Superioritas Masjid
1740
post-template-default,single,single-post,postid-1740,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Superioritas Masjid

Superioritas Masjid

IMG20190405163531

 

assalaamu’alaikum wr. wb.

Ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan, banyak yang mengkritisinya sebagai kebijakan setengah hati. Pasalnya, masyarakat memandang tidak ada penegakan aturan yang benar-benar tegas kepada para pelanggarnya. Kalau sudah begitu, maka dapat ditebak, pasti akan banyak saja pelanggaran. Memang hal itulah yang kemudian terjadi. Pasar-pasar tetap ramai dan jalanan tetap macet, meski tak dapat dipungkiri pula bahwa pandemi Covid-19 telah membuat sebagian besar rakyat terbiasa untuk tidak melakukan kontak fisik, sering mencuci tangan, dan mengenakan masker.

Berbeda dengan pemerintah yang terkesan ragu-ragu dalam melakukan pembatasan sosial, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah sejak jauh-jauh hari menerbitkan fatwanya untuk merespon perkembangan pandemi ini. Paling tidak sudah empat fatwa yang diterbitkan oleh MUI dalam persoalan ini, yaitu fatwa-fatwa tentang: (1) penyelenggaraan ibadah di tengah situasi wabah Covid-19, (2) pedoman shalat untuk tenaga kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri (APD) saat menangani pasien Covid-19, (3) pedoman pengurusan jenazah Muslim yang terinfeksi Covid-19, dan (4) panduan untuk takbiran dan Shalat ‘Idul Fithri saat wabah Covid-19. Ketika wacana ‘pelonggaran’ PSBB mengemuka, hal yang sama tidak terjadi pada fatwa-fatwa di atas.

Berdasarkan fatwa MUI pertama pada daftar di atas, umat Muslim di daerah-daerah yang telah terpapar wabah Covid-19 memang diperintahkan untuk tidak melaksanakan ibadah secara berjama’ah untuk sementara waktu, dan itu berarti mengosongkan masjid-masjid di daerah-daerah itu. Pada saat yang bersamaan, pelaksanaan PSBB yang longgar memberikan pemandangan yang sangat bertolak belakang; masjid kosong, namun pasar tetap ramai.

Kontrasnya suasana di masjid dan di tempat-tempat umum seperti pasar ini menimbulkan reaksi di kalangan umat Muslim yang telah cukup lama memendam rindu dengan rumah-rumah Allah. Mengapa orang dilarang-larang ke masjid, namun dibiarkan saja ke tempat-tempat lainnya? Insiden menjelang penutupan gerai restoran cepat saji McD di Sarinah jelas tidak membantu, demikian juga ujaran seorang Youtuber yang menyatakan bahwa dirinya tidak suka cuci tangan dan mengenakan masker. Di tempat lain, seorang rocker sudah berkoar di tayangan langsung televisi untuk mengatakan bahwa wabah ini cuma semacam fiksi saja, dan pembatasan sosial ini hanyalah konspirasi. Begitu kuat keyakinannya pada teori konspirasi, sehingga ia pun tak bisa menahan diri dari menyerang agama yang dianggapnya juga bagian dari konspirasi itu sendiri. Seluruh Indonesia pun terbahak-bahak, namun tawanya terasa miris.

Di kalangan Umat Muslim pun teori konspirasi sangat banyak peminatnya. Sebagian orang menganggap ghazwul fikri (perang pemikiran) itu identik dengan teori konspirasi, sehingga lupa bahwa yang namanya perang harus dimenangkan dengan aksi, bukan dengan kesimpulan bahwa semuanya adalah hasil persekongkolan freemasonry atau illuminati. Akibatnya, banyak orang yang terpapar dengan teori-teori semacam ini malah menjadi pesimis karena melihat betapa rumitnya persoalan dan betapa rapinya persekongkolan. Kapankah — dalam sejarah peradaban manusia yang sangat panjang ini — ada kaum yang bisa memenangkan perang dengan pesimisme?

Mereka yang rujukannya selalu teori konspirasi memandang dirinya sendiri sebagai obyek yang pasif, alias bulan-bulanan musuh, bukan aktor sejarah yang dapat mempengaruhi jalannya permainan dengan caranya sendiri. Karena itu, ketika mereka dilarang ke masjid, sementara orang-orang bebas ke pasar, mal, bandara dan sebagainya, mereka memandang dirinya tengah dikerjai oleh aktor-aktor intelektual yang bukan main cerdasnya. Padahal, yang melarang mereka ke masjid (yaitu MUI) tidak sama dengan yang melaksanakan ‘PSBB setengah matang’ itu. Dalam fatwa-fatwanya, MUI tidak hanya menguraikan kesimpulannya saja, tapi juga memberikan penjelasan yang cukup panjang lebar mengenai alasan-alasan dan rujukan-rujukan yang dijadikannya sebagai landasan pemikiran. Akan tetapi, kita pun tahu, masyarakat Indonesia yang relatif berpendidikan pun masih banyak yang lemah dalam literasi, apalagi yang tidak terdidik dengan baik. Meskipun fatwa telah disusun dengan cermat, tetap saja banyak yang lebih suka untuk mempercayai teori konspirasi.

