Sekali Lagi, Tentang Generasi Salaf Bangsa Ini
2054
post-template-default,single,single-post,postid-2054,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780,elementor-page elementor-page-2054

Sekali Lagi, Tentang Generasi Salaf Bangsa Ini

Sekali Lagi, Tentang Generasi Salaf Bangsa Ini

photo_2023-11-09 11.31.38assalaamu’alaikum wr. wb.

Mereka yang hati nuraninya berfungsi dengan baik bisa menyadari kesalahannya jika sudah disentil oleh sindiran. Akan tetapi, bagi sebagian yang sudah terbiasa memadamkan cahaya hatinya sendiri, apa boleh buat kata-kata tegas perlu digunakan.

Sebelumnya saya sangat berharap kiranya artikel saya sebelumnya, Belajar dari Perjuangan Generasi Salaf Bangsa Ini, sudah cukup untuk menjawab berbagai keraguan tentang masalah Palestina saat ini. Misalnya, jika ada yang mengatakan bahwa jihad hanya boleh dilakukan jika kekuatan kira-kira berimbang atau ada peluang menang, maka uraian saya di artikel tersebut semestinya sudah menunjukkan bahwa generasi salaf bangsa ini tidak berperang dalam situasi semacam itu pada zaman Revolusi Fisik (1945-1949). Demikian juga bila ada yang menyalahkan Hamas atas pengeboman bertubi-tubi yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil di Gaza, maka mereka perlu tahu bahwa hal yang persis sama juga dialami oleh masyarakat Sumatera Barat dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II dahulu. Ketika itu, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) keluar-masuk hutan menghindari kejaran Belanda, sedangkan kampung-kampung yang ditinggalkan oleh para lelaki dewasa untuk pergi bergerilya banyak yang menjadi korban mortir Belanda. Apakah pada akhirnya pengakuan kedaulatan didapatkan setelah mengusir penjajah? Bukan. Pertolongan Allah SWT datang melalui tekanan internasional.

Mereka yang mencibir perjuangan di Palestina saat ini, jika masih punya rasa malu, semestinya merasa tertegur oleh sindiran yang sudah saya upayakan sehalus mungkin itu. Sayangnya, sikap lembut memang sulit dipahami oleh hati yang kasar. Memang tak semua orang biasa diajak bicara baik-baik. Kalaulah kepada yang semacam itu kita tak mampu mengasihi, setidaknya kita bisa mengasihani.

Belum lama ini, ada sebuah akun Instagram yang menyebut dirinya @sunahsalafi yang berupaya memperbandingkan perjuangan Hamas dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada awalnya saya merasa mendapatkan harapan, karena setidaknya sudah ada upaya untuk menengok sejarah. Tapi setelah membaca bagaimana akun ini memanipulasi sejarah, saya sadar bahwa sejarah memang sebuah ilmu yang memiliki metode yang harus ditegakkan, bukan sekedar membaca fakta dan menghapalkannya, apalagi mencocok-paksakannya sesuai dengan keinginan alias hawa nafsu sendiri.

Menurut akun ini, perjuangan Hamas berbeda jauh dengan perjuangan Bangsa Indonesia. Sudah barang tentu, mereka ingin menegaskan bahwa perjuangan Bangsa Indonesia itu benar, sedangkan Hamas salah. Mari kita telaah poin per poinnya.

 

Soal Representasi

Hal pertama yang ‘digugat’ adalah soal representasi atau keterwakilan. Akun tersebut menyebutkan:

Pejuang Indonesia mewakili rakyat Indonesia, sedang Hamas tidak mewakili rakyat Palestina, tidak di Tepi Barat maupun di sebagian dalam Gaza.

Bagi anak SD yang baru saja diperkenalkan dengan sejarah bangsanya, tak mengapalah jika tak bisa membedakan antara proklamasi dan pengakuan. Akan tetapi, bagi yang lebih serius menelaah sejarah, semestinya mampu menemukan perbedaannya.

Republik Indonesia, yang diproklamasikan kemerdekaannya di Jakarta pada 17 Agustus 1945, adalah produk dari sebuah diskusi panjang yang dilakukan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang melanjutkan pekerjaan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Apakah PPKI atau BPUPKI ini semacam DPR masa kini yang merupakan sekumpulan wakil rakyat dari seluruh penjuru Indonesia? Tidak!

