Menjadi Orang Awam yang Beradab
498
post-template-default,single,single-post,postid-498,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Menjadi Orang Awam yang Beradab

Menjadi Orang Awam yang Beradab

assalaamu’alaikum wr. wb.

Dalam suatu perjalanan di kereta dari Bogor menuju Jakarta, saya mendengar sebuah perbincangan yang cukup menarik. Saya rasa bukan saya saja yang mendengarkan, sebab obrolan berlangsung sangat seru dan suaranya cukup keras. Bahkan saya waktu itu sebenarnya tengah berkonsentrasi dengan Twitter, tapi akhirnya ikut menyimak juga.

Yang disebut ‘perbincangan’ ini sebenarnya nyaris sebuah monolog. Seorang lelaki paruh baya berbicara dengan kata-kata yang sangat deras, sedangkan 2-3 orang rekannya lebih banyak mendengarkan. Mereka sesekali saja berkomentar, dan selebihnya hanya tertawa (baik tertawa yang betulan atau yang sekedar sopan santun) dan mengangguk-angguk. Sedikit tambahan catatan, dalam kultur Indonesia, paling tidak di Pulau Jawa, kalau orang hanya tertawa dan tidak berkomentar, meski kepalanya mengangguk-angguk, belum tentu ia setuju.

Alkisah, bapak yang bersemangat ini sedang menjelaskan mengapa ia sangat mendukung Ahok. Oya, bapak ini jelas seorang Muslim. Uraian di bawah ini akan memperjelas hal tersebut.

Sang orator mengawali argumennya dengan sebuah dalil (dan mengulangnya berkali-kali): “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina!” Berdasarkan ‘dalil’ tersebut, ia berpandangan bahwa memang orang dari Cina itu pintar-pintar, alias sumber ilmu, dan karenanya kita diperintahkan untuk belajar ke sana. Yang lebih menariknya lagi, ternyata ia menganggap dalil ini berasal dari Al-Qur’an. Argumen kemudian disempurnakan dengan kata-kata: “Dari dulu Qur’an sudah menjelaskan, kita aja yang nggak mau percaya!”

Tentu saja, argumen ini tidak akan lengkap tanpa hal lain yang sebenarnya tipikal, yaitu kebencian terhadap Arab. Langkah berikutnya ini sudah berhasil saya tebak bahkan sebelum ia mengatakannya. Argumennya: “Lihat Nabi-nabi, semua datang di Arab. Kenapa coba? Sudah jelas, karena orang Arab itu paling rusak! Makanya kita nggak disuruh belajar ke Arab, tapi ke Cina!”

Semi-monolog ini kemudian berlanjut dengan topik yang tidak pernah bergeser jauh. Intinya, Arab salah, Cina benar, dan semuanya sudah dijelaskan oleh Al-Qur’an. Jika kita benar-benar beriman pada Al-Qur’an, maka kita seharusnya mengikuti petunjuk di dalamnya.

Meski sejak awal perbincangan ini bersumber dari sikap mendukung Ahok, tapi lupakanlah sejenak masalah Ahok ini. Saya jauh lebih tertarik mengamati betapa berapi-apinya sang bapak dalam memaparkan argumen-argumennya, meskipun nyaris tak ada kebenaran di dalam ucapannya (kecuali tentang kewajiban beriman kepada Al-Qur’an). Inilah fenomena umat kita; umat Muslim Nusantara. Ada orang yang tahu bahwa ia tahu, ada yang tak tahu bahwa ia tahu, ada yang tahu bahwa ia tak tahu, dan sedihnya, ada juga yang tak tahu bahwa ia tak tahu. Yang terakhir ini jumlahnya tidak sedikit.

Mari kita mulai dengan kesalahan yang sangat kentara jelas. Pertama, ucapan “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina” takkan ditemukan di halaman mana pun dari Al-Qur’an, karena memang ia tidak berasal dari situ. Kalimat ini memang populer dan banyak yang menganggapnya sebagai hadits Nabi saw. Hanya saja, menurut penyelidikan para ahli, dalam periwayatannya terdapat sejumlah pemalsu hadits. Dengan kata lain, sanad-nya bermasalah, dan karena itu, ia divonis sebagai hadits palsu.

Tentu tidak ada larangan untuk menuntut ilmu ke Cina, namun ketika kita menyandarkan ucapan ini kepada Rasulullah saw, muncullah sebuah konsekuensi yang serius. Sebab, jika orang lain yang mengucapkannya, maka ia hanyalah sebuah nasihat biasa yang harus dipahami sesuai konteks. Akan tetapi, jika Nabi Muhammad saw yang memerintahkannya, maka ada nilai pahala yang mengiringinya. Bagaimana pun, sekali lagi, ucapan ini bukan hadits, apalagi Al-Qur’an.

