23 Aug Pembodohan Itu Diperlukan
assalaamu’alaikum wr. wb.
Sehari sebelum kebanyakan umat Muslim Indonesia merayakan Idul Adha, Luthfi Assyaukanie menciptakan kehebohan melalui akun Facebook-nya. Status yang ditulisnya hari itu menyebar di berbagai media. Bagi yang belum mengenal Luthfi, saya menulis sedikit perihal dirinya dalam tulisan saya sebelumnya, “Apa Kabar Islam Liberal?”, yaitu seputar profil dirinya di medsos dan juga aktivitasnya menggawangi situs Qureta.
Beginilah Luthfi menulis statusnya pagi itu:
Dari hasil survey terbaru ditemukan bahwa mayoritas orang kota lebih memilih Prabowo ketimbang Jokowi. Kaum terpelajar (perguruan tinggi) lebih memilih PKS ketimbang partai-partai lain. Untunglah jumlah penduduk non-kota masih lumayan, dan jumlah lulusan perguruan tinggi kita masih sangat kecil. Ini betul2 ironi. Semakin kota dan semakin terpelajar seseorang, semakin mereka memilih kandidat dan partai yang salah. Kalau gini, kita kembali ke zaman batu saja. Gak ada gunanya kuliah. Kalian kuliah kalau ujung2nya pilih Prabowo dan PKS mah, ke got aja. 😀
Status ini jelas ditulis Luthfi dalam kondisi penuh kebencian (atau saya lebih suka menggunakan kata ‘keki‘) dengan PKS, Prabowo dan juga kaum terpelajar, dan lebih spesifik lagi, lulusan perguruan tinggi. Akan tetapi sebelum melangkah lebih jauh, kiranya perlu dicatat bahwa ini bukanlah ‘keluhan’ Luthfi yang pertama terhadap kaum terpelajar. Pada tahun 2012, melalui akun Twitternya, Luthfi menulis serangkaian kicauan dengan nada kebencian yang sama:
Kaum fanatik yg belajar sains tapi tetap fanatik sesungguhnya tak belajar apa2. Otaknya tak pernah dipakai secara serius.
Fenomena mahasiswa sains tapi fanatik cuma di kampus2 kita aja, di luar negeri mrk menggunakan otak mereka scr benar.
Kenapa mrk lebih suka tarbiyah dan mesjid? Karena ke lab dan berpikir memerlukan usaha. Ke tarbiyah gak usah pake otak.
Itu yg menjelaskan kenapa mahasiswa sains kita tetap fanatik. Mereka bkn ke lab tapi ngerumpi ke halaqah2.
Problem terbesar yang dihadapi oleh Luthfi, dalam kaitannya dengan kicauan-kicauannya dari tahun 2012 di atas, adalah karena fakta di lapangan tidak sejalan dengannya. Paradigma yang berlaku di Indonesia, hingga hari ini, adalah bahwa siswa-siswi paling cerdas biasanya diarahkan ke jurusan-jurusan sains. Jadi untuk mengatakan bahwa para mahasiswa sains itu tidak pernah menggunakan otaknya secara serius, tentu tidak mudah. Tentu saja, jika mereka memang tidak menggunakan otaknya, tentu mereka takkan berkuliah di jurusan-jurusan sains.
Memperbandingkan mahasiswa sains di tanah air dengan di luar negeri, dengan mengatakan bahwa mahasiswa sains di luar negeri menggunakan otaknya dan yang di tanah air tidak, juga sangat absurd. Di era globalisasi ini, batas-batas geografis juga tidak relevan lagi di dunia akademis. Ada sekian banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri, mendapat beasiswa, bahkan menjadi pengajar di sana. Ada sekian banyak pula akademisi dari luar negeri yang berinteraksi dengan koleganya dari Indonesia. Pertukaran ilmu antarbenua sudah terjadi di mana-mana, sehingga kita tidak bisa begitu saja ‘mengucilkan’ kehidupan akademis di tanah air dengan di luar negeri.
