21 Feb Ustadz Panggung
assalaamu’alaikum wr. wb.
Kalau ada sapaan yang paling tidak saya sukai, kurang lebih semacam inilah kalimatnya:
”Hai Mal! Udah jadi ustadz lo sekarang, ya!?”
Maafkanlah. Demi Allah saya tidak berprasangka buruk kepada yang bertanya seperti ini, namun ijinkanlah saya berkisah tentang betapa gawatnya situasi umat sekarang ini. Di saat-saat umat dilanda kebingungan mencari pegangan, sosok seorang guru (atau sebutlah: ‘ustadz’) semestinya memberikan kesejukan dan harapan. Dan memang begitulah para ustadz. Namun tidak demikian halnya dengan mereka yang menjadikan ‘ustadz’ sebagai gelar kebesaran diri dan bahkan jalan untuk mencari mata pencaharian.
Saya tidak pernah menganggap diri saya sebagai seorang ustadz, dan sampai sekarang tidak pernah terbiasa dengan sebutan itu. Tapi bisa jadi juga perasaan itu subyektif belaka. Sebab, tidak ada perasaan yang sama ketika mendengar istilah “guru”, padahal istilah ini dimaknai kurang lebih sama saja dengan istilah “ustadz” (setidaknya dalam benak masyarakat Indonesia). Persoalannya, terlalu banyak yang menjadikan dakwah sebagai jalan untuk mencapai kemasyhuran dan kekayaan pribadi, dan, meski yang tidak tersesat ke jalan itu masih lebih banyak, namun yang muncul di hadapan mata masyarakat justru umumnya yang seperti itu.
Sungguh saya beruntung karena Allah SWT mempertemukan saya dengan orang-orang hebat yang saya cintai karena kedalaman ilmunya, karena hal yang demikian itulah yang membuat saya memahami adab. Betapa menjijikkannya orang yang menyangka dirinya raksasa, padahal ia hanyalah liliput di hutan belantara ilmu. Barangkali di dunia para kutu pun ada satu-dua ekor yang besar kepala dan merasa dirinya paling hebat, padahal hidupnya hanya menumpang di tubuh seekor anjing. Mereka tak pernah melihat dunia luas, namun merasa sudah tahu segalanya. Semoga Allah menyelamatkan kita semua dari delusi kebesaran diri semacam itu.
Terlalu banyak hamba Allah yang berilmu, sehingga tak berani lisan ini mengaku sebagai orang berilmu. Siapa kita di hadapan Buya Hamka, yang di hari-hari terakhirnya terbaring tak sadarkan diri karena obat penenang berdosis tinggi yang diberikan kepadanya, namun setiap waktu shalat beliau terbangun dan mendirikan shalat? Siapa kita di hadapan Imam Bukhari yang berkelana ke seluruh penjuru Bumi Allah demi melakukan tugas mulia yang hanya dapat dilakukan oleh orang sekelas beliau; yang hasil dari pekerjaan sepanjang hidup itu kemudian dinikmati umat hingga detik ini? Siapa kita di hadapan Abu Dujanah ra yang menerima pedang Rasulullah saw dan bertempur tanpa langkah mundur? Siapa kita di hadapan Mush’ab ra yang meninggalkan segala kekayaan dunia demi bersama Allah dan Rasul-Nya? Siapa kita di hadapan Abu Bakar ra yang selalu melaksanakan perintah tanpa bertanya? Jika engkau mengenal mereka, niscaya engkau merasa tak pernah berilmu.
Tapi di luar sana banyak orang yang menggunakan ilmunya yang hanya sedikit demi keuntungan pribadi yang begitu besar. Mereka poles wajahnya dengan seksama, mereka atur penampilannya sedemikian rupa, mereka karang kata-kata dan retorika agar terdengar apik di atas panggung. Wajah mereka bercahaya, pakaian mereka indah, tubuh mereka wangi, kata-kata mereka begitu memikat. Semua senang mendengarkan ia mengurai masalah hidup, dan semua pulang dengan tersenyum.