Ada beberapa hal yang sangat mengganggu dari fenomena di permukaan ini. Umat Muslim terlihat begitu gamang karena ‘kehilangan pegangan’ dalam menyikapi persoalan-persoalan di hadapannya (dalam hal ini adalah masalah pandemi Covid-19). Jika patokannya adalah benar dan salah, maka fatwa-fatwa di atas semestinya sudah mencukupi. Mereka yang mau berpayah-payah sedikit untuk membacanya secara teliti akan mendapatkan penjelasan akan prinsip-prinsip yang digunakan oleh para ulama untuk memformulasikan fatwa-fatwanya, misalnya prinsip untuk mendahulukan menghindari mudharat ketimbang mendapatkan manfaat. Dengan membacanya, kita pun akan menyadari bahwa fatwa-fatwa tersebut telah dibangun di atas pertimbangan-pertimbangan yang memang patut, dan dengan demikian, jika kita memang harus tidak datang ke masjid, maka itu kita lakukan berdasarkan syari’at, bukan karena dipaksa oleh siapapun.

Jika benar-salah memang menjadi fokus kita, dan kita sudah meyakini bahwa keputusan yang diambil itu benar, maka kita tidak perlu risau dengan orang-orang yang mengambil keputusan yang salah. Hanya karena orang ramai-ramai berkumpul di Sarinah, bukan berarti kita harus ikut-ikutan. Sama halnya seperti kita — saat di sekolah dulu — diajarkan untuk tidak perlu ikut-ikutan menyontek, membolos atau tawuran, hanya karena teman-teman kita banyak yang melakukannya. Untuk persoalan ‘independensi intelektual’ ini, sepatutnyalah umat Muslim menjadi teladan bagi yang lain. Bukankah para Nabi sejak dahulu menghadapi para pelaku kemusyrikan yang hanya bermodalkan argumen ‘ini adalah perbuatan nenek moyang kami’?

Yang salah tetap salah, meski banyak yang melakukannya. Demikian juga kebenaran tetaplah kebenaran, meski banyak pembelanya yang harus menerima akibat tidak menyenangkan dari keteguhan sikapnya. Terbunuhnya seorang pahlawan tidak melunturkan status kepahlawanannya, dan besarnya kekuasaan seorang bajingan tidak membuatnya menjadi mulia di mata sejarah.

Tidak selayaknya masjid diperbandingkan dengan pasar atau tempat-tempat lainnya. Di rumah-rumah Allah, tidak ada yang layak selain kebenaran, sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan dikembangkan oleh para ulama pewaris Nabi. Kebenaran itu diketahui setelah kita mengolah berbagai tuntunan Ilahi dari berbagai sumber secara intelektual, bukan emosional. Dilihat dari sisi manapun, memang tidak semestinya kesalahan yang membawa manusia berkumpul di pasar atau bandara menyebabkan pula kerusakan di masjid.

Kalau kita sepakat bahwa masjid memiliki martabat yang tinggi, maka sudah semestinya mereka yang hatinya selalu ada di masjid memiliki martabat yang tinggi pula. Tidak sepantasnya jama’ah masjid merendahkan dirinya hingga ke derajat ‘jama’ah pasar’, ‘jama’ah mal’, ‘jama’ah Youtuber’, ‘jama’ah selebgram’ atau yang lainnya. Jika mereka melakukan perbuatan bodoh, maka mungkin memang itulah yang pantas untuk mereka, bukan untuk kita. Orang-orang yang terbiasa menjernihkan akal dan hatinya di masjid, menyimak kajian-kajian keilmuan yang serius di sana, memang sudah sepantasnya memiliki tingkat intelektualitas yang lebih tinggi daripada golongan-golongan selainnya.

Seandainya — seandainya saja — problem pandemi ini tak kunjung pergi dari Indonesia, setidaknya kita dapat mengatakan dengan mantap di hadapan Allah SWT kelak bahwa kita bukanlah bagian dari masalah. Memang ada orang-orang yang akalnya sulit diajak mencerna persoalan dengan tenang dan jernih, tapi kita bukan bagian dari kelompok itu. Mereka yang mencintai masjid istiqamah di jalan yang benar, meski kebanyakan manusia menempuh jalur sebaliknya. Tidak ada yang percuma, sebab kelak semua ini akan kita perbincangkan kembali di hadapan Allah SWT kelak.

Benarlah pesan Ilahi dalam Surat Al-‘Ashr. Manusia itu tidak cukup hanya beriman dan beramal shalih, melainkan juga harus saling menasihati. Selain saling memberi nasihat dalam kebenaran, juga harus dalam kesabaran. Sebab, tidak sedikit orang yang tahu jalan kebenaran, namun tidak sabar dalam menempuhnya.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

No Comments

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.