30 Aug Pertanyaan yang Mengelirukan
assalaamu’alaikum wr. wb.
Sebuah pertanyaan memang diajukan untuk memperoleh jawaban, namun tidak semua pertanyaan perlu untuk kita jawab. Adakalanya, bahkan seringkali, kesalahan terletak pada pertanyaannya itu sendiri. Tentu saja, kalau pertanyaannya saja sudah salah, maka orang yang mencoba menjawabnya pun akan berada dalam posisi yang serbasalah.
Prof. H.M. Rasjidi, Menteri Agama RI yang pertama, pernah mencoba menjelaskan salah satu fenomena pertanyaan yang keliru ini. Pada masanya, beliau banyak menerima pertanyaan yang menghantui banyak Muslim saat itu: mengapa negara-negara Islam miskin, sedangkan negara-negara Kristen kaya raya? Ini pertanyaan yang sangat wajar membuat gusar umat Muslim Indonesia, yang saat itu baru saja terlepas dari penjajahan fisik, namun belum merdeka sepenuhnya dari perasaan inferior akibat kezhaliman yang ditanggungnya selama sekian generasi. Di satu sisi, ada keyakinan akan superioritas ajaran Islam, namun ada fakta tidak menyenangkan seputar dunia Islam di lapangan.
Saat itu, Prof. Rasjidi menjelaskan bahwa pertanyaan yang diajukan sendiri bersumber dari asumsi atau generalisasi yang salah. Apa dasarnya mengatakan bahwa negara-negara Islam itu miskin? Rasionalisasi dianggap perlu, sebab pada kenyataannya tidak semua negara Islam itu miskin. Kalau sampelnya adalah Indonesia, Somalia, Bangladesh, maka wajar kesimpulan itu muncul, wajar pula umat Muslim gelisah. Tapi jika sampelnya adalah Brunei Darussalam, Qatar, Saudi Arabia, maka kesan miskin itu jelas keliru. Tentu saja, dengan memasukkan seluruh negeri ini dalam persamaan, maka kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih utuh atas dunia Islam.
Bagian lain dari pertanyaan di atas juga perlu dikritisi. Apa benar negara-negara Kristen itu kaya raya? Kalau sampelnya Kanada, Inggris, Perancis, mungkin iya. Tapi sekarang kita menyaksikan Yunani krisis ekonomi, Meksiko dihantui problem kartel narkoba, Brazil punya masalah keamanan yang sangat parah, bahkan setiap bulan terjadi insiden penembakan di sekolah-sekolah di Amerika Serikat.
Memang seringkali terlalu sulit untuk menggunakan data yang ekstensif dalam analisis. Karena itulah statistik dipergunakan, diawali dengan pengambilan sampel. Akan tetapi, pengambilan sampel itu pun harus dilakukan secara rasional, agar tidak terjadi penggambaran yang tidak utuh, bahkan tidak fair seperti ini.
Saya juga sudah beberapa kali meluruskan sejumlah pertanyaan yang keliru. Misalnya: mengapa di negeri yang mayoritasnya Muslim seperti Indonesia ini, kok koruptornya juga mayoritas Muslim? Apakah Islam telah gagal? Seperti Anda lihat sendiri, tidak jarang, sebelum pertanyaan pertama dijawab, pertanyaan kedua sudah muncul, baik secara eksplisit maupun implisit. Pada kenyataannya, banyak orang yang langsung nyerocos dengan setumpuk asumsi prematurnya sebelum benar-benar menjawabnya secara rasional. Menurut saya sendiri, pertanyaan pertama adalah tentang statistik. Ya memang ‘wajar’ jika di Indonesia koruptornya mayoritas Muslim, sebab mayoritas warga negara Indonesia memang Muslim. Sama seperti mayoritas penduduk Meksiko itu Katolik, maka kemungkinan besar perampoknya pun Katolik, mayoritas warga India itu Hindu, maka pelanggar hukumnya pasti kebanyakan Hindu pula, dan mayoritas penduduk Tel Aviv itu Yahudi, karena itu maling di sana kemungkinan besar Yahudi.
Sebagai catatan tambahan, tidaklah fair mengungkit masalah koruptor Muslim di Indonesia tanpa penjelasan yang mendalam. Sebab, bukan hanya koruptornya mayoritas Muslim, tapi para pahlawan nasionalnya pun kebanyakan Muslim, demikian juga warga yang baik, cinta damai, toleran dan seterusnya itu pun pasti kebanyakan Muslim. Namanya juga mayoritas mutlak!