Kedua, retorika kebencian terhadap Arab pun sebenarnya sudah basi. Mengawali kitab Sirah Nabawiyah-nya, Syaikh Ramadhan al-Buthi langsung menjelaskan hikmah diutusnya Nabi Muhammad saw di wilayah yang kini merupakan bagian dari teritori Kerajaan Saudi Arabia. Selain faktor kondisi masyarakatnya, juga ada faktor geografis. Saya tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang masalah ini, karena semua orang bisa merujuk kepada buku Syaikh al-Buthi dengan mudah, di samping itu juga akan membawa kita menyimpang cukup jauh dari pokok pembicaraan di sini. Yang jelas, Syaikh al-Buthi juga menambahkan bahwa pada masa itu kejahilan terjadi di seluruh dunia, termasuk di tengah-tengah masyarakat dua negara adidaya pada masa itu, yaitu Romawi dan Persia. Penulis Sirah Nabawiyah lainnya, yaitu Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, juga memberikan penjelasan yang sama.

Pada hakikatnya, kejahilan ada di mana-mana, bahkan di sepanjang jaman. Kita pun tak semestinya menilai kejahilan dari hal-hal yang bersifat materi. Di seluruh dunia, misalnya, banyak orang berpendidikan, hidup di kota besar (bukan hutan belantara atau padang pasir), tapi toh di antara mereka ada juga yang membunuh anaknya sendiri. Apa bedanya dengan masyarakat Arab di masa lampau yang membunuh anak-anak perempuannya?

Maka, kejahilan bukanlah ciri khas bangsa Arab, melainkan juga dimiliki oleh seluruh bangsa di seluruh jaman. Lebih tepatnya, sebagai orang beriman, kita bisa mengatakan bahwa tanpa mengikuti ajaran Islam, manusia dari segala bangsa dan segala jaman pastilah terjerumus dalam kejahilan.

Lalu mengapa Allah SWT mengutus Rasulullah saw di Arab? Nah, soal itu silakan merujuk pada buku-buku yang sudah disebutkan sebelumnya. Penjelasannya cukup panjang. Yang jelas, alasannya bukan karena bangsa Arab rusak, sebab setiap bangsa pasti rusak tanpa tuntunan Islam. Menariknya, Syaikh al-Buthi dalam bukunya menambahkan bahwa anggapan tersebut (yaitu bahwa masyarakat Arab paling jahil) justru dihembuskan oleh kaum orientalis. Nah, kalau begitu kita tidak heran lagi, ‘kan?

Catatan ketiga, saya juga prihatin menyaksikan betapa kontradiktifnya dua hal yang ditekankan oleh bapak yang bersemangat tadi. Di satu sisi, ia menyuruh kita untuk belajar ke Cina. Di sisi lain, semua itu dianggapnya sebagai Al-Qur’an. Jika memang Cina jauh lebih baik daripada Arab, mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan saja di Cina? Dan jika memang Qur’an menyatakan bahwa masyarakat Cina lebih baik, lantas mengapa Cina tidak terislamisasi hingga sekarang? Kenyataannya, umat Muslim masih minoritas di sana.

Sekali lagi, akan berbeda permasalahannya jika kata-kata “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina” ini tidak dinisbatkan kepada Al-Qur’an atau Nabi Muhammad saw. Jika seorang ayah mengatakannya kepada anaknya, maka kita bisa menafsirkan bahwa ia tengah memberi semangat kepada anaknya untuk menuntut ilmu ke negeri yang jauh, sedangkan Cina dijadikan representasi dari sebuah negeri yang jauh. Atau, barangkali juga, ucapan itu memang ada relevansinya dengan ilmu yang sedang dipelajari oleh sang anak. Jika ia sedang rajin belajar Kung Fu, misalnya, sangatlah wajar jika kemudian ayahnya menyemangatinya untuk giat berlatih, kalau perlu sampai ke kampung halamannya Kung Fu, yaitu Cina. Dengan demikian, kalimat tersebut memiliki makna yang sesuai konteksnya. Artinya, tentu tidak semua ilmu harus dituntut ke negeri Cina. Tapi kalau ia dianggap sebagai kata-kata di dalam Al-Qur’an, apalagi sang bapak orator tadi juga bersikap seolah-olah kalimat tersebut berlaku umum, maka orang akan beranggapan bahwa semua ilmu paling baik dipelajari di Cina.

