Belajar dari Nabi Ibrahim as: Ketika Tiba Saatnya Memberikan Pengorbanan Terbaik
1252
post-template-default,single,single-post,postid-1252,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Belajar dari Nabi Ibrahim as: Ketika Tiba Saatnya Memberikan Pengorbanan Terbaik

Belajar dari Nabi Ibrahim as: Ketika Tiba Saatnya Memberikan Pengorbanan Terbaik

Di bawah ini adalah teks Khutbah Idul Adha 1439 H yang saya sampaikan di Perumahan Pondok Sukmajaya Permai, Depok, 22 Agustus 2018. Untuk mengunduh dalam format .PDF secara lengkap, silakan klik di sini.

 


 

Belajar dari Nabi Ibrahim: Ketika Tiba Saatnya Memberikan Pengorbanan Terbaik

 

Akmal Sjafril

 

 

photo6334649855191918632Ma’asyiral mu’miniina rahimakumullaah.

Dalam sejarah kehidupan Rasulullah saw, tercatatlah sebuah perang besar yang mungkin merupakan perang yang paling dahsyat yang beliau terlibat langsung di dalamnya. Namanya adalah Perang Ahzab, terambil dari kata “ahzaab” yang merupakan bentuk jamak dari kata “hizb” yang artinya “partai/kelompok”. Disebut demikian, karena pada perang ini, Quraisy mengajak serta kabilah-kabilah lainnya untuk mengeroyok Madinah.

Perang Badr Kubra yang terjadi pada tahun kedua Hijriyah telah menyisakan perasaan terhina yang sangat mendalam di kalangan kaum musyrikin Mekkah. Kabilah Quraisy yang sebenarnya sangat terpandang itu merasa betul-betul tercoreng mukanya lantaran tak bisa mengatasi anak mereka sendiri, yaitu Rasulullah saw. Selepas Perang Badr, Bani Qainuqa’ menjadi kabilah Yahudi pertama yang terusir dari Madinah lantaran melanggar perjanjian. Perang Uhud yang terjadi tak berapa lama kemudian sempat membuat orang-orang Quraisy merasa di atas angin. Akan tetapi setelah Perang Uhud, pasukan Kaum Muslimin terus bergerak seolah tanpa rintangan. Bani Nadhir menjadi kabilah kedua yang diusir dari Madinah karena kejahatannya merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah saw. Kemudian terjadilah perang di Najd, terjadi pula perang di wilayah Dumatul Jandal. Nyaris terjadi Perang Badr kedua, bila saja Abu Sufyan tidak ketakutan dan membawa pulang 2.000 orang pasukannya yang sudah terlanjur berangkat dari Mekkah.

Menanggung malu akibat melarikan diri dari Badr, kaum musyrikin Mekkah terus menanti kesempatan untuk melakukan serangan balik. Peluang itu terlihat ketika utusan Bani Nadhir datang ke Mekkah untuk beraudiensi dengan para pemimpin Quraisy. Pada saat yang sama, tidak kurang dari dua puluh orang pemuka Bani Nadhir juga datang ke Kabilah Bani Ghathafan. Setelah itu bergabunglah pasukan dari berbagai kabilah di antara Mekkah dan Madinah, sehingga terbentuklah suatu pasukan yang besar.

Selain menghadapi pasukan multikabilah yang datang berbondong-bondong, Kaum Muslimin juga direpotkan oleh Bani Quraizhah yang masih tinggal di sekitar Madinah dan siap menikam dari belakang. Ada juga orang-orang munafiq yang semakin memperlihatkan kemunafikannya.

Di satu sisi, pasukan militer yang dikerahkan untuk Perang Ahzab ini memang bisa menggentarkan hati orang yang menyaksikannya. Madinah bagaikan menghadapi kepungan dari segala arah, dari luar maupun dalam. Akan tetapi, ia juga merupakan pertanda bahwa Quraisy telah kehabisan akal, sebab pada masa itu tidaklah lazim kabilah sebesar Quraisy meminta pertolongan dari yang lain. Jika mereka telah meminta pertolongan dari yang lain, itu tandanya mereka telah menanggalkan harga dirinya, dan itu berarti Quraisy sudah terdesak. Karena itu, kelak, setelah memenangkan perang ini, Rasulullah saw bersabda, “Sekarang kitalah yang akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kita. Kitalah yang akan mendatangi mereka.” Maka perang-perang sesudah Perang Ahzab pun ‘bergerak’ mendekati Mekkah, tidak lagi mendekati Madinah, hingga berakhir dengan kejadian Fathu Makkah.