Situasi pada zaman itu memang tidak memungkinkan untuk membentuk sebuah lembaga yang mengumpulkan perwakilan dari seluruh daerah. Kondisi pada masa itu sangat berbeda dengan sekarang. Untuk menggambarkan kecepatan penyebaran informasi pada masa itu, mungkin dibutuhkan sedikit ilustrasi. Sumatera Barat saja, yang memiliki banyak tokoh yang aktif di Jakarta pada masa itu, baru mendapatkan berita proklamasi pada 29 Agustus. Di pelosok-pelosok Indonesia Tengah dan Timur, banyak masyarakat yang tak pernah tahu apa itu BPUPKI dan siapa itu Sukarno hingga jauh setelah proklamasi. Oleh karena itu, ketika mempersiapkan kemerdekaan, bapak-bapak bangsa ini tak sempat mengumpulkan wakil rakyat dari seluruh daerah.

Karena persoalan ini, maka hal pertama yang dilakukan pemerintah setelah proklamasi adalah mengirimkan kurir-kurir ke berbagai wilayah. Tugas mereka bukan hanya menyampaikan berita kemerdekaan, melainkan juga meminta agar para raja, para sultan, dan para tokoh daerah mau menerima kehadiran Republik ini dengan lapang dada. Kisah para kurir ini sudah dituangkan dalam sebuah buku berjudul Kurir-kurir Kemerdekaan karya Gatot Iskandar, Suroso dan Zakaria Idris.

Apakah mudah saja bagi seorang raja untuk melepaskan kekuasaan absolutnya untuk hidup bersama di bawah naungan sebuah Republik? Belum tentu. Pada kenyataannya, ada juga yang menolak. Sampai 1949, bahkan sebenarnya hingga 1950, masih ada yang lebih suka hidup dalam naungan Hindia Belanda ketimbang Republik Indonesia. Untuk penjelasan detil tentang kisah para pemimpin semacam itu takkan saya uraikan di sini untuk memberi kesempatan bagi semua untuk melakukan risetnya masing-masing.

Adapun perihal Hamas, nampaknya banyak yang sudah lupa bahwa partai ini sejatinya adalah pemenang pemilu yang digelar di seluruh Palestina pada 2006. Hanya saja, karena tidak disukai oleh AS dan sekutu-sekutunya, maka nasibnya sama seperti Presiden Mursi di Mesir; disingkirkan setelah menang secara adil. Di sinilah pentingnya mempelajari sejarah sebagai ilmu. Seorang sejarawan sejati, manakala hendak meneliti persoalan Hamas dan Gaza di tahun 2023, mestilah ia bertanya: mengapa Hamas hanya di Gaza? Pertanyaan sesederhana itu pasti akan mengantarkan Anda pada kisah Pemilu 2006.

Soal Pemilu 2006 inipun takkan saya perpanjang. Hanya saja, fakta kemenangan ini semestinya membuat orang tersadar bahwa sesungguhnya Hamas memiliki otoritas untuk mengobarkan jihad. Fakta bahwa mereka kemudian digulingkan, disingkirkan dan diisolasi di Gaza, tidaklah mengubah kenyataan bahwa mereka memiliki hak untuk memimpin.

Jika belum cukup, pertimbangkanlah kondisi Gaza yang ‘terputus’ dengan Tepi Barat. Dalam keadaan blokade semacam itu, apakah Anda masih mempertimbangkan pemerintah di Tepi Barat sebagai satu-satunya pemilik otoritas untuk Gaza? Jika demikian, maka warga Gaza takkan pernah mampu untuk berbuat apa-apa, sebab segalanya harus menunggu perintah dari Tepi Barat, sedangkan perhubungan ke sana telah lama diputus. Logika yang benar tentu akan mengatakan bahwa dalam kodisi sekarang Gaza harus mengupayakan hidup mandiri, memenuhi kebutuhan sendiri, mempertahankan hidup sendiri, termasuk juga mengobarkan jihad sendiri, tanpa menunggu instruksi dari Tepi Barat yang tak kunjung datang.

 

Kepemimpinan

Poin gugatan kedua adalah sebagai berikut:

Perang Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang sah Raja-raja, Hamas dipimpin oleh pemimpin partai bukan presiden.

Dengan mengabaikan kesempurnaan penulisan kalimat yang nampaknya sangat memprihatinkan, marilah kita pertimbangkan juga gugatan yang kedua ini. Di sini, kita menemukan banyak istilah yang perlu diperjelas lagi. ‘Perang Indonesia’ itu yang mana? Karena ada penyebutan raja-raja, maka diasumsikan bahwa yang dibicarakan di sini adalah perang sebelum kemerdekaan.

