Menjadi Manusia yang Berbudaya
1896
post-template-default,single,single-post,postid-1896,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780,elementor-page elementor-page-1896

Menjadi Manusia yang Berbudaya

Menjadi Manusia yang Berbudaya

Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

IMG20181021152603‘Manusia yang berbudaya’ sesungguhnya merupakan istilah yang mengundang pertanyaan. Adakah manusia yang tidak berbudaya? Bahkan manusia yang berasal dari suku yang paling terasing sekalipun tidak disebut ‘tidak berbudaya’, karena akal mereka pasti menghasilkan sesuatu. Pakaian yang berguna untuk melindungi tubuh mereka dari kedinginan, alat berburu yang mereka andalkan untuk mendapatkan makanan, bahkan cara mereka mengolah daging hewan dan tumbuh-tumbuhan sehingga menjadi lauk-pauk dan sayuran; semuanya itu adalah bagian dari kebudayaan.

Belum lama ini, persoalan kebudayaan kembali mengemuka dan mengundang perdebatan yang begitu tajamnya. Polemik terjadi setelah video ceramah Ustadz Khalid Basalamah (yang sebenarnya sudah cukup lama) ketika beliau menjawab pertanyaan tentang hukum seputar pewayangan disebarluaskan oleh sejumlah akun di media sosial. Dalam video tersebut, Ustadz Khalid berpendapat bahwa seorang Muslim sebaiknya meninggalkan pewayangan, sebab hal itu bukan bagian dari tradisi Islam. Beliaupun menyatakan pendapatnya bahwa Islam itulah yang harus ditradisikan/dibudayakan, dan bukannya budaya yang di-Islam-kan.

Reaksi keras muncul dari sejumlah pihak yang menganggap bahwa hukum wayang itu tidak haram. Selain menganggap wayang sebagai kearifan lokal yang harus dipertahankan, sebagian di antara mereka juga menekankan bahwa wayang pernah dijadikan alat dakwah di Jawa oleh para Wali Songo.

Di tengah ramainya perdebatan, seniman Sujiwo Tejo, yang juga sesekali menghibur masyarakat dengan menjadi dalang dalam berbagai pagelaran wayang, justru balik menyindir mereka yang ‘mendadak bela wayang’. Dalam sebuah cuitan di akun Twitter-nya, Sujiwo mengaku sedih melihat perangai sebagian orang yang kini membela wayang itu, sebab “…bagi mereka mungkin yang penting gaduh, bukan ngebela wayang. Nonton wayang aja mungkin gak pernah.”

Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) yang beberapa tahun terakhir banyak mendapat sorotan karena dakwahnya yang simpatik namun berisi, juga menyampaikan pandangannya yang mungkin tidak disangka-sangka oleh sebagian orang. Menurut Gus Baha, Sunan Kalijaga yang berdakwah menggunakan wayang pernah ditegur oleh Sunan Giri yang menganggap perbuatan itu salah, sebab wayang itu dinilai menyerupai manusia. Perdebatan itu ditengahi oleh Sunan Kudus yang lebih ‘alim dan lebih senior dibandingkan keduanya. Berdasarkan usulan Sunan Kudus, akhirnya wayang itu — yang tadinya berbentuk seperti arca manusia — dipipihkan hingga berbentuk menjadi wayang kulit seperti sekarang. Dengan demikian, ia tidak lagi menyerupai manusia. Komentar Gus Baha sekaligus menunjukkan bahwa pandangan ulama seperti Ustadz Khalid yang mengharamkan wayang itu paling tidak harus dihargai sebagai sebuah pandangan fiqih yang sah, sebab kekhawatiran atas bentuk wayang yang menyerupai manusia itu memang ada.

Selang beberapa hari kemudian, publik kembali dibuat heboh oleh Miftah Maulana Habiburrahman yang dikenal dengan sebutan Gus Miftah. Tokoh yang dikenal karena penampilannya yang berambut gondrong dan suka mengenakan blangkon khas Jawa yang dipadu dengan kacamata hitam itu mengadakan sebuah pagelaran wayang yang cukup kontroversial. Dalam lakon itu, ada sebuah wayang yang dibuat dengan gambar berwajah mirip Ustadz Khalid Basalamah yang dijadikan karakter antagonis di sepanjang ceritanya. Karakter itu terus-menerus dijadikan olok-olokan, bahkan dikisahkan ia berzina dengan seorang pelacur dan menyebutnya sebagai ‘sunnah Rasul’. Sebagian besar netizen mengekspresikan ketidaksukaannya dengan Gus Miftah yang tidak menempuh jalan intelektual dalam berpolemik, melainkan justru mengambil jalan menghina dengan cara yang kekanak-kanakan.

