06 Nov Permisi, Sudah Boleh Mengkafirkan?
Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Setelah sekian lama tidak begitu kedengaran kiprahnya, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Siti Musdah Mulia kembali menyedot perhatian publik. Kali ini, ia muncul sebagai tamu dalam podcast Cauldron Content yang dipandu oleh Andini Effendi.
Bicara tentang JIL, isu liberalisasi Islam yang dikembangkannya sejak awal 2000-an sebenarnya telah mengalami kemandekan sejak bertahun-tahun silam. Beberapa tokoh pentingnya yang aktif di media sosial tidak lagi mencantumkan nama JIL dalam profilnya. Bahkan laman situs resmi JIL pun sudah tidak dapat ditemukan, alias menghilang. Hal ini pernah saya bahas dalam artikel saya yang dimuat di Jurnal Tsaqafah dari UNIDA Gontor.
Walaupun begitu, organisasi harus dibedakan dengan pemikiran. Menghilangnya nama JIL dari blantika pemikiran bukan berarti Islam liberal ikut-ikutan lenyap. Di kampus-kampus perguruan tinggi Islam, wacana-wacana yang identik dengan liberalisasi Islam — seperti pluralisme agama, tafsir hermeneutik, sekularisasi dan semacamnya — masih disebarluaskan. Alih-alih menafsirkan lenyapnya JIL sebagai indikator habisnya Islam liberal, saya justru berpandangan bahwa JIL itu tidak diperlukan lagi justru karena mereka sudah memiliki perangkat-perangkat lain yang lebih kuat untuk mendominasi wacana pemikiran Islam di Tanah Air.
Islam liberal memang tidak punya ide orisinil dan tidak pula memiliki bangunan pemikiran yang kuat. Klaim ‘keperkasaan’ hermeneutika, misalnya, jadi kelihatan absurd di hadapan fakta bahwa sampai saat ini belum ada satupun tafsir Al-Qur’an 30 juz yang dibuat dengan metode hermeneutika. Meski pandangan-pandangannya sudah banyak dibantah oleh para cendekiawan Muslim, bagaimanapun Islam liberal masih kelihatan mentereng di mata sebagian mahasiswa. Hal ini wajar, karena wawasan manusia memang tergantung luasnya pembacaan. Mereka yang belum pernah membaca tulisan Prof. Rasyidi bisa jadi mengira bahwa pendapat-pendapat Harun Nasution itu tiada tanding. Mereka yang belum pernah menelaah tulisan-tulisan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi mungkin saja mengira bahwa Nurcholish Madjid itu tak pernah salah. Di kampus-kampus yang tak berani mengundang Dr. Adian Husaini sebagai pembicara, logis saja bila mahasiswanya mengira bahwa Luthfi Assyaukanie itu otoritatif.
Kembali ke wawancara Musdah. Bagi yang sudah mengamati kiprah JIL sejak dua dekade silam, sebenarnya hampir tak ada yang baru. Dalam episode podcast yang diberi judul “Islam Menjunjung Kesetaraan Gender” itu, Musdah menyampaikan sejumlah pandangan feminismenya, antara lain seputar stereotipe gender, poligami, marital rape, imam perempuan, dan sebagainya. Bagian yang menarik dari wawancara tersebut, menurut saya, adalah ketika Musdah membahas hukum pernikahan beda agama. Biasanya, kalangan liberalis akan ‘merenggangkan batas’ pernikahan sehingga menemukan pembenaran seluas-luasnya bagi seorang Muslim untuk menikahi orang kafir. Akan tetapi, kali ini Musdah justru mengambil jalan sebaliknya, yaitu dengan mengatakan bahwa seorang Muslim pun bisa jadi kafir. Dengan demikian, tentunya, semakin banyak saja orang yang tak boleh dinikahi.
Untuk membangun argumennya, Musdah memaknai kata “kafir” dengan merujuk kepada makna dari kata “kafara” yang berarti “menutupi”. Metode yang mirip seperti ini juga dulu digunakan oleh Nurcholish Madjid untuk memaknai nama “Islam” sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan”. Dengan pemaknaan demikian, maka yang disebut Muslim bukan hanya yang memeluk agama Islam, melainkan juga para pemeluk agama lainnya yang ‘pasrah kepada Tuhan’. Metode semacam ini tentu saja telah banyak menuai kritik, karena istilah-istilah tersebut telah memiliki makna khusus sejak kedatangan Islam. Ini sama saja seperti kata “shalat” yang makna asalnya adalah “doa”, namun para ulama menjelaskan bahwa shalat adalah sebuah ibadah khusus dengan bacaan dan gerakan tertentu, diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Demikian pula Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, meski nama ini berakar dari kata yang bermakna seputar kegiatan membaca.