Betapa berbahayanya dunia ketika ia telah mampu membelokkan niat. Keindahan surga dan kehormatan yang telah disiapkan untuk mereka yang membaktikan hidup di jalan dakwah tiba-tiba saja terlupakan karena ramainya penonton, riuh-rendahnya sorak-sorai dan tawa yang mengiringi canda, apalagi jika diakhiri dengan aksi cium tangan masal. Ah, betapa mudahnya setan menjerat mangsa-mangsanya!
Apa yang berkecamuk di dalam hati ketika engkau menaiki panggung, sedangkan ujung sepatumu terletak pada ketinggian yang sama dengan kepala orang-orang? Apa yang kau rasakan ketika mata-mata mereka menatap takjub kepadamu, menyimak setiap kata indah yang kau susun dengan cepat di dalam benakmu? Di bawah sana, di ketinggian sepatumu, ada orang-orang yang jauh lebih tua darimu, seusia bapak-ibumu, bahkan kakek-nenekmu, dan mungkin juga ada orang-orang sakit yang telah berpayah-payah demi menghadiri majelismu. Mereka tak tahu aib-aibmu, dan mereka memang tak perlu tahu.
Tapi apa gerangan yang terjadi di sana, di kedalaman hati?
Betapa mudah manusia terjerumus dalam kebinasaan setelah tadinya mencapai puncak kehormatan. Diam-diam, mereka yang semestinya mendampingi umat dalam susah-senangnya ternyata sudah terlanjur nyaman di tempat tinggi; di atas panggung yang sejajar dengan kepala orang. Ia tak pernah lagi menghampiri umat yang butuh solusi, tak pernah lagi memenuhi undangan para mahasiswa yang anggarannya serba terbatas, tak mau lagi mengisi pengajian kalau belum ada kesepakatan harga, minta tiket pesawat kelas ini dan menginap di hotel kelas itu, bahkan tidak mau hadir kalau belum ada uang muka. At the end of the day, it’s just business. Nothing more.
Panggung telah disiapkan. Tampillah sang penebar retorika indah di atas panggung. Singgasana kehormatan telah disiapkan untuknya, sekedar menunggu giliran tampil, mungkin di sela-sela penampilan band atau apa. It’s just showbiz!
Kalau sudah begitu, semua pertanyaan niscaya ada jawabannya, semua masalah bisa dibuatkan fatwanya. Tentu, fatwa yang dimaksud adalah yang sesuai dengan keinginan audiens, atau mungkin keinginan sang pemberi fatwa sendiri. Tak tahulah. Mau jadi Muslim tapi benci Arab? Boleh. Mau bilang semua agama benar? Bisa. Mau hubungkan nama Ahok (yang kalau ditulis dengan huruf hijaiyyah kira-kira menggunakan huruf hamzah, haa’ dan kaaf) dengan kata “Akhaka” (hamzah, khaa’ dan kaaf)? Silakan saja! Apa sih yang nggak bisa dipelintir? Yang salah akan tetap benar selama engkau masih di atas panggung, dan selama kepala mereka masih sejajar dengan sepatumu.
Mereka tak tahu aib-aibmu, dan memang tak perlu tahu. Barangkali mereka benar-benar menyangka dirimu tak punya aib, sebab engkau berdiri di ketinggian, sebab kepala mereka harus mendongak untuk menatap wajahmu, sebab engkau begitu enak dipandang dan kata-katamu begitu indah didengar, dan entah karena sebab-sebab apa lagi. Apa pun yang engkau katakan, toh audiens tak pernah diberi kesempatan untuk angkat bicara.
Mereka yang digelari ‘ustadz’ semestinya menjadi guru umat. Tugas mereka adalah mencerdaskan masyarakat. Tidak ada kehinaan bagi seorang guru jika ada di antara muridnya yang menjadi jauh lebih pandai daripada dirinya. Setinggi-tingginya gelarmu, takkan pernah bisa kauhapus hutang budi kepada guru SD yang mengajarimu mengeja, menulis dan berhitung. Amat disayangkan, kini ada orang yang disangka guru namun kehadirannya hanya menimbulkan keriaan barang sesaat. Kajiannya tidak menyelesaikan masalah umat, melainkan hanya sebagai obat penenang yang menawarkan hilangnya rasa sakit untuk sebentar saja; tugas yang sebenarnya bisa ditunaikan oleh para pelawak.