Tweet ketiga malah lebih absurd lagi, karena memperbandingkan minat mahasiswa sains antara ke laboratorium dan ke masjid dan halaqah. Menurut Luthfi, mahasiswa sains di tanah air lebih suka ke masjid dan halaqah ketimbang ke lab. Jika memang mereka tidak suka ke lab, lantas bagaimana mereka bisa lulus? Kita bisa memaklumi ketidaktahuan Luthfi akan dunia sains, sebab memang ia tidak pernah mengenyam pendidikan di bidang sains. Akan tetapi, apa pun alasannya, semestinya Luthfi tidak membuat asumsi prematur semacam itu. Pada kenyataannya, dunia sains tidak bisa lepas dari laboratorium. Di lingkungan Departemen Teknik Sipil ITB saja, misalnya, seingat saya ada Laboratorium Mekanika Fluida, Laboratorium Struktur, Laboratorium Mekanika Tanah, Laboratorium Transportasi, Laboratorium Hidraulika, dan di Gedung PAAU ITB juga ada Laboratorium Mekanika Fluida & Hidrodinamika. Kecuali yang terakhir, setiap mahasiswa Teknik Sipil ITB pasti pernah mampir dan melakukan percobaan di kesemua lab tersebut, kalau mau lulus, tentu saja. Begitulah kondisi belasan tahun yang lalu. Sekarang, ada kemungkinan jumlah labnya bertambah, tapi kecil sekali kemungkinannya berkurang.
Adapun minat seseorang ke masjid dan halaqah tidak mesti juga bertentangan dengan minatnya ke lab. Bagi seorang Muslim, datang ke masjid memang bukan soal minat, tapi memang kebutuhan. Masjid Salman ITB terkenal sangat aktif dengan berbagai kegiatannya, demikian juga di kampus-kampus besar lainnya hampir dapat dipastikan ada masjid-masjid besar yang tak kalah bagusnya. Hanya karena seseorang suka ke masjid, bukan berarti ia tidak suka ke lab. Tidak juga berarti otaknya tidak dipakai, sebab di masjid banyak kajian-kajian bermanfaat, termasuk halaqah-halaqah yang dibicarakan oleh Luthfi sendiri. Bagaimana pun, tuduhan ‘tidak menggunakan otak secara benar’ ini memang bumerang bagi argumen Luthfi, karena ia tidak bisa membuktikannya sama sekali. Terlalu sulit membayangkan mahasiswa-mahasiswa sains yang sehari-harinya bergulat dengan logika dan rasio, melatih dirinya sendiri untuk bersikap kritis, lantas menuduh mereka sebagai individu-individu yang tak pernah pakai otak.
Saya akan ‘membiarkan’ tweet terakhir untuk Anda nilai sendiri; adakah secuil saja fakta di dalamnya? Ataukah keseluruhannya hanya olok-olokan tak berkelas yang tak layak bagi kalangan intelektual?
Kembali pada status Facebook Luthfi di tahun 2018, nampaknya Luthfi tengah memaksakan logika yang sama. Bahkan, lebih tepatnya, ia tidak sedang menawarkan sebuah logika, melainkan memaksakan sesuatu untuk diterima sebagai kebenaran.
Mari kita perjelas poin-poin permasalahannya. Pertama, Luthfi menyatakan bahwa ada kaum yang terpelajar (yang diidentikkannya dengan masyarakat perkotaan) dan yang tidak. Kedua, Luthfi menunjukkan fakta bahwa kaum terpelajar ternyata lebih suka dengan suatu pilihan politik tertentu, yang kebetulan tidak sejalan dengan pilihan politiknya sendiri. Ketiga, Luthfi bersyukur bahwa masih banyak kaum yang tak terpelajar. Keempat, Luthfi menegaskan bahwa pendidikan tinggi tak ada gunanya jika pilihan politiknya bertentangan dengan Luthfi.
Martabat ilmu tercermin pada martabat orang-orang berilmu di mata masyarakat. Ilmu itu mulia, sehingga orang-orang berilmu pun dipandang mulia. Karena itu, masyarakat yang sehat semestinya memperhatikan pemikiran para ahli. Dalam dunia kesehatan, misalnya, kita harus mendengarkan pendapat para ahli kesehatan, para dokter, para ahli farmasi dan sebagainya. Kalau semua orang berlagak menjadi dokter, maka itulah awal dari sebuah musibah besar. Dengan alasan yang sama, tak mungkin semua orang bersikap layaknya seorang engineer, ahli komputer, ulama, dan sebagainya. Bahkan seorang dokter bedah otak yang bisa dipastikan sangat cerdas (dia bisa membedah otak!) pun akan menghargai keahlian seorang montir yang mungkin lulus SMP pun tidak.