Dengan menggunakan cara pemaknaan seperti di atas, Musdah telah memperluas makna kekafiran; suatu hal yang biasanya tidak dilakukan oleh kalangan Islam liberal. Musdah menyebut para koruptor sebagai orang-orang kafir, karena mereka telah menutupi diri dari kebenaran. Jika Musdah konsisten dengan metodenya ini, maka tentu bukan koruptor saja yang kafir, melainkan juga para pencuri, begal, anak-anak yang membohongi orang tuanya, semua orang yang berselingkuh, bahkan juga para selebriti yang berlagak mesra dengan pasangan di media sosial untuk menutupi kondisi rumah tangganya yang berada di ujung tanduk. Musdah tidak membedakan kebohongan biasa yang masuk dalam kategori dosa kecil dengan kesaksian palsu yang termasuk dosa besar; semuanya kafir!
Apa yang dilakukan Musdah kali ini sangat bertentangan dengan prinsip pluralisme agama yang biasanya digadang-gadang oleh kalangan Islam liberal. Sementara kalangan pluralis berupaya membenarkan semua agama, Musdah justru mengkafirkan yang Muslim. Uniknya, pandangan pluralis yang menolak pembedaan manusia berdasarkan agama juga muncul dalam podcast yang sama, yaitu pada segmen di mana Musdah menjelaskan tentang pluralisme dalam (ber)negara. Jadi, manusia tidak boleh dibedakan berdasarkan agamanya, namun boleh dikafirkan menurut standar Musdah? Dengan kata lain, semua agama tunduk kepada Musdah?
Beginilah jika berurusan dengan ideologi tambal-sulam. Islam liberal yang berkembang di Indonesia memang hanya hasil bongkar-pasang dari pemikiran orang lain di luar negeri. Berbeda dengan para pemikir liberal dari Timur Tengah seperti Nasr Hamid Abu Zayd atau Arkoun, misalnya, buku-buku karya tokoh Islam liberal kebanyakan hanya kumpulan artikel saja. Hal itu menunjukkan bahwa pemikiran mereka tidak dibangun dari fondasi yang kokoh, melainkan sekadar gagasan-gagasan yang berasal dari pikiran-pikiran pendek.
Tanpa pegangan yang kuat dan metode yang jelas, maka pemikiran akan berjalan ‘zig-zag’ seperti yang terjadi pada para pengusung Islam liberal di Tanah Air. Jika dahulu mereka berbicara tentang sekularisasi, modernisasi, meninggalkan pendapat para ulama dan mengikuti kaum orientalis, maka kini sebagiannya turut mendukung Islam Nusantara yang berwajah tradisionalis. Kontradiksi semacam ini sebenarnya sudah sejak lama terjadi tanpa disadari, antara lain ketika sebagian di antara mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang hanya relevan 14 abad silam, namun sebagian lainnya masih mencari-cari pijakan dari Al-Qur’an dengan menggunakan tafsir hermeneutik. Kalau memang Qur’an sudah tak relevan, buat apa lagi ditafsirkan?
Kemunculan Musdah kali ini, selain membuat Islam liberal kelihatan semakin menyedihkan, juga diam-diam memancing rasa penasaran. Bagaimana kira-kira tanggapan para tokoh dan pengikut JIL lainnya? Akankah kini mereka — seperti Musdah — ikut bermudah-mudah dalam mengkafirkan? Ataukah mereka bahkan tidak menyadari kontradiksi pemikiran yang terjadi di sini?
Wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Nurul
Posted at 20:36h, 06 NovemberSeperti biasa…mereka konsisten untuk tidak konsisten. Hehehe
Aliya
Posted at 04:59h, 09 NovemberMenurut Bu Musdah, pemimpin dzalim, tukang namimah, tukang bohong, masuk kafir juga ga ya???
malakmalakmal
Posted at 10:22h, 29 NovemberLucunya, mereka suka menuduh orang lain suka mengkafirkan, dan sekarang mereka sendiri yang mengkafirkan dengan enteng 😀