Keempat, kontradiksi akan terlihat juga jika kita melihat bagaimana ia bersikap seolah-olah sangat berkomitmen kepada Al-Qur’an, tapi pada saat yang bersamaan mengatakan “…kita diperintahkan untuk belajar ke Cina, bukan ke Arab!” Pertanyaannya: bagaimana cara kita belajar Al-Qur’an, kalau tidak ke Arab? Semua orang tahu bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, mau tak mau kita pastilah merujuk ke negeri asalnya. Bahkan jika kita kini belajar agama dari seorang guru asli Indonesia, pastilah kita bisa merunut garis keilmuannya dari Arab. Ketika Islam masuk ke Nusantara, ia pun dibawa oleh orang asing, dan tentu saja orang asing tersebut belajar dari orang Arab, atau mereka sendiri memang asli Arab. Bahkan sejumlah sejarawan pun mengatakan bahwa Wali Songo adalah dewan ulama yang dikirim langsung dari Kekhalifahan Islam pada masanya. Jadi, memang Al-Qur’an tidak pernah melarang kita untuk belajar ke Cina, sebab memang ada ilmu-ilmu yang paling baik dituntut di negeri itu. Tapi keliru besar jika kita menganggap bahwa Qur’an memerintahkan kita untuk menuntut semua ilmu ke Cina, dan bukan ke Arab, sebab Cina lebih baik dalam segala hal dibandingkan Arab. Cara berpikir semacam ini sudah terlalu konyol dan menggelikan, dan tak dapat dijelaskan kecuali dengan menyimpulkan bahwa ia bersumber dari kebencian buta terhadap segala hal yang berbau ‘Arab’.

Kelima dan terakhir, meskipun kita tidak ingin berpanjang kalam membahas Ahok, namun pada akhirnya semua argumen harus dikembalikan kepada pangkalnya. Setelah panjang lebar menjelaskan soal dalil ‘mencari ilmu ke negeri Cina’, kita perlu mempertanyakan: apa relevansinya dengan Ahok? Apakah karena Ahok adalah warga keturunan, lantas kita harus menuntut ilmu kepadanya juga? Apakah argumen “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina” itu sama artinya dengan “Tuntutlah ilmu dari orang-orang Cina dan keturunannya di seluruh dunia?”

Persoalan Ahok yang jadi perbincangan kini adalah masalah politik dan hukum, bukan keilmuan atau pendidikan. Kalau pun kita bisa bersepakat bahwa ada ilmu-ilmu yang lebih baik dipelajari di Cina, kita tak bisa mengatakan bahwa semua orang Cina layak untuk dijadikan guru. Kita pun tak lantas bisa menutup mata begitu saja atas persoalan hukum yang membelit Ahok, semata-mata karena garis keturunannya. Sebab, manusia tidak dibedakan dari bangsa, warna kulit, atau rasnya, melainkan oleh ketaqwaannya. Sebagaimana kita tidak boleh menyalahkan Ahok hanya karena rasnya, maka sebaliknya, kita pun tak boleh membenarkan Ahok hanya karena rasnya. Apa pun pendapat kita tentang Ahok, terlalu memaksakan rasanya jika argumen yang tadi dibawa ke dalam perdebatan soal politik dan hukum.

Semua uraian panjang lebar ini pada akhirnya bermuara pada satu kesimpulan, yaitu bahwa yang berbicara memang sangat awam dalam hal agama. Karena itu, kesimpulan yang dibuatnya sangat jauh meleset, bahkan jauh di luar konteks awal pembicaraan. Akan tetapi, yang lebih menakutkan dari itu adalah kenyataan bahwa fenomena semacam ini ada, bahkan tidak sedikit. Yang saya maksud bukan fenomena minimnya pemahaman, melainkan minimnya pemahaman soal agama dan kelancangan orang awam untuk berfatwa. Sudah tidak paham, tapi berlagak paham, dan akhirnya mempengaruhi orang-orang yang sama tidak pahamnya semata-mata dengan sikapnya yang seolah-olah paham. Paham ‘kan!?

Memang tidak realistis untuk mengharapkan ‘lenyapnya’ orang awam, sebab keawaman itu sendiri tidak terhindarkan. Pertama, karena tak mungkin manusia ahli dalam segala hal, maka ada saja bidang ilmu yang tidak kita kuasai, sepintar apa pun kita. Kedua, karena segala ilmu dipelajari secara bertahap, maka setiap orang pasti mengalami ‘fase awamnya’ masing-masing ketika belajar.

Dengan demikian, “adab” adalah kata kunci untuk menyelesaikan persoalan umat yang satu ini. Adab, sebagaimana dijelaskan oleh M. Naquib al-Attas, secara sederhana dapat dimaknai sebagai pengetahuan dan pengakuan akan posisi hirarkis dalam segala sesuatunya. Artinya, dalam segala hal ada ahlinya, dan yang awam harus merujuk kepada yang ahli. Artinya juga, kita akan ‘selamat’ sepanjang memahami posisi kita secara intelektual dalam suatu bidang ilmu.

Tidak semua orang harus paham cara kerja mesin mobil, asalkan ketika mobilnya rusak, mereka langsung datang ke bengkel dan berkonsultasi dengan montir yang berpengalaman. Kalau semua orang berusaha memperbaiki mobilnya sendiri, rasanya dalam waktu singkat jalanan akan sepi, lantaran banyak mobil yang tak bisa melaju lagi. Demikian juga ketika orang-orang awam sudah coba-coba melangkahi para ulama, maka pada saat itu esensi peradaban telah lenyap, sebab yang tersisa hanyalah orang-orang tak beradab. Maka, sebagai orang awam, jadilah orang awam yang beradab, bukan yang biadab.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

 

Artikel ini pernah dimuat di sini.

1 Comment

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.