13 Jun Yang Lebih Jahat Daripada Plagiarisme
assalaamu’alaikum wr. wb.
Plagiarisme itu sendiri sudah buruk. Tidak, tidak ada alasan untuk memoles kesalahan yang satu ini sehingga terlihat wajar. Is it okay just because everybody’s doing it? Well, no. Lagipula, kata siapa semua orang melakukannya?
Yang salah tidak menjadi benar hanya karena semua orang melakukannya. Kalau logika itu dipertahankan, maka semakin banyak pengikut setan, semakin amanlah mereka. Sebab, kalau semua orang sudah mengikuti setan, maka perbuatannya tidak dianggap salah lagi. Logis? Akal sehat kita melarang cara berpikir yang demikian.
Kita adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai kebenaran. Kalau tidak demikian, maka bukan manusia namanya. Binatang, sesuai instingnya, menjadikan naluri survival sebagai prioritas utamanya. Tapi manusia, adakalanya, bisa mengorbankan jiwanya sendiri demi memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Yang seperti itulah yang kita sebut sebagai pahlawan. Adapun manusia yang hanya ingin cari selamat, maka tinta sejarah pun tak sudi menorehkan namanya. Mereka lebih buruk daripada binatang. Setidaknya, binatang tidak menggunakan akal karena mereka memang tidak berakal.
Manusia yang tunduk pada naluri hewani untuk ‘asal selamat’ akan menghalalkan segala cara. Ingin selamat dari ujian nasional? Nyontek. Ingin urusan cepat beres? Menyuap. Ingin cepat kaya? Korupsi. Ingin kelihatan pintar? Plagiat. Apa yang bisa diharapkan dari manusia yang semacam ini?
Meniru adalah cara yang valid dalam belajar, tapi meniru pun ada aturannya. Ada yang merumuskan: amati-tiru-modifikasi (ATM). Kita memang terbiasa meniru orang yang sudah lebih ahli, namun yang disebut meniru itu bukanlah menyalin mentah-mentah. Meniru seorang penulis kawakan, misalnya, dilakukan dengan meniru gaya berceritanya, kosa katanya, plotnya, dan sebagainya. Meniru seorang pelukis, bisa dilakukan dengan memilih warna-warni yang serupa, gaya yang mirip, dan sebagainya. Tapi kalau hasil tiruannya sama persis, entah apa manfaatnya.
Mengaku terinspirasi oleh hasil karya orang lain justru menunjukkan kehormatan diri. Kecuali Anda adalah manusia pertama di kolong langit (tapi saya ragu Nabi Adam as membaca tulisan ini), maka tidaklah mungkin Anda tidak belajar dari orang lain. Apa sih yang kita pelajari sendiri? Pup di toilet saja diajari. Berpakaian sebelum keluar kamar mandi saja harus diingatkan berkali-kali. Tidak mengakui kontribusi orang lain justru membuat kita kelihatan sombong dan, lebih parah lagi, konyol.
Dari segi pendidikan, plagiarisme itu tidak bermanfaat, karena pada kenyataannya tidak pernah melahirkan karya yang orisinil. Dari segi etika, plagiarisme adalah perbuatan tak beradab (dengan kata lain: biadab), sebab mengingkari kontribusi dan karya milik orang lain. Tapi masalah yang tersembunyi di dalam jiwa seorang plagiator masih lebih mengerikan lagi.
Plagiarisme, sebagaimana juga menyontek, korupsi dan perbuatan curang lainnya, adalah ekspresi ketidakmampuan diri. Jauh di dalam sana, sang pelakunya tahu bahwa ia tidak mampu untuk mencetak prestasi dengan cara jujur. Karena itu, diambillah jalan pintas. Di permukaan, pelaku kecurangan bisa saja kelihatan senang, tentu dengan catatan kecurangannya belum terungkap. Akan tetapi, di kedalaman hatinya, ia menderita. Sebab, ia tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak layak.
Suatu ketidakjujuran pada akhirnya harus dilindungi dengan ketidakjujuran berikutnya. Misalnya, jika seseorang bilang bahwa ia baru pulang dari Kota A, padahal sebenarnya ia hanya tidur-tiduran di rumah, maka ia harus menyiapkan cerita tentang petualangannya di Kota A, kalau-kalau ada yang bertanya. Kalau mau sukses berbohong, harus ada teman yang bisa diajak bersekongkol untuk menambahkan alibi. Tapi itu artinya kebohongan yang baru lagi, dan temannya itu pun harus mempersiapkan cerita yang lebih panjang lagi untuk meyakinkan orang akan ceritanya. Maka terjadilah kebohongan berjamaah.