Perdebatan seputar pewayangan ini, di samping beberapa hal lainnya, mengungkapkan kualitas pembicaraan seputar kebudayaan di Tanah Air. Sejak beberapa tahun terakhir, hampir tak ada jedanya serangan di dunia maya dari akun-akun yang menyerang jilbab sebagai budaya Arab, sedangkan budaya Nusantara yang sesungguhnya adalah kebaya. Komentar semacam ini seringkali justru mengundang cemoohan, antara lain karena mereka yang terlihat mengglorifikasi kebaya tersebut ternyata sehari-harinya justru mengenakan celana jeans, menyeruput capuccino, dan menonton serial drakor. Berbeda jauh dengan para Muslimah berhijab yang sangat kuat komitmennya pada hijab sehingga tak pernah lupa mengenakannya setiap hari untuk keluar rumah atau ketika menerima tamu di rumah. Lagipula, menyerang jilbab dengan mengatasnamakan ‘budaya Nusantara’ sesungguhnya adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab, karena pada kenyataannya jilbab itu telah lama diterima di berbagai wilayah di Nusantara tanpa sedikitpun menimbulkan gejolak kultural.

Pertanyaan yang lebih fundamental yang patut diajukan dalam polemik seputar kebudayaan semacam ini adalah: apakah kebudayaan itu memang hanya pada level ‘alat’ saja? Tidak diragukan lagi, misalnya, koteka adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Papua. Akan tetapi, jika sebagian orang Papua tak mau lagi mengenakan koteka, apakah mereka harus divonis telah mengkhianati budaya nenek moyangnya sendiri? Rumah adat Minangkabau memang Rumah Gadang atau Rumah Bagonjong, namun saat ini orang Minang bebas saja memiliki apartemen atau rumah dengan bentuk atap sesuka hatinya.

Di Indonesia, agaknya memang masih banyak yang memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang sempit lagi statis. Kesenian seperti tari-tarian, ukir-ukiran, termasuk juga yang seperti wayang, dianggap sebagai barometer kebudayaan daerah. Seolah-olah, jika orang Indonesia tidak banyak lagi yang menari, mengukir, dan menonton wayang, maka kebudayaannya hilang, peradabannya runtuh seketika.

Pada kenyataannya, tak ada bangsa di dunia ini yang masih mempertahankan cara hidupnya dari berabad-abad lampau, kecuali mereka yang memang memilih untuk hidup terasing dan anti kemajuan. Dengan segala hormat kepada mereka yang sangat berminat pada dunia kesenian, mengharapkan bangsa Indonesia untuk memiliki minat yang sama pada kesenian daerah sebagaimana ratusan tahun yang lalu memang tidaklah realistis. Piramida, betapapun ia merupakan bukti kehebatan sains dan teknologi bangsa Mesir kuno, pada kenyataannya tak pernah lagi dibangun oleh masyarakat Mesir masa kini. Sebab, piramida itu dibangun untuk mengubur raja dengan segala kemegahannya, oleh rakyat yang mentaati raja bagaikan menyembah Tuhannya. Kini, setelah sebagian besar rakyat Mesir memeluk Islam, urgensi membangun piramida sudah tak ada lagi. Niscaya rejim Mesir modern yang manapun akan berhitung seribu kali sebelum menghabiskan anggaran belanja negaranya untuk infrastruktur semegah piramida.

Sementara kedokteran modern sudah kompak menyatakan bahwa begadang itu tidak baik untuk kesehatan, tentu tak ada yang bisa memaksa orang untuk menonton wayang semalam suntuk. Di era globalisasi seperti sekarang ini, ketika dunia telah menjadi semakin ‘sempit’ dan batas-batas geografis tak relevan di hadapan arus informasi, tidak perlu heran jika orang Sunda sesekali makan Nasi Padang, kadang-kadang memesan fried chicken, dan diam-diam belajar bikin kimchi di dapurnya sendiri. Dalam buku Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Buya Hamka mengkritisi sejumlah adat Minangkabau yang pada masa ditulisnya buku tersebut (yaitu pada era Revolusi Fisik, di antara 1945-1949) masih belum sejalan dengan Islam. Menurut Buya Hamka, tradisi atau peralatan yang sudah tak terpakai itu bukannya tidak dihargai, hanya saja tempatnya adalah di museum. Adapun manusia, mereka harus terus ‘menatap ke depan’.

Memperdebatkan kebudayaan dengan sikap seolah-olah kita harus terus menjalani hidup seperti nenek moyang dahulu adalah sebuah tren yang memalukan. Sementara semua bangsa merengkuh kemajuan dengan meninggalkan yang buruk dan menambah yang baik, kita malah diarahkan untuk terus berpuas diri dengan apa yang telah disimpulkan oleh kakek-nenek kita. Bolehlah kita bertanya dengan agak serius: apa iya kakek-nenek kita akan senang kalau melihat cucu-cucunya hidup persis seperti cara hidup mereka puluhan atau ratusan tahun yang lalu? Bukankah semua orang tua lazimnya menginginkan anak-anaknya menjalani kehidupan yang lebih baik daripada yang pernah mereka jalani? Jangan-jangan, selama ini kita telah semena-mena menggunakan nama nenek moyang untuk mencegah kemajuan bangsa kita sendiri.