Betapa pedihnya hati menyaksikan banyak orang yang bergelar ‘guru’ namun justru membodohi umat. Tapi kalau dipikirkan baik-baik, memang umat yang bodoh itulah yang mereka butuhkan. Sebab, semakin minim ilmunya, semakin mudah mereka terpikat pada pakaian, pada kata-kata, dan pada sepatu yang berada pada ketinggian kepala mereka.
Para ‘guru menyesatkan’ ini, di dalam hatinya, tak akan lagi kautemukan keterpesonaan pada akhirat. Di dalam kepala mereka ada ilmu, sayangnya pandangan mereka tertutup oleh dunia. Mereka memiliki akal yang pandai, namun sayang di hatinya ada penyakit. Takkan kautemukan pelita yang mampu mengusir kegelapan dari kata-katanya.
Itulah sebabnya, sahabat, saya tidak pernah terbiasa dengan sebutan ‘ustadz’. Jangan pula mengira bahwa dakwah ini adalah pekerjaan, karena ia adalah kewajiban kita bersama, sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Jika engkau telah merasakan kelezatan Islam, pastilah ada banyak hal yang hendak engkau sampaikan perihalnya kepada orang lain. Itulah dakwah. Natural, seperti jantungmu yang berdenyut tanpa menunggu disuruh.
Sahabat, tolonglah umat ini! Jauhkanlah umat dari para pencari kemasyhuran itu. Jangan lagi siapkan panggung untuk mereka. Berhentilah menghidupi mereka. Jangan biarkan umat tertipu dengan ‘obat penenang’ yang mereka tawarkan. Lihatlah sekelilingmu, tataplah dengan seksama. Di sekitar kita masih banyak guru-guru umat yang sebenarnya. Pakaian mereka sederhana, senyum mereka akrab, jabat tangannya begitu erat, peluknya begitu hangat. Rumahnya penuh dengan buku, bukan kostum panggung. Hartanya habis untuk mencari ilmu, padahal ia sudah berilmu. Jika adzan berkumandang, ia datang menyambut, dan jika umat membutuhkan uluran tangan, niscaya tangannyalah yang akan kautemui. Itulah para pewaris Nabi, junjungan kita yang dahulu ikut berkubang bersama umat, menggali parit bersama umat, ber-jihad bersama umat, bahkan beliau menanggung beban paling berat di antara yang lainnya. Para guru sejati adalah mereka yang makan dan minum bersamamu, tertawa dan menangis bersamamu, berdiri dan duduk pada ketinggian yang sama denganmu.
Sahabat, tolonglah kami! Jangan jerumuskan kami kepada kebinasaan. Iblis adalah hamba Allah yang taat sebelum ia larut dalam kesombongan. Jauhkanlah kami dari kebinasaan yang serupa, yang telah menimpa banyak manusia sebelumnya.
Yaa muqallibal-quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika…
wassalaamu’alaikum wr. wb.
Joni Sugiharto
Posted at 14:37h, 21 FebruaryAssalamuálaikum duhai Saudara ku. Entah kenapa tulisan antum seolah hal2 yg yg terpendam lama dalam sanubari saya. Saya tidak mengenal antum secara pribadi, begitu juga sebaliknya. Tapi tulisan antum begitu pas dengan apa yg dulu ingin pernah saya ungkapkan. Hanya bingung harus diungkap dimana. Saya hanya ingin berkomentar semoga tulisan antum banyak dibaca para asatidz kita, setidaknya agar supaya beliau2 bisa merenungkan kembali arti dakwah ini. Memang para guru /ustadz konon cobaannya paling berat, kami sebagai ummat dianjurkan selalu mendoakan mereka. Dan yg penting lagi jangan menambah berat cobaan mereka.