Plagiarisme tidak berbeda. Ia tidak lebih dari sebuah ketidakjujuran yang harus ‘dilindungi’ oleh ketidakjujuran lainnya. Apalagi di jaman sekarang, ketika jejak digital terlalu sulit untuk dihapus. Kalau ketahuan plagiat, maka harus disiapkan kebohongan-kebohongan yang mumpuni. Teorinya memang begitu, tapi tetap saja plagiarisme itu tidak direkomendasikan. Sebab, mau diputarbalikkan bagaimana pun, ia tidak dapat dibenarkan.
Di antara semua kebohongan yang digunakan untuk melindungi sebuah plagiarisme, kebohongan yang paling parah adalah mengatakan bahwa plagiarisme itu tidak salah. Plagiarisme adalah pengkhianatan seseorang terhadap sisi kemanusiaannya sendiri, namun pembenaran terhadap plagiarisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pembenaran terhadap plagiarisme menciptakan jiwa-jiwa yang mendua. Jiwa-jiwa yang bangga karena mendapat kehormatan palsu, mencandu pada kecurangan karena keberhasilannya memperdaya orang, namun juga menderita karena ketidakmampuannya untuk membohongi hati terdalam. Jiwa yang tak memiliki kelayakan tak mampu menipu dirinya sendiri, meski ia berusaha sedemikian kerasnya. Seorang pembohong tetaplah pembohong. Tidak akan lebih dari itu. Pembenaran terhadap sebuah kebohongan akan menambah masif jumlah jiwa yang semacam ini.
Belajarlah dari Nabi Adam as. yang sangat memahami kodratnya sebagai manusia. Kadang kita lupa mana yang benar, dan di lain waktu mungkin kita tahu kebenaran, namun lupa untuk berkomitmen padanya. Tapi Nabi Adam as adalah manusia yang berakal, bukan Iblis yang suka membangkang. Seberapa pun terpuruknya bapak kita Adam as, beliau tetap menjunjung tinggi kebenaran, sehingga yang salah tetaplah diakuinya salah. Karena itu, urusannya dengan Allah dimudahkan, dan permohonan ampunnya diterima. Tapi rupanya Iblis menyangka bahwa yang salah itu bisa dipaksakan menjadi benar. Karena itu, dalam dialog-dialog panjangnya dengan Allah SWT, sebagaimana diabadikan dalam Surah Al-A’raaf dan Al-Hijr, tak ada sepatah kata pun permintaan ampun dari Iblis. Satu-satunya permintaan yang diajukannya adalah dipanjangkannya umur, itu pun untuk menyesatkan anak-cucu Adam as. Iblis tetap ngotot dengan kebenaran versinya sendiri, meski ia pastilah tahu bahwa Allah tak pernah salah.
Manusia memang tempatnya lupa. Karena itu, berbuat salah itu manusiawi. Tapi senjata andalan manusia adalah akalnya. Dengan akalnya, manusia bisa bedakan yang benar dan yang salah. Manusia juga tahu bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Manusia sejati mengekang dirinya untuk berkomitmen pada kebenaran, menjauhi pelanggaran, dan jika terlanjur melanggar, ia menahan dirinya untuk tidak terus-menerus berada dalam kesesatan dan kembali ke jalan yang benar. Kata “‘aql” (akal) itu sendiri makna dasarnya adalah “kekangan”. Karena itu, jika tak mampu mengekang diri, maka pada hakikatnya Anda tak berakal, meski tidak diragukan lagi bahwa Anda memang berotak.
Manusia yang tak bisa menahan dirinya sendiri sejatinya telah kehilangan kemanusiaannya. Karena itulah, membenarkan plagiarisme adalah kejahatan yang jauh lebih sadis daripada plagiarisme. Sudah terjerumus, malah menggali lubang lebih dalam.
Satu plagiator saja sudah buruk. Kalau kejahatan ini mau dicari-cari pembenarannya, berapa banyak yang akan terinspirasi? Tiba-tiba saja, kita hidup di negeri yang tak lagi kenal aturan, tak lagi peduli benar dan salah, dan bahkan sudah lupa apa itu makna kejujuran. Siswanya menyontek, gurunya menyuruh menyontek, orang tuanya mencarikan contekan, dan kepala sekolahnya tutup mata. Rakyatnya saling menipu, wakil rakyatnya berlomba korupsi, dan pejabatnya tebar pencitraan. Anda mau tinggal di negeri seperti itu?
Selalu ada harapan bagi kemanusiaan, selagi kejujuran itu masih ada.
wassalaamu’alaikum wr. wb.
Pingback:Yang Lebih Jahat Daripada Plagiarisme - MOSLEM UPDATE
Posted at 11:52h, 13 June[…] Sumber: Malakmalakmal […]