Tuhan yang Sama
611
post-template-default,single,single-post,postid-611,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-3.3.2,woocommerce-no-js,qodef-qi--no-touch,qi-addons-for-elementor-1.8.1,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,qode-smooth-scroll-enabled,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-30.8.3,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-8.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Tuhan yang Sama

Tuhan yang Sama

assalaamu’alaikum wr. wb.

Di sebuah whatsapp group yang saya ikuti, saya mendapatkan sebuah tulisan pendek. Tidak ada yang baru, bagi pengamat wacana pluralisme agama seperti saya, namun bisa jadi ‘menginspirasi’ bagi orang awam yang umumnya mudah terpukau oleh kata-kata. Salah satu paragrafnya berbunyi:

Nama Tuhan bisa kau sebut Allah, El, Elahim, Jehovah, Ahura Mazda, Isvara, Sang Hyang Widhi, dan sebutan yang lain, tapi esensi Tuhan sendiri sama. Setiap pemeluk melihat Mentari dari tempat yang berbeda, tapi Sang Mahacahaya sendiri adalah sumber sinar yang sama nan abadi, yang menyinari segala tanpa kecuali.

Di sebuah buku yang saya temukan bertahun-tahun silam, seorang doktor dan guru besar di salah satu perguruan tinggi yang cukup dikenal pernah menulis soal ‘Tuhan yang sama’ ini. Menurutnya, kurang lebih, yang namanya agama itu pastilah membicarakan Tuhan. Agama kita membicarakan Tuhan, agama orang lain membicarakan Tuhan juga. Maka, entah ini bisa dibilang kesimpulan atau tidak, barangkali Tuhan yang kita bicarakan itu adalah Tuhan yang sama.

Entah bagaimana seorang doktor membangun argumen seperti ini. Sebab kalau manusia di seluruh dunia membicarakan kursi, tentu kita takkan mengira bahwa mereka membicarakan kursi yang sama. Demikian pula semua orang menyebut kata “rumah”, tapi kita pun maklum bahwa rumah mereka berbeda-beda. Ketika para suami membicarakan istri, janganlah sampai ada yang mengira bahwa istri mereka itu sama. Bagaimana pun, logika ini anehnya hanya diterapkan untuk agama, khususnya lagi untuk Tuhan.

Sang doktor adalah seorang Muslim, bahkan pernah punya jabatan penting di salah satu ormas Islam besar di negeri ini, namun bukunya, yang berbicara tentang Tuhan dan agama, malah diterbitkan oleh sebuah penerbit Kristen. Mungkin di samping segala kekonyolannya, hal ini mengandung hikmah juga. Sebab, karena identitas penerbitnya itu, maka bukunya diletakkan di rak buku Kristen, bukan buku Islam. Apakah umat Kristiani di tanah air setuju dengan pemikirannya, itu adalah masalah lain yang perlu dikonfirmasi kembali.

Di Barat juga sudah lama pluralisme ditawarkan kepada masyarakat, juga dengan simplifikasi berlapis-lapis. Ada seorang doktor teologi yang menyatakan bahwa peribadatan di masjid, gereja dan sinagog itu sebenarnya 11-12, alias beda-beda tipis saja. Bedanya, menurutnya, di masjid orang beribadah tanpa musik, di sinagog boleh bernyanyi tapi tak menggunakan alat musik, sedangkan di gereja orang boleh bernyanyi dan bermain alat musik. Perbedaan yang lain, di masjid tak boleh pakai sepatu dan topi, di sinagog boleh pakai sepatu tapi harus melepas topi, dan di gereja boleh pakai sepatu dan juga boleh pakai topi. Analisisnya berhenti di sini. Tak ada kajian teologis maupun filosofis. Selanjutnya, terjadilah ‘lompatan logika’ yang entah dari mana asalnya. Menurut sang doktor teologis, semua agama menyembah Tuhan yang sama, hanya memandang-Nya dari sisi yang berbeda-beda.

Teori ‘Tuhan yang sama’ nampaknya memang tidak mau susah-susah untuk masuk ke dalam kajian yang serius tentang Tuhan itu sendiri (temukan ironinya!). Biarpun diusung oleh para profesor doktor dan guru besar, ketika mengusung pluralisme agama, sangat jarang kita menemukan kajian yang sungguh-sungguh mendalam. Semua bicara tentang ‘hakikat Tuhan’ atau ‘esensi Tuhan’, dan tiba-tiba saja menyimpulkan bahwa hakikat dan esensi itu sama saja di semua agama. Tapi bukankah untuk mengajukan tesis seperti itu dibutuhkan kajian yang mendalam sebelumnya?