Jundy Abdurrahman
Posted at 17:48h, 21 FebruaryBaarokalloh fiek Ust
Annisaa
Posted at 17:53h, 21 FebruaryAssalamualaikum.. Pak Akmal,,betapa santun anda mengingatkan apa2 yg terjadi skg. Saya yang awam ini, merasa bingung. Ingin rasanya menambah ilmu agama dengan mendengarkan tausiah2 dr para ust. /ustdzh di tv (karena paling mudah dilihat d rumah) tp kok “isi”nya kadang gak pas gt. Jd seolah2 mau berilmu saja yg mengajari ilmunya koq ya gini ya.. Dari banyak kejadian yg telah ad, semoga para ustz/ustdzh yg “sebenarny” bisa tampil d muka umum, sehingga org awam seperti saya dpt belajar sesuai tuntunan syariah islam. Aamiin.
Dari saya yg sedikit sekali ilmu
Anila Gusfani
Posted at 19:11h, 21 FebruaryBaarakallah, stadz. Semoga kami gak memberatkanmu. Semoga kami tak berlebihan dalam memperlakukanmu, dan semoga kalaupun ada yang berlebih, semata-mata karena hormatnya kami kepada sang guru.
Teruntuk semua guru2 kami.
Febriyan Iswahyudhi
Posted at 22:10h, 21 FebruaryAssalamuaalaikum stadz.. Tulisan mu begitu santun, sejuk jiwa ini tak kala membaca tulisan mu. Padahal tulisan mu begitu memiliki power untuk mengingatkan para “Ustadz Panggung”, namu antum memberi bahasa yg santun, semoga Allah selalu melembutkan hati kita. Tapi bagi saya yg fakir ilmu, gelar ustadz merupakan sikap hormat saya kepada seseorang yg mampu memberi pelajaran kepada saya.
Barakallah stadz,
Vonny Olivia Djumadi
Posted at 22:28h, 21 FebruarySubhanallah… Kata kata apik tersusun dalam sebuah bingkai tawadhu.
Barakallahu fiyk
Sunhadji
Posted at 08:52h, 22 FebruaryBarokAlloh…manteb tulisanya mas i proudly of u
Leni Fitria
Posted at 10:50h, 22 FebruarySemoga Allah istiqomahkan para penyampai kebenaran.
Mulkan Fauzi
Posted at 08:33h, 23 FebruaryAlhamdulillah. Tercerahkan, kang. Sebagai orang tak berilmu yang sering dipanggil ustadz hanya karena jenggotan aja … saya juga merasa ‘risih’. Mungkin masyarakat kita telah terjejali dengan permainan ustadz-ustadzan di TV, sehingga pake baju koko dikit dipanggil ustadz, sering ke masjid berjamaah dipanggil ustadz, anu-anu segala dipanggil ustadz.
Delia Sati
Posted at 20:49h, 16 MarchSeorang profesional, tenaga ahli BATAN memenuhi undangan kami, mahasiswa dengan modal pinjaman untuk mengadakan seminar nasional, menawarkan diri membayar tiket pesawatnya sendiri. Kami malu sekali, tentu kami sedikit tahu cara berterimakasih pada kerendahan hatinya… Dia adalah inspirasi yang menganak sungai di jiwa kami.. Semoga para asatidz yang demikian semakin banyak, karena dengan begitu, semakin banyak yang terinspirasi. Barokallaah Ustadz, tulisannya luar biasa..
malakmalakmal
Posted at 20:02h, 01 AprilBetapa banyak org shalih di sekitar kita, sehingga tak ada kesempatan bagi kita untuk memandang diri sebagai yang paling shalih 🙂
Pingback:I’m Starting This Again – Habit Trackers
Posted at 23:07h, 11 December[…] I’m digging deep into Akmal Sjafril. I kind of liking the way that he’s just a normal person, but strike an inspiration inside of me. Maybe I’ll find out more about this interest. His website Akmal Sjafril […]
Feby Andriansyah
Posted at 11:54h, 14 JanuarySungguh kedalaman ilmu dan rangkaian kata santun namun tetap mengunggkap keresahan ummat terpancar dalam semua tulisan gurunda Akmal, ane sebagai seorang murid , selalu membutuhkan tulisan semacam ini
Baarakallah, stadz, jazzkallahu Khoiron Katsiron
malakmalakmal
Posted at 14:23h, 15 JanuaryWaduuuh kok mau2nya jadi murid saya hehehe