Pada kenyataannya, jihad tidak selalu dipimpin oleh para raja. Perang Padri dipimpin bukan oleh Raja Minangkabau. Bahkan sebaliknya, perjuangan Padri justru mendapat penentangan dari pihak kerajaan. Salah seorang pemimpin Padri, yaitu Tuanku Lintau, bahkan pernah melakukan makar dan melancarkan upaya pembunuhan terhadap Raja Alam Pagaruyung pada masa itu. Di Jawa, pemberontakan terhadap Belanda juga dipimpin oleh Pangeran (bukan Sultan) Diponegoro. Apakah perjuangan mereka sekarang hendak didelegitimasi karena tidak dipimpin oleh para raja?

Bahkan setelah Indonesia merdeka, dan Sukarno resmi menjadi presiden, masalah kepemimpinan ini juga masih dapat dipersoalkan (kalau mau). Pertama, sehubungan dengan persoalan keterwakilan dalam proses pendirian negara dahulu. Jika tidak semua daerah terlibat dalam mendirikan Republik, apakah Sukarno diterima sebagai presiden yang sah di seluruh wilayah Indonesia pada masa itu? Kedua, ada juga kondisi di mana angkatan perang tidak mengikuti instruksi pemimpin negara. Hal ini terlihat misalnya ketika Sukarno dan nyaris seluruh kabinet menyerahkan diri di Yogyakarta pada 1948, sedangkan Jendral Sudirman menolak untuk menghentikan perjuangan dan memilih untuk terus bergerilya di hutan belantara. Apakah perbuatan Sudirman hendak dianggap sebagai ketidakpatuhan pada ulil amri yang sah?

Persoalan status Hamas sebagai pemilik otoritas di Gaza semestinya sudah jelas pada bagian sebelumnya.

 

Diplomasi

Gugatan ketiga berkaitan dengan diplomasi, bunyinya sebagai berikut:

Pahlawan Indonesia mempunyai banyak diplomasi antar negara, Hamas tidak diakui diplomasi di berbagai negara kecuali Qatar, Turki dan Iran.

Maaf beribu maaf, tapi gugatan semacam ini hanya mungkin lahir dari jiwa pemalas atau pengecut. Jika Anda serius meneliti sejarah, bukan sekedar menghafalkan fakta-fakta, maka Anda akan melihat bahwa segala sesuatu ada prosesnya.

Indonesia diakui oleh berbagai negara? Baiklah. Tapi sejak kapan? Apakah sejak 17 Agustus 1945? Proklamasi dan pengakuan kedaulatan adalah dua hal yang berbeda. Proklamasi kemerdekaan tidak berarti apa-apa bagi dunia internasional jika tidak ada negara lain yang mengakui kedaulatannya. Oleh karena itu, segera setelah proklamasi, mahasiswa-mahasiswa Indonesia di luar negeri bergerilya untuk memperjuangkan pengakuan tersebut. Mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Timur Tengah adalah yang paling aktif dalam perjuangan diplomasi ini, terutama di tiga kota, yaitu Mekkah, Baghdad dan Kairo. Qadarullaah, perjuangan di Kairo-lah yang pertama kali membuahkan hasil.

Kisah perjuangan diplomasi para mahasiswa di Kairo ini bisa dibaca dalam buku Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karya M. Zein Hassan. Kalau mau membaca buku ini, mungkin sebagian saudara kita harus banyak berlapang dada. Sebab, nama dan foto Hasan al-Banna (pendiri Al-Ikhwan Al-Muslimun) muncul berkali-kali sebagai salah satu tokoh yang sangat aktif memperjuangkan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia. Jika tak kuat mencerna fakta, tak usahlah menelaah sejarah!

