04 Jun Strategi Rumah Mengepung Masjid
assalaamu’alaikum wr. wb.
Banyak orang mengeluh karena — di masa pandemi ini — semuanya terpaksa dilakukan di rumah. Ayahnya bekerja di rumah, anaknya belajar di rumah, dan ibunya makin kelimpungan di rumah. Bukan hanya tidak bisa pergi bekerja dan sekolah secara normal, tapi ibadah pun tidak bisa normal. Umat Muslim tidak bisa shalat lima waktu berjama’ah di masjid, demikian juga tarawih, i’tikaf dan Shalat ‘Id.
Akan tetapi, Allah SWT-lah yang telah berjanji di dalam Al-Qur’an:
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Al-Insyirah [94]: 5-6)
Ini adalah hukum Allah SWT yang niscaya berlaku dalam segala kondisi hingga akhir zaman. Tidak ada kesulitan tanpa kemudahan. Kalau ada kesulitan, maka carilah kemudahan, karena ia pasti ada, meski tersembunyi. Memang masalahnya, jangankan tergerak untuk mencari, kadangkala kitalah yang langsung memvonis bahwa keadaannya sudah begitu buruk sehingga tak ada titik terangnya. Atau, kita sendirilah yang menentukan apa yang baik, dan jika itu tak terjadi, maka berarti situasinya mutlak buruk. Padahal, Allah SWT pula yang telah berfirman:
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Karena kita sangat menginginkan kemenangan, maka kemenangan itu kita anggap sebagai kebaikan mutlak, dan sebaliknya, kekalahan adalah keburukan mutlak. Akan tetapi, ternyata Allah SWT tidak menganggap demikian. Bahkan dalam kondisi keterpurukan pun ada kebaikan yang tersembunyi, sesuai firman-Nya:
Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Ali ‘Imran [3]: 140)
Kenyataannya, para pahlawan itu baru ‘muncul ke permukaan’ dalam situasi-situasi sulit. Di Perang Uhud, kita menyaksikan dua fenomena sekaligus, yaitu fenomena kemunafikan dan keimanan. Tiga ratus pasukan mundur dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubay bahkan sebelum perang dimulai. Sementara itu, kita saksikan bagaimana Hamzah ra dan Mush’ab ra menjemput kesyahidan, Abu Dujanah ra memenuhi janjinya untuk tidak berhenti menyabetkan pedang Rasulullah saw di tangannya, dan Thalhah ra kehilangan jari-jarinya untuk melindungi Rasulullah saw.
Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Bahkan jika kita harus menelan kekalahan pahit dan mati di tangan musuh, maka di situ ada kemudahan yang bernama mati syahid. Kalau Anda mendapatkan gelar syahid, betapa mudahnya urusan di akhirat kelak!
Pandemi ini tidak selalu soal hidup dan mati, dan situasi kita tidak seberapa genting dibandingkan Perang Uhud. Karena itu, pertama-tama, yakinkanlah diri bahwa ada kebaikan yang Allah SWT telah siapkan untuk kita di balik semua kepayahan ini.
Mari berpikir secara sederhana saja, dengan rumus yang sudah kita hapalkan bersama: “Jika ada kesulitan, pasti ada kemudahan”. Kesulitannya sudah jelas, dan memang yang namanya kesulitan itu paling mudah dideteksi. Kita tidak bisa bekerja, sekolah dan beribadah dengan normal, karena tidak bisa keluar rumah sembarangan. Konsekuensinya, kegiatan kita terfokus di rumah.
Keluar dari zona nyaman memang tidak mudah, tapi semua orang sukses pasti memulai kesuksesannya dari situ. Justru, mereka yang terbuai dengan zona nyaman itulah yang akan sulit menemukan kesuksesan, karena hidupnya stagnan.
Dengan anak-anak belajar di rumah, maka tugas orang tua bertambah. Biasanya, sebagian tugas mendidik ini diberikan kepada para guru di sekolah. Walaupun sebagian pelajaran diberikan secara online, tetap saja orang tua harus menyesuaikan diri. Meskipun ini proses yang tidak mudah, tapi kini orang tua punya kesempatan untuk mengerti kesulitan anak dalam belajar, dan bukannya hanya menerima hasilnya saja di akhir periode. Memang butuh pengorbanan besar, namun jika bisa dilalui dengan baik, maka orang tua akan memiliki pemahaman yang jauh lebih baik tentang anak-anaknya sendiri. Kelak, saat mereka memilih jurusan di perguruan tinggi, misalnya, para orang tua sudah bisa memahami pilihan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Para ayah, yang dipaksa oleh keadaan untuk lebih lama di rumah, juga bisa lebih menghargai kepayahan para ibu di rumah, karena sekarang mereka bisa menyaksikannya sendiri. Sekali lagi, tidak dipungkiri bahwa harus ada pengorbanan. Akan tetapi, jika ujian ini bisa dilalui dengan baik, dan bukannya disesali, maka akan terbangun kedekatan yang lebih baik di dalam keluarga.
