Ramadhan Bulan Perjuangan
1984
post-template-default,single,single-post,postid-1984,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780,elementor-page elementor-page-1984

Ramadhan Bulan Perjuangan

Ramadhan Bulan Perjuangan

Assalaamu’alaikum wr. wb.

42992757525_6afcff05e1_o

Tentu saja ini bukan foto saat memberikan Khutbah Jum’at! 😀

Teks di bawah ini adalah adaptasi dan ringkasan dari Khutbah Jum’at yang disampaikan pada tanggal 17 Maret 2023 di South Quarter Dome, Jakarta.

 

Shaum dan Kemanusiaan

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, dalam hitungan hari saja, sekiranya Allah SWT mengizinkan, maka kita akan berjumpa kembali dengan Bulan Suci Ramadhan. Dalam bulan yang istimewa ini, ibadah yang teristimewa dan diwajibkan kepada kita adalah shaum, sebagaimana firman Allah SWT dalam ayat Al-Qur’an yang senantiasa dibaca orang di sebelum dan sepanjang Ramadhan:

Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kamu untuk melaksanakan shaum sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 183)

Dari ayat tersebut kita dapat menangkap pesan bahwa yang diperintahkan untuk shaum bukan hanya umat Nabi Muhammad saw saja, melainkan juga umat para Nabi terdahulu. Sebelum shaum Ramadhan disyari’atkan pada tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah saw dan para sahabat ikut melaksanakan shaum sebagaimana yang dilakukan oleh umat Yahudi di Madinah dengan teknis pelaksanaan yang berbeda dengan shaum yang kita kenali sekarang. Jika kita terbiasa melaksanakan shaum sejak adzan Subuh — didahului oleh sahur — hingga adzan Maghrib, maka Bani Israil zaman dahulu shaum-nya dimulai sejak tidur malam. Artinya, jam berapapun mereka tertidur malam itu, maka mereka sudah tidak boleh makan-minum lagi ketika terbangun.

Kita tidak mengetahui teknis pelaksanaan shaum umatnya para Nabi dan Rasul yang lain, namun kita mengetahui bahwa semua manusia diperintahkan untuk melaksanakan shaum. Pesan ini memberi kesan bahwa melaksanakan shaum itu adalah salah satu ‘ciri khas’ manusia.

Ketika melaksanakan shaum, kita menahan diri dari makan, minum dan hubungan suami-istri. Ketiga hal itu tidak kita lakukan bukan karena kita tidak mampu melakukannya, melainkan karena kita diperintahkan untuk menahan diri darinya untuk sementara waktu. Kemampuan untuk bersabar inilah pembeda di antara manusia dan binatang. Tindakan binatang tidak diarahkan oleh moralitas, melainkan oleh insting belaka. Ketika lapar mereka makan, ketika haus mereka minum, dan ketika birahinya bangkit mereka sanggup berkelahi dengan sesamanya untuk memperebutkan pasangan. Akan tetapi, manusia diajarkan untuk berdiri pada posisi yang lebih tinggi daripada binatang melalui pengendalian dirinya itu. Dapatlah disimpulkan bahwa shaum sesungguhnya mengajari kita untuk menjadi manusia yang sesungguhnya, sepatutnya dan sepenuhnya.

Pada zaman sekarang ini, kita menyaksikan adanya sekelompok manusia yang sudah kehilangan kendali diri dan mereka terus-menerus mencari pembenaran atas perilakunya tersebut. Sebutlah misalnya kaum homoseksual yang mengatakan bahwa apa yang mereka perbuat itu semestinya dibenarkan karena ia berasal dari keinginan hatinya sendiri. Pada kenyataannya, tidak semua yang muncul dari hati itu boleh diperturutkan. Bahkan, sebagaimana semua perbuatan baik, maka semua kemaksiatan itupun terlebih dahulu terbit sebagai keinginan dalam hati sebelum terwujud dalam perbuatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

Dan demi jiwa, serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu baik kefasikan maupun ketaqwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikannya, dan merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams [91]: 7-10)

Dengan shaum, jadilah kita manusia yang sebagaimana dikehendaki oleh Allah SWT, yaitu manusia yang memegang kendali atas dirinya sendiri. Jika lapar ia tak mesti segera makan, jika haus masih mampu bersabar, dan bangkitnya syahwat tidak membuat akal berhenti bekerja sehingga lupa membedakan yang benar dan yang salah.

 

Menghindari Dua Reduksi

Jika kita kembali pada ayat ke-183 dalam Surat Al-Baqarah tadi, akan kita jumpai pula bahwa tujuan akhir dari shaum bukanlah untuk shaum itu sendiri, melainkan untuk menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang bertaqwa. Adapun taqwa itu artinya bukan sekedar mampu menahan lapar dan haus, melainkan berhati-hati dalam segala tindakan. Ketika melaksanakan shaum, kita menghindari tiga hal yang dapat membatalkannya — yaitu makan, minum dan hubungan suami-istri — sekaligus juga segala hal yang dilarang oleh agama meski tidak sampai membatalkan shaum. Yang termasuk dalam kategori terakhir ini adalah melihat apa yang tidak diperbolehkan, mendengar apa yang bukan urusan kita, membicarakan segala hal yang tidak baik, menyakiti orang dengan kata-kata kita, dan sebagainya.