Mufti Palestina pada saat itu, Syaikh M. Amin Husaini, bersama Hasan al-Banna dan para tokoh lainnya pada saat itu, mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk mendorong pemerintah negara-negara Timur Tengah agar memberikan pengakuan terhadap Indonesia. Belanda tidak diam saja. Konsul Belanda di Kairo sempat meminta agar Mesir menyerahkan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang studi di Mesir kepada mereka, namun Mesir menolaknya. Penolakan itu, tentu saja, adalah sebuah tindakan yang sangat keras dalam hubungan antarnegara. Artinya, Mesir tidak lagi mengakui otoritas Belanda atas Indonesia. Selanjutnya, dengan sebuah peristiwa yang sangat heroik, utusan dari Mesir berhasil mengirimkan surat pengakuan kedaulatan itu hingga ke tangan Sukarno, meski harus menghindari blokade Belanda di sana-sini. Sebuah buku lama berjudul Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir Tahun 1947 yang mengumpulkan tulisan dari berbagai tokoh menjelaskan lika-liku perjuangan diplomasi ini dengan lebih menarik.

Mesir, sebagai negara pertama yang secara hukum mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata baru menyatakan pengakuan itu pada 1947. Negara-negara lain menyusul sesudahnya. Itulah proses. Jadi, kalau Hamas baru diakui oleh tiga negara, belum tentu jumlah itu takkan bertambah kelak. Kalau melihat tren dunia pasca Taufan Al-Aqsha, justru Hamas mendapatkan banyak simpati internasional. Banyak orang yang matanya mulai terbuka dan menyadari intrik-intrik politik yang terjadi di dalam Palestina selama ini.

 

Para Pemimpin

Selanjutnya, gugatan diarahkan kepada para pemimpin Hamas. Berikut ini bunyi gugatan keempat:

Pemimpin Indonesia ikut berperang langsung bersama tentaranya, pemimpin Hamas tidur di hotel Qatar bersama keluarganya.

Ungkapan ‘pemimpin Indonesia ikut berperang langsung bersama tentaranya’ tentu saja perlu dikritisi. Pemimpin yang mana? Apakah Sukarno-Hatta ikut angkat senjata dan bergerilya di hutan? Apakah para menteri juga ikut berperang? Kisah Sukarno dan Sudirman yang ‘pecah kongsi’ akibat penyerahan diri di Yogyakarta yang telah disebutkan di atas semestinya sudah mampu menjawab.

Bahkan soal keberadaan pemimpin dalam jihad ini bisa pula dijawab dengan Sirah Nabawiyah. Dalam Perang Badar, salah seorang sahabat Rasulullah saw mengusulkan agar beliau tinggal di tenda di garis belakang bersama para pengawalnya demi keamanan. Meskipun pada akhirnya Rasulullah saw turun juga ke medan perang, tapi hal itu baru dilakukannya setelah kedatangan para malaikat. Dengan kata lain, jika seorang pemimpin harus diungsikan ke tempat yang aman dari jangkauan musuh, maka hal itu boleh saja dilakukan. Sebab, kehilangan seorang jendral beda dengan kehilangan seorang kopral. Anak kecil pun tahu.

Ulama pun menggunakan logika yang demikian. Beberapa ulama terbesar Indonesia, misalnya Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syaikh Nawawi al-Bantani, nyaris tak pernah pulang ke kampung halaman. Justru keberadaan mereka di Tanah Suci terbukti sangat merepotkan Belanda, sebab orang Indonesia yang ‘biasa-biasa saja’ biasanya pulang dari ibadah Haji sudah menjadi ‘radikal’ karena didikan para ulama ini. Tentu saja ini juga didorong oleh kenyataan bahwa ibadah haji di masa lampau memakan waktu cukup lama. Buya Hamka, sebagai contoh, dalam perjalanan Hajinya yang pertama, telah berada di Tanah Suci sejak bulan Sya’ban. Waktu beberapa bulan itu dimanfaatkan maksimal oleh para ulama untuk membangkitkan semangat jihad.

Mengingat Gaza cuma sedikit lebih besar daripada Depok, sehingga para pemimpin Hamas berisiko ditangkap dan dihabisi jika tetap di sana, maka menempatkan para pemimpin di tempat yang aman jelas ada perlunya juga. Masih segar dalam ingatan betapa Syaikh Ahmad Yassin dan penggantinya, ‘Abdul ‘Aziz ar-Rantissi; keduanya syahid pada tahun yang sama. Tentu saja Hamas perlu belajar dari pengalaman.

