Bahkan barang-barang yang sering banget kita pake seperti handphone, sabun, pakaian, atau sosmed yang kalian sering gunakan setiap hari itu sebenernya support pihak mana? Jadi jangan nanggung kalo mau support Palestina.
Paragraf ini kembali menunjukkan bahwa Zita memang tidak memahami gerakan pemboikotan yang sedang dikomentarinya. Ya, akui saja bahwa saat ini Barat (yang mendukung kaum zionis) sedang berada di atas angin. Produk-produknya membanjiri pasar, mewarnai kehidupan di seluruh dunia, termasuk di negeri kita. Dunia Islam sendiri tengah berjibaku dengan keterpurukan dan menghadapi banyak masalah, sehingga sejauh ini belum bisa menandingi kekuatan raksasa ekonomi Barat. Konsekuensinya, tidak semua produk yang berafiliasi dengan Barat dapat kita boikot. Dalam salah satu postingannya, akun Instagram BDS Indonesia telah menjelaskan bahwa pemboikotan dilakukan secara selektif demi efektivitas (slide ke-4).
Dengan menulis paragraf di atas, Zita justru memperlihatkan sikapnya yang tengah mengolok-olok umat yang membela Palestina. Sebab, dengan mengatakan bahwa ada begitu banyak produk pro-zionis yang masih kita gunakan, sementara pada saat yang bersamaan ia sendiri masih mengkonsumsinya, maka itu sama saja dengan mengatakan bahwa pemboikotan hanyalah utopia, alias mimpi di siang bolong, sebab semua pelakunya inkonsisten. Kalimat Zita “…jangan nanggung kalau mau support Palestina” justru dapat dimaknai sebagai penolakannya untuk mendukung Palestina, sebab pada kenyataannya ia juga nanggung dalam mendukung pemboikotan (itupun kalau memang mendukung). Nampaknya pikiran Zita begitu disesakkan dengan keinginan untuk membalas omongan netizen, sehingga ia lupa bahwa dirinyalah yang sedang dikritisi karena tidak sensitif terhadap pemboikotan.
Selesai? Belum. Zita menulis lagi:
Sekalian aja tuh ganti semua brand yang biasa kalian pake, jadi pake produk lokal semua, gimana? Buat perubahan lewat jalur ekonomi, bukan sekadar komentar penuh emosi.
Pada titik ini, jelas terlihat bahwa semua masalah akan beres kalau saja Zita mampu bercermin. Jika ia ingin mengatakan bahwa orang harus berjuang lewat jalur ekonomi, maka sebenarnya kata-kata itu lebih tepat untuk diarahkan kepada dirinya sendiri. Sebagai anak dari Ketua Partai yang jelas-jelas tak berkekurangan harta, Zita punya tanggung jawab moral lebih untuk melakukan perubahan yang disebutkannya itu. Lantas, mengapa harus beli Starbucks di Tanah Suci, dan mengapa pula harus memamerkannya di dunia maya?
Zita kemudian menutup komentarnya dengan kalimat berikut:
Nge-boikot satu brand karena ikut-ikutan gak bikin kalian semua jadi paling keren, coba dong terapin juga ke kehidupan kalian sehari-hari.
Selain kembali mengulangi tuduhannya bahwa para pengkritiknya itu hanya memboikot satu merk, kali ini Zita berbalik menuduh mereka ingin kelihatan keren dengan pemboikotannya itu. Kalau hendak mencari siapa yang hanya ingin kelihatan keren, marilah kita kembali bertanya: siapa yang memajang foto segelas kopi Starbucks dengan latar belakang Masjidil Haram? Sudah bukan rahasia lagi bahwa orang lazimnya hanya memajang di media sosial hal-hal yang dipandangnya baik dari hidupnya sendiri. Jika Anda baru kembali dari liburan ke pantai yang sangat menyenangkan, maka sangat wajar jika besok-besok memasang foto di pantai tersebut. Jika Anda bertemu dengan tokoh yang sangat Anda kagumi, maka sangatlah wajar jika memintanya berfoto bersama, kemudian memajangnya di media sosial. Maka izinkanlah saya bertanya: “Mbak Zita, apa yang sesungguhnya membuatmu merasa keren sehingga memajang foto saat menikmati segelas kopi Starbucks di dekat Masjidil Haram?”
Mahal dan mewah belum tentu mengesankan. Bagi para traveler sejati, tidak ada yang mengagumkan dari segelas kopi Starbucks, karena toh gerainya ada di mana-mana. Mereka yang seleranya lebih baik lebih suka menemukan segala hal yang unik dan khas dari daerah-daerah yang dikunjungi, apalagi yang masuk dalam kategori hidden gem. Kalau Zita ingin tahu dan sudi berjalan barang beberapa ratus meter, saya bisa menunjuki lokasi kopi susu yang harganya cuma 3 Riyal tapi selalu ramai peminat dan — menurut saya — enak banget. Kalau soal selera, bolehlah berbeda. Tapi sekali lagi, apa yang membuat Zita merasa minum kopi Starbucks itu keren?
Jika kita hendak kembali ke postingan yang pertama, maka saya ingin menambahkan pula satu keprihatinan lagi. Sebagai orang yang sangat beruntung karena telah Allah SWT berikan kesempatan beberapa kali ke Tanah Suci, saya menyaksikan bagaimana setiap Muslim yang hadir di Masjidil Haram terus-menerus terpesona dengan Ka’bah. Jika kita berkeliling di sekitar area thawaf, termasuk yang di lantai dua dan tiga, kita akan melihat bahwa di antara orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan ibadah juga ada yang untuk beberapa saat lamanya membiarkan diri mereka hanyut dalam perasaan ketika memandangi Ka’bah. Sebagian di antara mereka bukanlah orang berada seperti Zita yang bisa pergi umrah setiap tahun kalau mau. Karena itu, bagi mereka, berpuas-puas memandangi Ka’bah adalah salah satu kenikmatan yang sulit untuk digambarkan.
Mereka yang terpesona itu umumnya senang mengabadikan kehadiran dirinya di Masjidil Haram. Pose favorit bagi semua orang tentu saja adalah foto dirinya sendiri dengan latar belakang Ka’bah itu. Mereka yang mengambil foto dari jarak jauh, seperti yang Zita lakukan, umumnya juga menjadikan Ka’bah sebagai obyek utama dalam foto. Demikianlah kita dapat merasakan besarnya kecintaan orang pada Ka’bah berdasarkan foto-foto yang mereka ambil.
Sayangnya, justru Ka’bah itulah yang tidak dapat dijumpai dalam foto Zita tadi, dihalangi oleh segelas kopi Starbucks.
Semua orang hanya bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Kalau Zita sudi mengoreksi diri dan memperbaiki kesalahan, maka ia telah melakukan hal yang baik untuk dirinya sendiri.
Wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
No Comments