Allaahu akbar (3x), Allaahu akbar walillaahil hamd.

Dalam kemelut menjelang Perang Ahzab itulah Allah SWT menurunkan Surat Al-Ahzab. Di kala Rasulullah saw menghadapi cobaan yang sangat berat dan kepungan musuh yang begitu rapat, saat itulah Rasulullah saw diperintahkan untuk mengingat para Ulul ‘Azmi yang telah mengikat perjanjian teguh dengan Allah SWT, termasuk dirinya sendiri. Di awal Surat Al-Ahzab, Allah SWT berfirman:

33_7

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi, dan dari kamu (sendiri), dan dari Nuh, Ibrahim, Musa dan ‘Isa bin Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh. (QS. Al-Ahzab [33]: 7)

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw pernah menjelaskan bahwa jumlah Nabi dan Rasul sangatlah banyak. Ada 124.000 Nabi, dan di antaranya ada tiga ratusan Rasul. Di antara para Rasul itu, ada lima saja yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi, salah satunya adalah Nabi Ibrahim as. Mereka adalah para Nabi yang sangat menonjol keteguhan hatinya. Atau, dengan kata lain, sangat berat ujian yang dialaminya.

Setiap Ulul ‘Azmi menghadapi cobaan yang tidak main-main. Nabi Nuh as diuji dengan dakwah yang lamanya tidak kurang dari sembilan ratus lima puluh tahun, terhitung sejak beliau diangkat menjadi Nabi hingga datangnya banjir besar. Nabi Musa as diuji dengan Fir’aun, namun tukang sihir Fir’aun dapat ditaklukkan dengan mukjizat, Fir’aun pun mati ditelan laut karena mukjizat. Adapun kaumnya sendiri, tidaklah dapat dijinakkan hatinya meski mereka menyaksikan berbagai mukjizat. Nabi ‘Isa as diberikan mukjizat yang sangat luar biasa, mulai dari berbicara sejak dalam buaian, menyembuhkan orang yang buta sejak lahir, hingga menghidupkan orang yang sudah mati. Apa dinyana, sebagian kaumnya justru menyangka bahwa beliau adalah anak tuhan. Adapun kisah Nabi Ibrahim as adalah kisah tentang ujian yang bertubi-tubi dan ketaatan yang tanpa syarat.

Jika kini kita mengingat keteladanan Nabi Ibrahim as, itu tidak lain karena Allah SWT sendiri yang memerintahkan kita untuk banyak-banyak mengenang beliau. Dalam Surat Maryam, Allah SWT berfirman:

19_41

Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. (QS. Maryam [19]: 41)

Dalam ayat ini, Allah SWT menyebut Nabi Ibrahim as sebagai “shiddiiqan nabiyyaa”; seorang yang shiddiq lagi Nabi. Tentu saja semua Nabi memiliki sifat shiddiiq, namun sifat ini sangat ditekankan manakala kita membahas pribadi Nabi Ibrahim as.

Kata “shiddiiq” biasa diterjemahkan sebagai sifat orang yang selalu membenarkan atau mendukung kebenaran, jujur lagi teguh dalam ketaatan. Dari akar kata yang sama muncullah kata “shadiiq” yang artinya sahabat. Orang yang jujur, itulah sahabat sejati. Selain itu, sahabat adalah orang yang akan segera melakukan pembelaan manakala kita dirundung masalah, yang terdepan membenarkan kita ketika yang lain menyalahkan. Di antara para sahabat Rasulullah saw, Abu Bakar ra-lah yang mendapatkan gelar Ash-Shiddiq. Abu Bakar ra telah mendampingi Rasulullah saw. sejak awal masa dakwahnya. Ketika yang lain berjihad dengan sebagian hartanya, Abu Bakar ra telah berjihad dengan seluruh hartanya. Saat Rasulullah saw bersembunyi di Gua Tsaur, maka Abu Bakar ra-lah yang menemaninya. Jika kita menelaah kisah Nabi Ibrahim as, maka sikap membenarkan tanpa keraguan dan ketaatan tanpa syarat itulah yang akan terlihat jelas.