Tuduhan bahwa pemimpin Hamas ‘enak-enak’ di hotel adalah perbuatan yang memalukan dari kalangan yang mengaku suka mengikuti sunnah Rasulullah saw. Saya pribadi pernah mengikuti sebuah perjamuan di sebuah rumah makan di Depok. Saat itu, yang dijamu adalah seorang tokoh dari Palestina. Apa dinyana, setelah semua makanan dipesan, beliau justru tak mau makan kecuali tiga butir kurma saja. Ketika ditanya alasannya, beliau mengaku tak biasa makan malam sejak dipenjara dahulu. Meski telah keluar dari penjara dan berada di negeri yang aman, mereka tetap tak makan malam kecuali dengan tiga butir kurma, karena memikirkan saudara-saudara mereka yang masih dipenjara.

Apakah para pemimpin Hamas seperti itu juga? Saya tidak bisa memastikan, sebagaimana orang lain pun tak bisa memastikan sebaliknya. Yang jelas, mengungsikan pemimpin ke tempat aman tidak melanggar aturan syari’at yang manapun.

 

Etika Perang

Selanjutnya, mereka menggugat:

Tentara Indonesia berperang tidak di pemukiman warga, Hamas berperang dari dalam bawah tanah, dan menabrakkan roket Israel di atas pemukiman warga.

Rasanya sudah lelah memberi contoh dari sejarah Indonesia. Supaya persoalan ini bisa selesai dengan cepat, bagaimana jika kita berkaca pada pengepungan benteng-benteng Khaybar? Apa gerangan yang berada di balik tembok-tembok benteng itu? Yup, pemukiman!

Soal ‘menabrakkan roket Israel di atas pemukiman warga’ kalimat ini terlalu rancu untuk direspon. Apakah maksudnya adalah Hamas bersalah karena memancing kaum zionis menembakkan roket ke pemukiman di Gaza? Soal ini sudah dibahas dalam artikel saya sebelumnya, tentang dihujaninya kampung-kampung dengan mortir Belanda. Dengan menimbang Gaza yang sangat sempit sedangkan penghuninya sangat banyak, maka usulan ‘jangan membahayakan warga sipil’ itu sama saja dengan menyerukan agar jangan berjuang sekalian.

Di antara video-video penderitaan warga Gaza yang membuat kita merasa pilu, adakah korban yang mengutuki Hamas karena perlawanannya? Tidak. Mereka tahu jihad adalah jalan untuk mendapatkan kemerdekaan, dan pengorbanan mereka adalah harga yang pantas untuk kemerdekaan itu.

Apa iya generasi salaf bangsa ini tidak mengalami hal yang sama? Ah, ini sudah selesai!

 

Mengungsi Sebelum Bertempur

Dengan semangat anti-Hamas yang begitu menggebu-gebu, lagi-lagi saudara kita yang patut dikasihani ini memanipulasi sejarah, kali ini dengan metode cherrypicking. Mereka menggugat:

Jika pertempuran tidak bisa menghindar dari pemukiman warga, maka Indonesia mengungsikan warga dahulu seperti tragedi BANDUNG LAUTAN API. Hamas tidak peduli keselamatan warga, meski sudah terjadi bertahun-tahun.

Untuk yang satu ini, saya cukupkan dengan pertanyaan: “Selain Bandung Lautan Api, apa ada contoh lain?” Sambil menunggu jawabannya, boleh sambil menyeduh kopi, atau sekalian menyiapkan makan malam dan tidur sekalian. Sebab, bertempur setelah mengungsikan warga itu kondisi yang amat sulit dilakukan. Di Indonesia yang tanahnya luas pun sulit, apalagi di Gaza! Apa kabarnya Surabaya pada 10 November 1945, apakah saat itu tak ada pemukiman warga di sana? Bagaimana dengan Yogyakarta ketika Agresi Militer Belanda II, apakah sudah dikosongkan dari warga sipil?

Semua gugatan di atas pada akhirnya hanya menghabiskan waktu umat yang berharga. Jika anak-anak yang membuat kesimpulan semacam itu, baiklah. Mungkin mereka belum mendalami sejarah. Tapi jika orang dewasa pelakunya, saya khawatir akar masalahnya adalah pada kejujuran. Kalau sudah tak jujur, kita bisa apa? Sejarawan boleh salah, tapi tak boleh bohong.

Menurut saya, gugatan-gugatan prematur seperti di atas juga timbul akibat kurangnya penguasaan terhadap ilmu-ilmu kontemporer, antara lain sejarah perjuangan bangsa Indonesia, politik luar negeri, hubungan internasional dan sebagainya. Kepada mereka yang mengalami masalah semacam ini, saya sarankan untuk bertanya kepada para ahlinya. Itu perintah agama.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

No Comments

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.