Jika kaum penjajah masih bercokol di Tanah Air, maka stagnannya kehidupan rakyat pribumi Nusantara akibat pemahaman kebudayaan yang terlalu sempit ini adalah perwujudan dari mimpi-mimpi mereka. Dalam kajian-kajian para sejarawan, sudah termasyhur analisis yang mengatakan bahwa Politik Etis adalah kebijakan yang menjadi senjata makan tuan bagi Belanda. Atas nama Politik Etis, Belanda memberikan pendidikan modern dan kesempatan kerja yang lebih baik kepada pribumi, meskipun tetap saja masih tidak setingkat dengan yang mereka berikan bagi orang Belanda dan keturunannya. Di kemudian hari, sebagian di antara mereka yang telah mengecap pendidikan modern dari Belanda itu ternyata tetap saja berpihak kepada bangsanya sendiri, sehingga mereka memanfaatkan segala ilmu yang telah dimilikinya untuk kemerdekaan Indonesia. Orang-orang seperti H. Agus Salim pastilah sesekali muncul dalam mimpi buruknya para pejabat kolonial Belanda yang pernah hidup sezaman dengannya.

Tindakan Gus Miftah yang mengolok-olok dengan wayangnya sesungguhnya telah menjadi blunder yang cukup fatal bagi diri dan kelompoknya sendiri. Ketidaksukaan netizen dengan cara-caranya menunjukkan suatu level kebudayaan yang selama ini jarang dibahas, namun kini terekspos jelas. Jika Gus Miftah tersinggung karena Ustadz Khalid Basalamah mengharamkan wayang yang dipandangnya sebagai bagian dari Kebudayaan Jawa, maka sesungguhnya olok-olokannya itupun tidak sesuai dengan Kebudayaan Jawa itu sendiri. Sebagian orang yang sebenarnya tidak setuju dengan fatwa Ustadz Khalid kini menyatakan keprihatinannya karena Gus Miftah tidak menunjukkan kesantunan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa. Kalau sebelumnya orang menolak pendapat Ustadz Khalid dengan beralasan bahwa wayang itu adalah alat dakwah juga, maka yang dilakukan oleh Gus Miftah jelas-jelas tidak bisa dikategorikan sebagai dakwah. Dengan demikian, lakon tersebut tidak lulus kualifikasi Islam dan Kebudayaan Jawa sekaligus!

Bagaimanapun, Bangsa Indonesia mesti bersyukur. Polemik perwayangan ini — terlepas pendapat fiqh mana yang hendak kita ambil — mengingatkan kita bahwa kebudayaan itu bukan hanya soal alat, pakaian, rumah adat, tari-tarian dan semacamnya, melainkan juga soal etika, karakter, tradisi ilmu dan sebagainya. Dalam Seminar Kebudayaan yang diselenggarakan di Semarang pada tahun 1960, Buya Hamka menyampaikan bahwa yang disebut kebudayaan itu meliputi filsafat, ilmu pengetahuan dan seni yang dikembangkan oleh suatu bangsa. Dengan membatasi kebudayaan hanya pada kesenian, dan hanya pada ‘level alat’, sesungguhnya kita telah menjauhkan bangsa kita sendiri dari kemajuan, bahkan membuat kita menjadi semakin tidak berbudaya.

Wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

7 Comments
  • Ayu
    Posted at 16:36h, 21 February Reply

    Alhamdulillah, pendapat yang mencerahkan, Ustadz Akmal!

  • Valleria
    Posted at 20:14h, 21 February Reply

    Barakallah, pak ustadz

  • Reksi Prasetyo
    Posted at 21:12h, 21 February Reply

    Secara tidak langsung jadi ditampilkan wajah yg sesungguhnya “tuh bener kan. banyak mudhorotnya…”

  • Rizamul Malik Akbar
    Posted at 08:28h, 22 February Reply

    Jazakumullohhu khoiron ustazd

  • Karmela Eka Putri
    Posted at 10:57h, 22 February Reply

    Maa syaa Allah, pencerahan pisan Ustdaz, jadi paham juga kenapa wayang berbentuk pipih spt sekarang… jazaakumullahu khoiron katsiran

    • malakmalakmal
      Posted at 10:59h, 22 February Reply

      Kalo soal itu sih Gus Baha yg menjelaskan, saya cuma ngasi linknya aja 😀

  • I.Syahid
    Posted at 00:59h, 23 February Reply

    Daging semua, Barakallah ustadz

Post A Reply to Karmela Eka Putri Cancel Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.