Allaahu akbar (3x), Allaahu akbar walillaahil hamd.

Setelah Nabi Ibrahim as menerima wahyu Allah, tidaklah ia menyimpannya untuk dirinya sendiri. Beliau segera mulai berdakwah, dimulai dari orang yang paling dicintainya, yaitu keluarganya sendiri. Maka datanglah Nabi Ibrahim as kepada bapaknya, ‘Azar, dan mengatakan kata-kata sebagaimana yang diabadikan dalam Surat Maryam:

19_42

Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu sedikitpun?” (QS. Maryam [19]: 42)

Bukanlah perkara enteng mendakwahi orang tua, dan lebih menyakitkan lagi kiranya jika harus menyaksikan orang tua kita terjerumus dalam kemaksiatan. Persis itulah yang dialami oleh Nabi Ibrahim as. Bukannya menyambut uluran tangan Nabi Ibrahim as, Sang Ayah justru mengancam dan mengusir beliau.

19_46

Berkata (bapaknya Ibrahim), “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” (QS. Maryam [19]: 46)

Bayangkanlah seperti apa remuknya hati seorang anak yang ayahnya sendiri mengancam akan merajamnya, kemudian menyuruhnya pergi menjauh. Sang Ayah lebih menyukai berhala-berhalanya ketimbang mempercayai kata-kata anaknya sendiri. Itulah beban perasaan yang harus ditanggung oleh Nabi Ibrahim as.

Nabi Ibrahim as pun mengarahkan pandangannya kepada kaumnya. Tanpa sepengetahuan orang, beliau merusak berhala-berhala itu, dan disisakannya yang paling besar. Orang-orang pun langsung mencurigainya, sebab ia telah dikenal cukup sering mencela berhala-berhala kaumnya. Ketika diinterogasi di hadapan kaumnya, Nabi Ibrahim as memberikan jawaban yang membungkam mereka, sebagaimana diabadikan dalam Surat Al-Anbiyaa’:

21_63

Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 63)

Kata-kata Nabi Ibrahim as telah membuat mereka tersadar bahwa yang mereka sembah selama ini adalah berhala yang tak mampu membela diri sendiri, apalagi menolong para penyembahnya. Akan tetapi hanya sejenak saja mereka terpekur dalam kesadarannya. Sejurus kemudian, mereka telah menyalakan api besar untuk membakar Nabi Ibrahim as hidup-hidup. Menghadapi jilatan api, Nabi Ibrahim as tidak juga mundur. Maka Allah SWT memerintahkan api itu agar menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagi Nabi Ibrahim as.

Allaahu akbar (3x), Allaahu akbar walillaahil hamd.

Dalam menjalani hari-harinya yang penuh dengan agenda dakwah, tak jarang Nabi Ibrahim as harus menghadapi bahaya. Selain menghadapi masyarakat yang mengamuk, beliau juga pernah berhadapan dengan penguasa zhalim yang menantangnya berdebat. Alangkah baiknya jika orang sekelas beliau dapat memiliki keturunan. Seorang lelaki yang dalam dadanya membawa sebuah cita-cita besar pastilah memiliki keinginan untuk mewariskan cita-cita itu kepada anak-anaknya. Maka Nabi Ibrahim as pun berdoa lirih, sebagaimana diabadikan dalam Surat Ash-Shaaffaat:

37_100

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Ash-Shaaffaat [37]: 100)

Anak yang dinanti-nanti tak kunjung datang, yang hendak ditimang-timang tak juga lahir. Memang akhirnya beliau dikaruniai Nabi Isma’il as dan Nabi Ishaq as. Hanya saja, menurut riwayat, ketika Nabi Isma’il as lahir, usia Nabi Ibrahim as telah mencapai 86 tahun, sedangkan Nabi Ishaq as lahir ketika Nabi Ibrahim as nyaris berusia seabad.