Untuk mengatakan bahwa Dzat yang disebut Allah dalam agama Islam itu sama dengan Yehova, Ahura Mazda dan sebagainya dalam agama-agama lain, tentu kita harus mengkaji secara teliti. Bagaimana Allah memperkenalkan diri-Nya dalam Al-Qur’an? Samakah dengan apa yang disebut ‘Tuhan’ di agama lain?

Kalau sudah dihadapkan pada pertanyaan ini, biasanya kaum pluralis akan menggunakan logika ‘orang buta dan gajah’. Orang buta yang satu memegang belalai gajah, orang buta kedua memegang perutnya, orang buta ketiga memegang ekornya, orang buta keempat memegang kupingnya, dan seterusnya. Masing-masing akan mendapatkan informasi berbeda soal gajah. Ya, berbeda. Tapi tidak berlawanan!

Misalnya orang buta pertama memegang belalai gajah, maka ia akan mengenali belalai tersebut dari ciri-cirinya: panjang, bisa bergerak luwes, kuat, dan seterusnya. Walaupun ia belum bisa menyimpulkan apa itu belalai, namun kita cukup yakin bahwa ia takkan menyangkanya sebagai kaki atau telinga. Demikian juga yang memegang perut gajah yang besar dan bulat, insya Allah dia takkan mengira bahwa perut itu adalah ekor, sebab perut sangat berlainan dengan ekor.

Masalahnya, keterangan Tuhan dalam kitab suci masing-masing agama itu lebih jelas ketimbang seekor gajah yang diraba-raba oleh orang buta. Dalam Al-Qur’an, misalnya, kita bisa mengambil deskripsi yang paling sederhana di Surah Al-Ikhlash. Tuhan itu: (1) bernama Allah, (2) tunggal, tiada sekutu, (3) tempat bergantung kita, (4) tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan (5) tidak ada yang setara dengan-Nya. Bagaimana dengan sesuatu yang disebut ‘Tuhan’ tapi tidak bernama Allah? Apakah dia sama dengan Allah? OK, Allah sendiri memiliki banyak nama (Asmaul Husna), tapi nama-nama itu pun ada keterangannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits; bukan hasil karangan sendiri. Dan dalam rujukan-rujukan tersebut tidak ditemukan nama Yehova, Ahura Mazda, Zeus, Ra, dan sebagainya.

Allah SWT juga tidak beranak dan tidak diperanakkan. Karena itu, Dia pastilah bukan yang dibicarakan dalam Trinitas. Allah bukan sesuatu yang disebut dengan ‘Tuhan Bapa’ dan ‘Anak Tuhan’ dalam Trinitas dan segala penjelasannya yang begitu rumit. Keesaan Allah begitu mudah dijelaskan: Allah itu tunggal, titik! Tidak ada yang mirip dengan Allah, tidak ada yang memiliki kemampuan seperti Allah, tidak ada yang mampu mengkudeta Allah, dan seterusnya. Bagaimana mendudukkan dua teori yang begitu berbeda seperti Tauhidullaah dengan Trinitas? Menyatakan bahwa keduanya sama-sama benar itu serupa dengan mengatakan bahwa panas adalah dingin dan dingin adalah panas. Hancurlah ilmu pengetahuan semuanya, karena orang tak lagi mengerti apa yang tengah dibicarakannya sendiri.

Jika mendudukkan dua konsep ketuhanan yang sangat berbeda dalam dua agama saja sudah begitu rumit, tentu akan jauh lebih rumit lagi jika yang hendak kita dudukkan adalah tiga, empat, lima, enam atau tujuh agama. Bagaimana mendudukkan Tauhidullaah, Trinitas dan politeisme sekaligus? Orang bisa saja mengatakan bahwa ‘Tuhan’ yang banyak dalam agama politeis (sebutlah: agama pagan Yunani dan Mesir kuno) sesungguhnya hanya menunjukkan banyak sifat dari Tuhan yang satu, sebagaimana Asmaul Husna pada hakikatnya hanya menyifati Dzat yang sama. Tapi kisah dalam mitologi Yunani dan Mesir kuno begitu rumitnya, sebab dewa-dewi yang disebutkan di dalamnya itu tidak hanya memiliki sifat yang berbeda-beda, namun juga saling berkonflik, saling bersiasat dan saling berperang. Jika mereka hanya mewakili sifat berbeda dari satu Tuhan yang sama, maka apakah dapat kita simpulkan bahwa dalam diri Tuhan ada konflik kepribadian? Subhaana Rabbika, Rabbil ‘izzati ‘ammaa yasifuun. Maha Suci Allah dari hal yang semacam itu.