Jadi, ini soal liburan bersama keluarga? Bukan!
Coba lihatlah ke dunia kita kini. Ada berapa banyak Youtuber yang jumlah subscriber-nya jauh lebih banyak daripada akun-akun dakwah, padahal mereka banyak mencontohkan perilaku tak berguna? Seburuk apa pun perilaku mereka, lihatlah betapa banyaknya follower mereka yang tampil sebagai pembela! Mereka, para pembela di dunia maya itu, adalah anak-anak muda bau kencur yang barangkali masih usia SMA atau SMP. Ada berapa banyak grup LGBT dan akun predator seksual di luar sana yang mengincar anak-anak kita? Pangkal dari semua permasalahan itu adalah keluarga. Sekiranya mereka memiliki keluarga yang kondisinya baik, niscaya mereka takkan mencari solusi permasalahan hidupnya dari orang-orang asing di dunia maya.
Menyelesaikan persoalan di rumah adalah separuh dari solusi bangsa. Keluarga adalah benteng terakhir harapan kita ketika lingkungan, hiburan, dunia maya, bahkan bangku sekolah pun tidak bisa diharapkan. Ke mana anak-anak kita harus menyampaikan keluhannya jika mereka tak bisa berbicara terus terang kepada orang tuanya? Mengapa masa-masa pandemi ini tidak kita maknai sebagai kesempatan yang Allah SWT berikan kepada kita untuk memperbaiki keluarga kita?
Memang kita bersedih karena harus menjauh dari masjid untuk sementara waktu. Tapi jika dulu yang terbiasa mengimami shalat itu hanya beberapa saja di setiap komplek, maka kini semua kepala keluarga harus membiasakan diri mengambil tugas itu. Banyak pula ayah yang membawa anak-anaknya ke masjid, namun di dalam masjid mereka berpisah; ayahnya di shaf terdepan, anaknya shalat di belakang agar bisa bebas bercanda bersama teman-temannya. Kini, karena semua shalat di rumah, maka mereka terbiasa untuk shalat dengan serius, sebab kalau bercanda pasti ketahuan. Memang benar, pahala shalat berjama’ah sangat menggiurkan, tapi jangan-jangan dahulu rumah kita bagai kuburan, karena kita jarang mendirikan shalat di dalamnya. Sekarang, kalau rumah kita masih seperti kuburan, maka sungguh keterlaluan!
Sebutlah ia strategi “rumah mengepung masjid”. Jika dulu masjid adalah satu-satunya pusat ibadah, maka kini mudah-mudahan para malaikat sudi juga berkumpul di rumah-rumah kita, lantaran ia disemarakkan oleh amal ibadah kita. Setiap rumah ‘menghasilkan’ anak-anak yang baik, yang jiwanya sehat, yang hatinya terikat dengan orang tuanya. Kelak, mereka akan tumbuh menjadi para mujahid harapan umat!
Masukkanlah faktor kerinduan dalam perhitungan. Bagaimanapun, kita berharap ini semua hanya sementara saja. Sebentar lagi, ia akan berakhir, insya Allah. Ketika saatnya tiba, kita akan kembali meramaikan masjid. Kalau dulu, ketika imam berhalangan hadir, kita akan saling mempersilakan dengan penuh rasa sungkan untuk mencari penggantinya, maka insya Allah kita tak akan kekurangan stok imam shalat setelah pandemi ini berakhir. Masa-masa penuh pengorbanan ini akan kita kenang selamanya, dan kita akan berjanji dengan penuh kesungguhan pada Allah SWT untuk tidak lagi menyia-nyiakan nikmatnya berkumpul di masjid.
Ketika pandemi ini berakhir, dengan izin Allah SWT, ia akan menjadi hari kemenangan kita bersama!
wassalaamu’alaikum wr. wb.
No Comments