Lahirnya Nabi Isma’il as adalah sukacita yang sejenak saja. Sebab setelah kelahiran putra yang dinanti-nantikan itu, Allah SWT kembali menguji Nabi Ibrahim as dengan ujian yang takkan sanggup dipikul oleh setiap orang. Allah SWT memerintahkan beliau untuk meninggalkan Hajar, istrinya, bersama Nabi Isma’il as, yang saat itu masih bayi dan menyusu kepada ibunya. Keduanya ditinggalkan di Mekkah, yang saat itu masih berupa lembah tandus tak berpenghuni. Tak ada yang bisa menggambarkan perasaan Nabi Ibrahim as, seorang ayah yang puluhan tahun menanti kelahiran seorang anak, namun kemudian harus meninggalkannya di tempat yang seperti itu. Seorang lelaki yang memiliki naluri untuk menjaga keluarganya dengan mempertaruhkan nyawanya, manakala dibutuhkan, kini hanya bisa menitipkan kedua belahan jiwanya itu kepada Allah SWT. Seorang pujangga pun akan kehabisan kata-kata untuk menjelaskan pedihnya perasaan Sang Kekasih Allah pada saat itu.

Anaknya yang kedua, Nabi Ishaq as, belum lagi lahir. Ketika Nabi Ibrahim as meninggalkan Hajar dan Nabi Isma’il as di lembah tandus tak berpenghuni itu, beliau belum lagi tahu apakah akan dikaruniai keturunan lagi.

Belasan tahun kemudian, Nabi Ishaq as lahir. Beliau dan ibundanya tinggal di negeri yang kini bernama Al-Quds, atau Palestina. Allah SWT pun melimpahkan keberkahan melalui garis keturunannya. Dari Nabi Ishaq as-lah lahir para Nabi Bani Israil, dimulai dari Nabi Ya’qub as, Nabi Yusuf as, Nabi Musa as, Nabi Harun as, Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as, Nabi Zakaria as, Nabi Yahya as, hingga berakhir di Nabi ‘Isa as. Semua itu hanya sebagian kecil dari nama para Nabi nan mulia.

Seorang anak di Palestina, seorang lagi di Mekkah. Tentu Nabi Ibrahim as tak bisa menemani keduanya terus-menerus, meski beliau sangat menginginkannya. Keduanya adalah buah hati yang lama ditunggu-tunggu, dan keduanya memikat hati dengan segala kebaikan yang ada pada diri mereka. Akan tetapi, Nabi Ibrahim as menerima taqdir ini sebagaimana beliau menerima segala ketetapan Allah SWT yang lainnya; dengan ketaatan tanpa syarat!

Allaahu akbar (3x), Allaahu akbar walillaahil hamd.

Jika ada yang mengira bahwa berdakwah kepada keluarga dan kaumnya sendiri adalah cobaan terberat, maka ia pasti telah keliru. Dan jika ada yang berpikir bahwa dibakar hidup-hidup dan menanti keturunan puluhan tahun lamanya itu adalah siksaan yang terlalu pedih, atau menyangka bahwa meninggalkan keluarga di lembah tandus dan mengurangi waktu bermesraan dengan keluarga demi tugas-tugas dakwah itu adalah ujian yang takkan mampu ditanggung oleh seorang manusia pun, maka Allah SWT telah menyiapkan sebuah ujian paling sulit yang hanya mampu diatasi oleh hamba-hamba-Nya yang terbaik.

Saat itu Nabi Isma’il as telah mencapai usia kematangannya. Anak yang akhlaq-nya menggembirakan hati siapa pun yang memandangnya ini telah menjadi salah satu sumber kebahagiaan terbesar dalam hati ayahnya. Ketika Nabi Ibrahim as mendapat perintah untuk membangun Ka’bah, maka Nabi Isma’il as turut membantunya. Amboi, bahagianya hati seorang ayah manakala menyaksikan anaknya mewarisi cita-cita dan bergandengan tangan bersamanya dalam tugas yang sama.

Pada saat-saat yang penuh kebahagiaan itulah Allah SWT memberikan ujian yang paling berat. Nabi Ibrahim as mendapatkan perintah melalui mimpi untuk menyembelih Nabi Isma’il as. Sebuah mimpi yang janggal, tentu saja, bahkan bagi seorang Rasul yang tahu persis bahwa mimpi yang benar adalah bagian dari kenabian. Al-Qur’an mengabadikan kisah ini dalam Surat Ash-Shaaffaat:

37_102

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaaffaat [37]: 102)

Inilah ayah dan anak yang saling mencintai, namun keduanya lebih mencintai Allah SWT dan tak berani menyelisihi perintah-Nya. Nabi Ibrahim as meneguhkan hatinya, dan Nabi Isma’il as terus menguatkannya. Sebelum penyembelihan benar-benar terjadi, Allah SWT berkenan menggantikan Nabi Isma’il as dengan seekor hewan qurban. Kesabaran telah teruji, ketaatan telah dinyatakan. Inilah yang kita kenang setiap tahunnya.