Kebencian Luthfi terhadap kaum terpelajar sangatlah mengundang pertanyaan. Apa yang sebenarnya ingin dicapai olehnya? Apakah Luthfi menghendaki agar otoritas ilmu dihapuskan sama sekali di negeri ini? Jika menggunakan akal sehat, bukankah sudah semestinya masyarakat awam disuruh mengikuti pemikiran kaum terpelajar, dan bukannya menentang mereka? Jika kaum terpelajar memilih sesuatu, bukankah itu berarti pilihan mereka adalah yang terbaik? Setidaknya, lebih baik daripada pilihan kaum yang tak terpelajar. Luthfi Assyaukanie sendiri adalah seorang doktor. Kira-kira, apa yang mendorongnya ingin menjadi kaum terpelajar?
Penjelasannya, menurut saya, terletak pada salah satu kalimat dalam statusnya itu, tepatnya pada kalimat “Untunglah jumlah penduduk non-kota masih lumayan, dan jumlah lulusan perguruan tinggi kita masih sangat kecil.” Jadi, ternyata, sebagai seorang akademisi (yang bisa diasumsikan termasuk ‘terpelajar’), Luthfi justru bersyukur kaum yang belum terpelajar itu lumayan banyak dan jumlah lulusan perguruan tinggi masih sangat kecil (benar tidaknya pernyataan bahwa jumlah lulusan perguruan tinggi di tanah air masih sangat kecil, itu persoalan lain lagi). Singkatnya, Luthfi Assyaukanie adalah orang yang (diasumsikan) terpelajar, namun senang dengan kenyataan banyaknya orang yang tidak terpelajar.
Banyak orang yang sudah mengenal Luthfi sebagai salah seorang pegiat Jaringan Islam Liberal (JIL). Meskipun para pengusung Islam liberal selalu mengatasnamakan logika, rasionalitas, bahkan sains, tapi kenyataannya Islam liberal sendiri justru tidak berkembang di kampus-kampus sains, di mana para mahasiswanya sehari-harinya ngemil ilmu logika dan rasionalitas. Alasan utama sulitnya mengembangkan Islam liberal di kampus-kampus sains, menurut saya, adalah karena para mahasiswa sains selalu terlatih untuk mendeteksi inkonsistensi.
Sedikit demonstrasi mungkin dibutuhkan. Perhatikanlah persamaan di bawah ini:
x² / x = x
Bagi yang paham sedikit soal matematika, sekedar paham operasi pengkuadratan dan pembagian, mungkin akan membenarkan persamaan di atas. Tapi bagi mereka yang sempat mencicipi Kalkulus, persamaan tersebut harus dimodifikasi sedikit agar bisa disebut sebagai persamaan yang konsisten. Modifikasinya adalah sebagai berikut:
x² / x = x ; x ≠ 0
Pertidaksamaan yang terakhir penting. Sebab, persamaan sebelumnya tidaklah konsisten di x=0, sebab 0² / 0 ≠ 0. Sebuah bilangan yang dibagi dengan nilai nol akan menghasilkan angka yang tidak terdefinisikan.
Inilah pekerjaan mahasiswa sains sehari-hari; mereka harus selalu sensitif dengan inkonsistensi. Sebab, jika terjadi inkonsistensi, tandanya ada yang tidak beres dengan pekerjaan mereka. Mendeteksi inkonsistensi dalam pemikiran kalangan Islam liberal, percaya atau tidak, adalah pekerjaan yang tidak berat-berat amat. Lihatlah betapa seringnya mereka mengatakan “jangan suka menyalahkan orang lain”, padahal mereka sangat sering menyalahkan orang. Mereka mengaku sebagai ‘Islam ramah, bukan Islam marah’, padahal akun-akun medsosnya penuh kebencian. Modus dan argumen yang kerap mereka gunakan telah saya bahas dalam buku Islam Liberal 101, sedangkan inkonsistensi mereka secara khusus telah saya uraikan dalam buku Islam Liberal: Ideologi Delusional.
Setelah melihat uraian di atas, sulit rasanya untuk membuat kesimpulan yang positif tentang status Facebook dan kicauan Luthfi Assyaukanie. Yang jelas terlihat adalah bahwa Luthfi senang melihat kaum terpelajar menjadi minoritas atau terpinggirkan, sebab, di kalangan kaum terpelajar, propaganda politik dan pemikirannya tidak laku. Masyarakat harus dibiarkan bodoh, agar mereka bisa tetap dibodohi. Beginikah cara seseorang yang terpelajar berpikir?
wassalaamu’alaikum wr. wb.
ardy suryo
Posted at 11:52h, 26 Augustmenarik tulisannya Ustadz.
cuma saya agak tergelitik dgn formula tentang kalkulus diatas.
menurut saya, selain bukan “0” (null), harus ditambahkan “x” sebagai bilangan bulat positif. mungkin itu aja. btw, nice to read!. trims