Tragedi Kepalsuan
1654
post-template-default,single,single-post,postid-1654,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-3.3.2,woocommerce-no-js,qodef-qi--no-touch,qi-addons-for-elementor-1.8.1,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,qode-smooth-scroll-enabled,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-30.8.3,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-8.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Tragedi Kepalsuan

Tragedi Kepalsuan

assalaamu’alaikum wr. wb.

Kenyataan memang tidak selalu mudah untuk diterima, apalagi jika Anda terlanjur jatuh cinta dengan imajinasi. Memang imajinasi bisa diatur sekehendak hati, dan karenanya, ia memabukkan. Akan tetapi, keindahan dari realita adalah pada kesejatiannya. Adapun kepalsuan, ia hanya akan melahirkan kepalsuan-kepalsuan berikutnya.

Terbiasa berbohong akan menyebabkan orang sulit menentukan mana yang benar dan mana yang bohong, bahkan jika kebohongan itu berasal dari kata-katanya sendiri. Itulah, barangkali, sebagian dari sifat orang-orang munafiq yang dicela di awal Surat Al-Baqarah dalam firman-Nya:

Mereka hendak membohongi Allah dan orang-orang yang beriman, namun mereka hanya membohongi diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak menyadarinya. (QS. Al-Baqarah [2]: 9)

Allah SWT jelas tak bisa dibohongi. Orang-orang beriman bisa saja diperdaya, namun pada hakikatnya mereka tidaklah dirugikan, sebab yang berbohong itulah yang sebenarnya merugi. Saat menganggap dirinya telah mendapatkan keuntungan dari berbohong, pada titik itulah sebenarnya mereka telah membohongi diri sendiri. Sebab, kalaupun mereka berhasil melakukan tipu daya di dunia, maka sesungguhnya mereka justru akan semakin terpuruk di akhirat, lantaran ‘keberhasilannya’ itu. Alangkah baiknya jika mereka gagal!

Pada tingkat yang paling parah, seorang pembohong sejati benar-benar akan menjadikan dirinya sendiri sebagai korban. Saya ingat sebuah pengalaman bertahun-tahun silam, ketika saya dijadwalkan untuk tampil untuk berdebat dengan seseorang. Setelah sebelumnya menyatakan siap hadir, pada akhirnya ia tidak jadi datang. Yang menarik adalah cerita tentang dirinya yang disampaikan kepada saya oleh para panitia debat. Katanya, walaupun sudah menyatakan akan hadir, namun ia sangat sering mempertanyakan apakah nanti acara debatnya akan dipastikan aman atau tidak. Rupa-rupanya, ia khawatir betul akan dicelakai. Saya maklum jika ia menyangka akan berhadapan dengan kaum radikal, karena nampaknya memang menuduh-nuduh setiap orang yang berlawanan dengan dirinya sebagai radikalis-fundamentalis-teroris itulah mata pencahariannya. Terlalu sering ia melabeli orang sebagai penyuka kekerasan, sehingga akhirnya ia menjadi korban propagandanya sendiri. Ujung-ujungnya, ia tak berani hadir, semata-mata karena ‘hantu’ yang telah diciptakannya sendiri.

Terganggukah Anda dengan film Iron Man yang menceritakan bagaimana Tony Stark, miliuner pedagang senjata, narsis dan playboy, ditangkap dan disiksa di Afghanistan? Pengaruh film Iron Man terhadap sikap rakyat Amerika Serikat terhadap ‘perang melawan terorisme’ memang masih perlu diselidiki kadarnya, namun propaganda semacam inilah yang membuat mereka begitu yakin bahwa negerinya berada dalam keadaan bahaya, karena kaum radikal (yang diidentikkan dengan Arab dan Islam) akan menyiksa mereka kapan saja ada kesempatan. Padahal, justru dua penjara AS-lah, yaitu Abu Gharib dan Guantanamo, yang sangat dikenal karena kekejamannya. Tapi, tentu saja, kenyataan tak laku dijual di Hollywood!

Di tengah-tengah perbincangan soal perang akhir jaman antara kutub Timur dan Barat, antara yang haq dan yang bathil, barangkali ada perspektif lain yang dapat digunakan, yaitu perang antara kenyataan dan kepalsuan. Perang ini, sebenarnya, sudah terjadi sejak lama. Nabi Ibrahim as, misalnya, harus menghadapi kaum yang begitu delusionalnya, sehingga harus dibenturkan dengan kenyataan. Bagi mereka yang akalnya sehat, sudah jelas bahwa berhala bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Akan tetapi, untuk memahamkan kepada akal rakyat yang delusional, terpaksa Nabi Ibrahim as mengambil sebuah langkah radikal: semua berhala dirusak, kecuali yang terbesar. Ketika tuduhan dialamatkan kepada dirinya (karena memang Nabi Ibrahim as selalu mengkritisi penyembahan berhala), beliau balik menuduh berhala terbesar itulah pelakunya. Sambil tertunduk, para penuduh itu mengakui bahwa yang namanya berhala tidaklah bisa berbicara, apalagi membela diri, apatah lagi berbuat! Sayangnya, ‘fase akal sehat’ ini cuma sebentar saja. Sejurus kemudian, mereka sudah menyalakan api unggun besar untuk membakar Nabi Ibrahim as hidup-hidup. 