Ada juga yang mempertanyakan nasionalisme umat Muslim di Indonesia. Ini juga pertanyaan absurd, sebab sejak Indonesia berdiri (tahun 1945), bahkan ketika Indonesia telah diterima secara konsensus sebagai sebuah konsep (tahun 1928), mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim. Kalau mayoritasnya tidak nasionalis, apa iya Republik Indonesia bisa berdiri? Kalau Muslim yang mayoritas mutlak ini tidak berjuang, bisakah mengusir penjajah? Mereka yang berpikir secara rasional tentu tidak akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu.
Yang lebih mengerikan daripada pertanyaan yang keliru adalah pertanyaan yang mengelirukan (misleading). Artinya, kekeliruan itu memang disengaja, demi menggiring opini yang menyesatkan. Pertanyaan soal agama mayoritas koruptor tadi sangat besar kemungkinannya digunakan untuk membangun opini bahwa agama (Islam) telah gagal mendidik umatnya. Demikian juga pertanyaan tentang nasionalisme umat Muslim nampaknya sangat sering digunakan untuk mendikotomikan kaum ‘Islamis’ dan ‘nasionalis’.
Ada seorang profesor ilmu agama Islam, misalnya, yang mengajukan pertanyaan: Jika Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, apa susahnya bagi Allah menciptakan Surga dan Neraka untuk masing-masing umat beragama? Ini sama seperti profesor matematika yang mempertanyakan mengapa segitiga tidak boleh memiliki empat segi. Ya, segitiga memang tak mungkin memiliki empat sisi, sebab yang memiliki empat segi itu namanya segiempat! Demikian pula pertanyaan “apa susahnya” bukanlah pertanyaan yang logis untuk diajukan kepada Allah, sebab tidak ada yang susah bagi Allah.
Memasukkan semua manusia ke Surga itu tidak susah bagi Allah, demikian pula memasukkan semua manusia ke Neraka. Menciptakan satu Surga dan satu Neraka dengan syarat-syarat tertentu untuk penghuninya itu mudah saja bagi-Nya, demikian juga menciptakan banyak Surga dan Neraka. Jika kita punya hidung mancung, janganlah mengira bahwa Allah tak bisa membuatnya pesek. Demikian pula jika jari tangan kita ada sepuluh, jangan menyangka bahwa itu karena Allah tak mampu membuatnya menjadi dua belas. Yang benar, dan ini semestinya sudah dipahami oleh seorang profesor ilmu agama, adalah Allah SWT bertindak sesuai kehendak-Nya.
Ketika melihat Jokowi dan Prabowo ditarik berpelukan oleh Hanifan, atlet Pencak Silat yang mendapatkan medali emas di Asian Games 2018, ada seorang penulis yang mengatakan bahwa gestur ini menyiratkan kerinduan akan persatuan, di mana “…tidak ada dikotomi mayoritas minoritas. Tidak ada yang sibuk menanyakan, ‘Agamamu apa?’” Meskipun bukan dalam bentuk pertanyaan, tapi ini pun contoh kasus yang dibuat-buat untuk menggiring opini. Atau, jika ingin diformat ulang dalam bentuk pertanyaan, bolehlah dianggap ekivalen dengan kalimat: “Ini saatnya kita bersatu. Buat apa lagi menanyakan ‘agamamu apa?’” Soal persatuannya, kita bisa langsung setuju. Tapi memangnya siapa sih yang suka menanyakan “Agamamu apa?”.
Sebagian di antara kita mungkin akan langsung teringat dengan sebuah film pendek yang menggambarkan situasi tidak menyenangkan, yaitu ketika sebuah ambulans yang menembus pekatnya malam dihentikan saat hendak melewati rumah yang sedang menggelar tahlilan. Saat itu, supir ambulansnya dipaksa menjawab pertanyaan tentang agama pasien yang tengah dibawanya. Betapa intolerannya!