Kita belum lagi memasukkan agama Hindu, Budha, Zoroaster, Yahudi, Baha’iyyah dan sebagainya ke dalam persamaan. Banyaknya agama dan beragamnya konsep ketuhanan dalam agama-agama tersebut semestinya sudah membuat kita maklum bahwa menganggap semuanya sama adalah simplifikasi yang tidak bertanggung jawab. Namun jika masih ada juga yang bersikeras menutup mata dari semua perbedaan itu, bolehlah kita ajukan sebuah pertanyaan sebagai batu ujian: Sudah berapa agama sih yang sudah Anda teliti, hingga sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan di segala agama itu sama saja? Kita dapat membayangkan, jika memang ada orang yang sudah meneliti semua agama, niscaya ia akan memiliki cukup bahan untuk menulis berjilid-jilid buku ilmiah. Pada kenyataannya, para pengusung paham pluralisme agama umumnya bahkan tak pernah menulis satu buku pun yang menunjukkan kajian mendalam tentang agamanya sendiri, apalagi berbagai agama, apatah lagi semua agama.

Tidak ada pijakan ilmiah bagi seseorang untuk mengatakan bahwa semua agama itu sama, ajaran setiap agama pada dasarnya sama, apalagi menyimpulkan bahwa yang disebut ‘Tuhan’ dalam semua agama itu sama. Jika ada yang masih ngotot memperjuangkan paham ini, lihatlah betapa sederhana dan rapuhnya konstruksi pemikiran yang ia bangun.

Masing-masing agama adalah sistem ajaran yang kompleks yang tidak mungkin ditelaah secara simplistis. Jika tujuan yang ingin dicapai adalah toleransi, maka tentu akan sia-sia jika kita menutup mata dari kenyataan dan kemudian menghalalkan segala cara, termasuk kebohongan.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

15 Comments
  • muh. al fatih
    Posted at 10:28h, 10 March Reply

    Mencerahkan stadz..

  • edwin dinazar
    Posted at 11:37h, 10 March Reply

    Logis sekali Mas Akmal.kawan sy pernah seperti itu, gegara belajar filsafat.sayangnya, mgkn pengajaran agama Islam di negeri ini kurang mendalami aqidah, tetiba masuk ke perkara ibadah, hingga banyak yg beribadah karena terpaksa (itupun ibadah dlm arti sempit)
    Imbasnya, ketika aqidah rapuh, digoyang sedikit pun langsung runtuh, langsung mengiyakan faham baru itu secara penuh dan sungguh-sungguh
    Semoga Allah senantiasa hadirkan hidayahNya bagi kita agar senantiasa berjalan di jalanNya

  • Bukan Tuhan
    Posted at 20:45h, 11 March Reply

    Tuhan itu tidak ada. Konsep Tuhan hanya akal-akalan manusia zaman dahulu untuk menjelaskan sains. Agama Islam hanya akal-akalan orang Arab agar ada yang mau mengunjungi negeri mereka yang tandus. Tidak menarik untuk dijajah. Buktinya perintah naik haji ke Mekah mereka letakkan di surat terdepan Al-Quran. Layaknya brosur wisata. Di halaman-halaman belakang hanya ocehan berulang-ulang belaka.

    Untuk memperdalam tulisan anda, saya sarankan anda untuk membaca juga kitab-kitab dari ulama Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah lah yang menjadi pencetus masa keemasan Islam. Tulisan anda saat ini hanya tipikal pemikiran Islam sunni pada umumnya.

    • malakmalakmal
      Posted at 19:59h, 01 April Reply

      Anda bilang Tuhan tak ada, tapi merujuk pada Mu’tazilah. Memang sejak kapan Mu’tazilah bilang Tuhan itu tak ada? 😀

  • Kabariyanto
    Posted at 11:44h, 01 April Reply

    Ada ilah, ada Allah. Dalam syahadat sudah jelas dan gamblang. Ada Muhammad SAW yang menjadi Rasul pembawa yang bersumber dari Allah.

    Tulisan om Akmal seperti tombak yang menghujam kemalangan sekuler.

  • Pingback:Akmal Sjafril | Yang Penting Baik
    Posted at 10:06h, 03 April Reply

    […] yang sama, hanya dengan nama dan detil peribadatan yang berbeda (baca tulisan saya yang lainnya: Tuhan yang Sama). Karena itu, tak perlu memperdebatkan agama mana yang benar, karena semuanya benar. Yang penting […]

  • Syahrial Paputungan
    Posted at 23:35h, 23 April Reply

    bismillah..

    mencerahkan UStadz.. 🙂

    Afwan,, Ana minta izin utk copy artikel antum ke blog ana..
    in syaa Allah ana sertakan Sumbernya..

    boleh Ustadz.???