Mereka tahu mereka salah dan Nabi Ibrahim as benar, dan mereka tak lagi punya argumen untuk membantah. Akan tetapi, mereka lebih memilih kepalsuan. Itulah esensi dari kekafiran. Di kemudian hari, para penerus mereka pun susah payah menerima kebenaran, meskipun dari lelaki terbaik yang sudah terlanjur mereka gelari sebagai Al-Amin.

Mustahil menemukan jalan keluar dari lubang kepalsuan. Warga AS dibohongi (dan membohongi diri sendiri) dengan meyakini bahwa seluruh dunia membenci mereka, dan karenanya, mereka halalkan segala cara demi mengamankan segala kepentingannya. Akibatnya, apa yang mereka khawatirkan justru benar-benar terjadi; begitu banyak bangsa yang memandang mereka sebagai biang kerok segala kerusakan di muka bumi sejak paruh akhir abad kedua puluh.

Mendustakan Nabi Ibrahim as tidak menyelesaikan masalah kaum musyrikin. Taruhlah Nabi Ibrahim as berhasil mereka bunuh, lantas siapa yang akan mengembalikan ‘martabat’ berhala yang telah dirusak itu? Dapatkah mereka menyembahnya dengan keyakinan yang sama? Ataukah diam-diam hati kecil akan menyadari kebohongan itu? Akankah, sebagaimana lazimnya, kesadaran itu terlambat menyapa ketika nyawa telah di ujung tenggorokan? Tapi tentu saja, bukan begitu akhir ceritanya. Nabi Ibrahim as telah Allah selamatkan, sedangkan mereka yang memilih untuk kufur tetap saja begitu keadaannya.

photo_2019-12-26 17.07.15Belum lama ini, saya menulis di fanpage saya, berkaitan dengan kenyataan dan kepalsuan juga. Saya menulis:

Saya heran, hari gini masih ada saja yang mencela aktivisme membela yang jauh (misal: Uyghur) dengan alasan masih banyak masalah di negeri kita. Argumen seperti ini sudah dari dulu dipakai. Dalam ranah politik, yang kenyang diomongin begini ya PKS, karena sering bikin aksi untuk bela Palestina, orang-orang Rohingya dsb. Tapi di lapangan, saat terjadi musibah di dalam negeri, nyatanya kan yang hadir ya PKS juga, bukan yang mencela tadi. Demikian juga FPI. Mau dituduh bagaimana pun, tetap saja kenyataannya FPI-lah yang konsisten hadir menolong rakyat di saat musibah. Ormas-ormas yang dananya jauh lebih berlimpah harusnya malu menyaksikan kiprah FPI, karena ternyata kontribusi tidak ditentukan oleh anggaran. Memang ini semua soal hati. Kembali ke pokok masalah. Apa sih yang membuat bangsa ini begitu terpaku dengan narasi, dan lupa dengan kenyataan di lapangan? Ini betul-betul problem intelektual!

Di luar sana, rupanya, ada ‘pecinta imajinasi’ yang mungkin merasa tersakiti dengan tulisan ringkas ini. Entah bagaimana, Facebook berhasil ‘diyakinkan’ bahwa tulisan tersebut telah melanggar suatu batas aturan tertentu, yang entah bikinan siapa. Mungkin ada saja yang akan menyahut, “Ya itu ‘kan suka-suka Facebook! Kalau tak suka, tak usah main Facebook!” Ya benar, memang dengan sangat terpaksa saya harus menerima saja perbuatan Facebook. Tapi itu tidak membuat yang salah menjadi benar, bukan? Kenyataan tetaplah kenyataan, kepalsuan tetaplah kepalsuan.

Para pemuja kepalsuan sesungguhnya hanya berharap pada sesuatu yang absurd, tak ubahnya Iblis yang pikirannya sudah kalut dikacaukan oleh kesombongan dan ketakutan akan murka Allah. Dalam keterpojokannya, Iblis malah minta perpanjangan waktu, bukan pengampunan. Apa bedanya dihukum sekarang dengan nanti? Tidak ada kebaikan dari penundaan itu. Malah sebaliknya, perpanjangan waktu justru menjadi penyebabnya melakukan dosa lebih banyak lagi, dan karenanya, kelak ia akan dihukum lebih keras lagi.

Semestinya, engkau sudah mampu mengira-ngira akhir perjalanan ini!

wassalaamu’alaikum wr. wb.

No Comments

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.