Ma’asyiral mu’miniina rahimakumullaah.

Memang tak ada yang meminta kita untuk melalui ujian-ujian sekelas Nabi Ibrahim as. Tak ada pula yang menuntut kita untuk menyamai keimanan Nabi Ibrahim as atau nabi-nabi yang lainnya, akan tetapi kisah mereka dituangkan dalam Al-Qur’an untuk diteladani sebaik-baiknya.

Kisah Nabi Ibrahim as adalah kisah tentang ujian. Setiap manusia akan diuji sesuai dengan kemampuannya, dan tak ada orang yang boleh mengaku beriman tanpa melalui ujian dan cobaan. Surga yang begitu indah takkan dicapai oleh mereka yang tak mau berpayah, tak sudi bersusah, dan tak berani berdarah. Tak ada yang boleh mengaku mencintai Allah SWT sebelum ia benar-benar mengorbankan segala hal yang dicintainya di jalan Allah.

Allaahu akbar (3x), Allaahu akbar walillaahil hamd.

Ketaatan kita yang menyembelih hewan qurban pada hari ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan ketaatan Nabi Ibrahim as yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri. Akan tetapi, keduanya dilakukan dengan niat yang sama, yang sejalan dengan akar kata “qurban” itu sendiri, yaitu mendekat kepada Allah (taqarrub ilallaah).

Masyarakat Nusantara yang telah lama terislamisasi telah menyerap begitu banyak kata dari bahasa Arab, yang merupakan bahasa internasionalnya umat Muslim. Kata “qurban” pun kemudian diserap menjadi kata “korban”. Meski maknanya tidak persis sama, tapi ada nuansa yang sama yang kita dapati dari kata “berkorban” dan “pengorbanan”. Yang namanya berkorban itu pastilah dilakukan karena niat yang mulia, dan pengorbanan itu adalah ujian untuk mendapatkan kebaikan yang lebih besar. Ada pahlawan yang berkorban bagi nusa dan bangsa, ada ayah yang berkorban dengan kepayahannya mencari nafkah, ada ibu yang berkorban dengan waktu dan perhatiannya demi anak-anaknya, ada kakak yang berkorban dengan mencari nafkah di usia belia agar adik-adiknya bisa sekolah tinggi-tinggi, dan seterusnya. Itulah sebabnya Ust. Rahmat Abdullah rahimahullaah dahulu pernah meradang ketika mendengar istilah ‘korban narkoba’. Memangnya apa yang mulia dari mengkonsumsi narkoba, sehingga mereka yang mati karenanya malah disebut sebagai korban?

Tidak ada seorang pun di antara kita yang diminta berkorban sebagaimana Nabi Ibrahim as telah berkorban, akan tetapi semangat pengorbanan itulah yang hendaknya diwariskan. Tengoklah masyarakat kita, bercerminlah dengan jujur. Adakah sikap mendahulukan orang lain (itsar) kita jumpai di sana? Adakah para pemuda yang mau berkorban dengan berdiri sejenak di kereta agar orang-orang tua, ibu hamil dan orang yang benar-benar membutuhkan tempat duduk bisa nyaman sampai tujuan? Adakah kita mendahulukan kebutuhan saudara dan tetangga kita, ataukah kita hanya pandai berebut dan berlomba-lomba untuk lebih dahulu mendapatkan kenikmatan? Jika benar kehidupan di akhirat yang kita cari, maka mungkin kita telah mencarinya di tempat yang salah.