Pernah mengalami kejadian seperti ini? Dari dua ratus sekian juta rakyat Indonesia, saya nyaris yakin tak ada yang mengalaminya. Sebab, di negeri yang luas ini bukan cuma satu ambulans yang hilir-mudik membawa pasien. Artinya, bangsa ini sudah sangat sering menyaksikan ambulans membawa pasien dalam keadaan kritis. Dan karena mayoritasnya beragama Muslim, bisa dipastikan bahwa fenomena ambulans membawa pasien itu pun sama sekali bukan barang baru bagi umat Muslim. Nyatanya tak ada ambulans yang dihentikan hanya karena agama pasiennya. Semua ambulans bisa melaju dengan aman setiap harinya. Kalau pun ada pertanyaan tentang pasien yang diangkut, paling-paling seputar cedera atau sakitnya, penyebabnya atau apalah. Tapi itu pun hanya menjadi pembicaraan di pinggir jalan, bukan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada supir ambulans, yang pastinya tengah memacu kendaraannya demi keselamatan pasien.
Bagaimana pun, pertanyaan “agamanya apa?” itu adalah semacam menu instan yang paling favorit bagi sebagian kalangan. Seolah-olah semua orang mempertanyakannya, terutama mayoritas di negeri ini. Ketika atlet bulutangkis menuai sukses, dari jamannya Susi Susanti sampai Jojo, siapa sih yang menanyakan agamanya?
Kenyataannya, umat Muslim-lah yang selalu jadi bulan-bulanan. Sejak kasus Ahok, penistaan terhadap agama Islam tidak berkurang, malah bertambah. Saking tolerannya umat Muslim, hampir semua penghinaan itu berakhir dengan secarik kertas murah dengan materai enam ribu perak. Sementara itu, pertanyaan-pertanyaan absurd terus beredar.
“Mengapa adzan harus keras-keras? Memangnya Tuhan tidak mendengar?” Padahal, adzan bukan dikumandangkan untuk memanggil Tuhan, tapi memanggil manusia. Yang lain bertanya, “Mengapa shalat harus lima waktu? Memangnya Tuhan cuma lima kali sehari?” Orang ini gagal membedakan Tuhan dengan dokter, sehingga jadwal shalat dikiranya sama dengan jadwal buka praktik dokter. Banyak juga yang bertanya, “Tuhan tidak perlu dibela. Memangnya Tuhan itu lemah?” Pertanyaan yang benar memang bukan “apakah Tuhan perlu pembelaan?”, melainkan “apakah kita layak mengaku sebagai hamba Tuhan jika diam saja ketika Dia dihina?”
Ketika kaum cendekiawan memberikan jawaban yang keliru secara sengaja, maka saat itulah tradisi ilmu berada dalam keadaan bahaya. Kini, jangankan jawabannya, pertanyaannya saja sudah dengan sengaja mengelirukan. Dengan kondisi demikian, perlu kiranya kita menguji kebenaran sebuah pertanyaan sebelum memberikan jawaban.
wassalaamu’alaikum wr. wb.
Reksi Prasetyo
Posted at 10:39h, 31 AugustMasyaAllah Tabarakallah, inspiratif dan mencerahkan. terimakasih ust. akmal atas tulisannya
malakmalakmal
Posted at 21:13h, 17 SeptemberSemoga bermanfaat 🙂
Eka
Posted at 08:38h, 04 SeptemberTo be honest, kalau masalah seperti mempertanyakan tokoh publik “Agamanya apa?” sering ketemu sih. Biasanya sy menemukan pertanyaan seperti ini “sekadar bertanya” (misalnya ketika seorang figur nikahnya di Wihara, padahal dikira dia Nasrani, atau figur lain keceplosan mengucap hamdalah; dan ini beberapa kali sy temui). Hanya saja, memang reaksi kelompok yg mengaku “toleran” ini berlebihan, menuduh SARA dan sebagainya. Padahal, saya kira penanya tak lebih dari berkata, “Oooh,” dan bukan lantas mendiskriminasi dalam perlakuan publik.
Saya jadi penasaran, bagaimana penjelasan Pak Akmal tentang ini?
malakmalakmal
Posted at 21:11h, 17 SeptemberSebenarnya sudah antum jawab sendiri 🙂
Begini, saya tdk bermaksud menyatakan bahwa di negeri kita ini tidak ada yang pernah bertanya soal agama. Kalau memilih pemimpin, umat Muslim memang disuruh mencermati agamanya. Kalau anak kita dilamar orang, jelas kita pastikan agamanya apa. Tapi kalau soal agama atlet, kan tidak ada yang membahas itu. Apalagi agama pasien dalam ambulans, jelas nggak relevan dalam perkara apa pun. Jadi ini semua penggiringan opini, seolah2 ada persoalan toleransi yg gawat di Indonesia, padahal tdk ada.