  • Yang Lain
    Posted at 12:55h, 24 December Reply

    Tesis anda dapat berdiri, tapi saya menyayangkan metode argumen anda yg masih terjebak di konsepsi tuhan layaknya ada keseragaman di kalangan ummat Muslim sendiri. Untuk membandingkan “tuhan” perlu ada dialektika di tingkat budaya, terutama bahasa. Jika anda merasa konsepsi tuhan “Islam” dan “Kristen” (atau “Allah” dan “Zeus”) itu berbeda, apa yg membuat anda berpikir bahwa “Allah” dalam konteks budaya Indonesia dan “Allah” dalam budaya Timur Tengah adalah hal yg sama?

    • malakmalakmal
      Posted at 13:07h, 25 December Reply

      Sejak kapan orang Indonesia berhak mengarang sendiri “Allah” versinya?

  • Yang Lain
    Posted at 17:08h, 09 January Reply

    Apakah Tuhan dikarang sehingga anda langsung berpikir adanya “hak mengarang”?

    • malakmalakmal
      Posted at 19:04h, 09 January Reply

      Baghdad itu ada, dan orang yang menulis soal Baghdad pun ada. Tapi sebagian penuturan orang soal Baghdad itu tidak benar, bisa jadi karena murni imajinasi. Nah seperti itulah kekeliruan Anda. Mudah-mudahan setelah dikasi analogi jadi lebih mudah dipahami.

  • Yang Lain
    Posted at 16:13h, 10 January Reply

    Bukankah Said sudah menulis Orientalisme dan bagaimana “Arab” sebagai citra direka? Atau konsep ini tidak masuk ke disertasi anda? Pertanyaan saya sebelumnya lebih sederhana, sebenarnya. Tapi saya akan bantu dengan menggunakan analogi anda: Jika “bisa jadi karena murni imajinasi”, apa pondasi anda untuk berpikir bahwa umat Islam di Timur Tengah dan Indonesia memiliki konsepsi akan “Allah” yg sama?

    • malakmalakmal
      Posted at 10:04h, 21 January Reply

      Memangnya Said itu Nabi di agama apa? Apa dia pasti benar? Konsepsi tentang Allah itu berdasarkan wahyu, bukan dari daerah masing-masing. Makanya saya simpulkan bahwa Anda-lah yg sebenarnya berimajinasi.

  • Yang Lain
    Posted at 13:17h, 04 February Reply

    Jika anda membaca Said–atau penulis lainnya, termasuk anda sendiri–maka respon anda “Said itu Nabi di agama apa?” membingungkan. Posisi teoritis bukan untuk dipercayai, melainkan diuji keabsahan metode dan substansi pemikirannya. Said sebagai seorang peneliti kolonialisme dan profesor keturunan Palestina mempunyai latar belakang yang kuat mengenai soal Arab. Jika anda tidak sepakat dengan komentar saya soal Orientalisme (Said), silakan bantah secara keilmuan (daripada sekedar menggunakan straw man argument, ad hominem, atau fallacies lainnya).

    Melalui postingan ini saya sedang menguji metode dan substansi pemikiran anda.

    Saya lanjutkan pertanyaan saya: Meminjam logika anda, tau dari mana anda bahwa yang di Timur Tengah tidak sedang “berimajinasi” seperti saya?

    • malakmalakmal
      Posted at 08:24h, 01 March Reply

      Karena Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw, bukan oleh Edward Said. Kalau memperbandingkan Said dgn Rasulullah saw, takkan sebanding. Tidak ada manusia yg dikenal lebih jelas ketimbang Rasulullah saw. Kata2 dan perbuatannya sesuai, dan diriwayatkan oleh ribuan sahabatnya. Beliau tokoh historis, bukan mitologis, dikenali bukan lewat tulisannya saja (seperti Said dan para penulis lainnya), tapi dari kehidupan pribadinya. Orang meriwayatkan cara makannya, cara berjalannya, sampai cara buang airnya. Bahkan musuh2nya pun tahu bahwa beliau tak pernah berdusta. Kalau ada yg berpikir bahwa Tuhan yang dibicarakan oleh Rasulullah saw adalah hasil imajinasi, maka lebih masuk akal lagi menuduh bahwa Said dan Anda-lah yg berimajinasi, karena reputasi Said dan Anda tidak lebih baik daripada beliau. Jadi kalau ada yg lebih percaya Said daripada Rasulullah saw, ya itu pilihan, tapi pilihan yg bodoh.

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.