Betapa Allah menyayangi umat Muslim Indonesia, karena beberapa waktu yang lalu kita pernah berkumpul dalam jumlah jutaan di ibukota. Pada hari itu, semua berkorban dengan caranya masing-masing. Semua datang dengan ongkosnya sendiri-sendiri. Ada yang berjalan kaki, ada yang beramai-ramai mencarter pesawat. Tidak cukup membiayai diri sendiri, ada pula yang membawa makanan dalam jumlah yang banyak untuk saudara-saudara yang belum pernah dikenalinya sebelumnya. Ada orang yang sengaja membayar roti dengan harga berlipat ganda demi merebut kesempatan beramal shalih, tapi ada pula tukang roti yang tak mau dibayar demi merebut kehormatan yang sama.

Saat itu, umat Muslim dari seluruh penjuru negeri berkumpul untuk berdzikir, bershalawat, dan bermunajat kepada Allah SWT. Di situ mereka berdesak-desakan mendengarkan khutbah, kemudian Shalat Jum’at di bawah guyuran hujan deras, yang hanya dikalahkan oleh derasnya air mata mereka. Keesokan harinya, seisi dunia berguncang, karena umat Muslim Indonesia telah bangkit tanpa membawa kerusakan sedikit pun.

Tinggalkanlah para analis yang masih berkutat dengan imajinasinya sendiri tentang ‘radikalisme Islam’ di negeri ini. Marilah sama-sama mengenang Nabi Ibrahim as, Sang Kekasih Allah yang menerima ujian bertubi-tubi. Al-Qur’an mencela orang yang membenci Nabi Ibrahim as sebagai safiha nafsahu (orang yang membodohi dirinya sendiri), dan kini tak seorang pun di antara kita yang mendirikan shalat tanpa bershalawat kepada beliau. Bersabarlah dengan setiap cobaan, gantungkan nasib kepada Allah semata, dan taatlah kepada-Nya dengan ketundukan yang sempurna.

Allaahu akbar (3x), Allaahu akbar walillaahil hamd.

Sebelum Khatib menutup khutbah ini, marilah kita arahkan pandangan hati kita kepada saudara-saudara kita di seluruh dunia. Sebentar lagi kita menyantap daging hewan qurban dengan gembira, namun ada di antara mereka yang tak tahu harus menyembelih apa dan sudah lupa seperti apa rasanya daging. Saudara-saudara kita di Palestina masih dikepung, saudara-saudara kita di Suriah masih dibombardir, saudara-saudara kita orang Rohingya masih dikucilkan. Dan janganlah lupa bahwa kini kita memiliki tanggung jawab atas saudara-saudara kita di Lombok yang berulang kali ditimpa musibah gempa.

Rumah-rumah mereka hancur. Mereka yang rumahnya masih tegak pun banyak yang lebih suka tidak berdiam di tanah lapang, karena rumah itu bisa hancur sewaktu-waktu. Banyak yang tinggal di tenda-tenda darurat, sekiranya atap terpal tanpa dinding masih layak juga disebut tenda. Mereka melalui siang dan malam tanpa makanan, selimut, apalagi obat-obatan. Di antara mereka ada ibu dengan bayinya yang masih merah, ada pula orang-orang tua yang sudah tak sanggup mengurus dirinya sendiri. Baju yang bisa dipakai hanyalah yang sedang dipakai, sedangkan uang yang masih ada tak dapat dipergunakan, itu pun kalau ada, sebab yang berjualan tak ada lagi. Hampir dua pekan yang lalu, BMKG memprediksi gempa akan berlangsung hingga tiga atau empat pekan. Akan tetapi kita pernah punya pengalaman pada tahun 2006, ketika terjadi sebuah gempa besar di Jogja, dan gempa susulannya masih terus terasa hingga enam bulan lamanya.

Jika ingin meneladani Nabi Ibrahim as, maka inilah saat-saat yang terbaik. Di hari yang penuh berkah ini, marilah bertekad untuk lebih banyak memikirkan sesama, lebih sering mendahulukan orang lain, dan berlapang-lapang dada dengan saudara. Surga yang begitu indah takkan bisa dicapai kecuali dengan pengorbanan yang terbaik.

Berikanlah yang terbaik untuk saudara-saudaramu, mudah-mudahan Allah SWT berkenan memberikan kasih sayang-Nya yang terbaik untuk dirimu. Tidak usah berharap kepada manusia, tapi gantungkanlah harapan kepada Dia Sang Pemilik Seisi Alam ini. Jika engkau berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya, tidakkah engkau berharap Dia akan berbuat baik pula kepadamu?

No Comments

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.