Oleh karena itu, salah satu hal yang paling banyak mengurangi nilai dari ibadah Ramadhan kita adalah mereduksi shaum menjadi sebatas tiga hal yang membatalkannya itu. Kalau hanya menghindari yang tiga itu, insya Allah semua orang dewasa sudah mampu, bahkan sebagian besar anak SD pun sudah sanggup melampauinya. Akan tetapi, setelah puluhan Ramadhan kita lewati, sudah saatnya kita melangkah ke level berikutnya, yaitu dengan memperhatikan amal-amal lain selain sekadar menjaga agar shaum kita tidak batal. Jika kita sudah bisa mengubah paradigma ini, maka kita akan mulai mengalihkan pandangan kita kepada lisan kita, tilawah kita, shadaqah kita, penglihatan dan pendengaran kita, dan seterusnya.

Hal kedua yang tidak semestinya terjadi adalah reduksi Ramadhan menjadi sebatas shaum saja. Jika kita melaksanakan shaum dari Subuh hingga Maghrib, maka apa yang kita lakukan di waktu-waktu sisanya? Sebagai bahan pertimbangan, tinjaulah dua hadits yang hampir sama persis redaksinya, kecuali di satu kata saja:

Barangsiapa melaksanakan shaum dengan iman dan penuh harap kepada Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Barangsiapa mendirikan Qiyamu Ramadhan (Tarawih) dengan iman dan penuh harap kepada Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Meski shaum Ramadhan tidak sama nilainya dengan Shalat Tarawih — yang satu bagian dari Rukun Islam, sedangkan yang lainnya adalah ibadah sunnah — namun ganjarannya ternyata sama-sama besar. Dengan demikian, Tarawih tidak semestinya dipandang sebelah mata atau hanya sebagai pelengkap saja. Sebagaimana kita memaksakan diri untuk melaksanakan shaum di siang hari selama Ramadhan, maka paksakanlah juga untuk mendirikan Shalat Tarawih di malam harinya. Laksanakanlah sesuai kemampuan — tak ada yang mewajibkan untuk melaksanakannya di Masjid, tidak ada pula patokan panjang-pendeknya bacaan — selagi Ramadhan masih bersama kita. Sebab, sebagaimana terlihat jelas dari namanya — Qiyamu Ramadhan — shalat ini hanya ada di Bulan Ramadhan; hanya 29 atau 30 kali dalam setahun, selebihnya tak ada lagi.

Di luar shaum, kita masih bisa menemukan banyak ibadah lain yang diutamakan di Bulan Ramadhan. Selain Tarawih, ada sahur dan berbuka, ada i’tikaf dan berbagai ibadah sunnah lainnya yang dapat kita perbanyak, dan tentu saja ada Zakat Fitrah yang juga merupakan bagian dari Rukun Islam. Mari memberikan perhatian lebih pada hal-hal itu pada Ramadhan yang akan datang.

 

Ramadhan dan Perjuangan

Manakala kita membaca Sirah Nabawiyah dan mencermati peristiwa-peristiwa di sekitar masa pertama kali disyari’atkannya shaum Ramadhan, yaitu pada tahun kedua Hijriah, kita akan memahami bahwa Ramadhan bukan saatnya berpangku tangan atau bersikap pasif. Pada bulan Ramadhan pertama setelah diwajibkannya shaum itu justru terjadi Perang Badar, dan perang tidak otomatis dibatalkan hanya karena Ramadhan. Dengan kata lain, Ramadhan tidak semestinya dijadikan alasan untuk bermalas-malasan atau menghentikan perjuangan, melainkan justru harus menguatkannya.

Belakangan ini, negeri kita diributkan dengan wacana kehadiran tim sepakbola dari negeri zionis, sedangkan penjajahan di Palestina belum lagi berakhir. Sampai hatikah kita membiarkan mereka bersenang-senang di sini, sedangkan Indonesia sendiri adalah bangsa yang tidak pernah lupa dengan sejarahnya sebagai negeri yang terjajah berabad lamanya?

Rasulullah saw mewasiatkan kepada kita tiga masjid — bukan dua — yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan Masjid Nabawi. Kita tidak diperintahkan untuk berupaya keras mengunjungi masjid-masjid di dunia ini, kecuali yang tiga itu. Tidak hancurkah hati kita mengingat kenyataan bahwa sampai saat ini kita belum bisa mengunjungi salah satu masjid itu dalam keadaan merdeka? Hendak ditaruh ke mana muka kita jika berjumpa dengan Rasulullah saw di akhirat kelak, sedangkan Masjidil Aqsha dan rakyat Palestina dinistakan di zaman kita, sedangkan pembelaan kita begitu sedikit terhadapnya? Tidak adakah kata-kata yang bisa kita ucapkan, sekadar untuk menunjukkan keberpihakan kita kepada Palestina? Haruskah kita menyempurnakan segala penghinaan yang sudah kita terima dengan menjamu musuh yang tangannya berlumuran darah Palestina?

Bukankah ini semua adalah lelucon yang sangat menyakitkan; sementara banyak orang merusak Ramadhan dengan perbuatannya, apakah bangsa kita harus merusak Ramadhan dengan diamnya?

Wassalaamu’alaikum wr. wb. 

No Comments

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.