18 Jul Omong Kosong Terbesar Tahun Ini
assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Perkara ini menyita perhatian saya pertama kali ketika membaca sebuah artikel yang dimuat di laman situs Republika pada Ahad (14/07) silam. Artikel yang dengan segera menjadi viral itu menunjukkan foto lima orang ‘intelektual’ dari Tanah Air berfoto bersama Presiden Israel, Isaac Herzog.
Judul artikel tersebut, yaitu “Genosida Gaza Masih Terjadi, 5 Intelektual Nahdliyin Ini Malah Menghadap Presiden Israel”, telah mengungkapkan ironi yang dapat dengan segera ditangkap oleh pembaca. Sejak kaum zionis mulai melancarkan genosida terhadap warga Gaza pada bulan Oktober 2023 lalu, seruan dan aksi solidaritas di Indonesia menggema begitu kuat. Kehadiran lima orang warga Nahdlatul Ulama (NU) — ormas Islam terbesar dari Indonesia — yang datang menghadap Presiden Israel tentu saja mengundang keprihatinan banyak kalangan. Investigasi Republika berhasil mengungkap nama dari kelima orang tersebut, yaitu Syukron Makmun, Zainul Maarif, Munawir Aziz, Nurul Bahrul Ulum, dan Izza Annafisah Dania.
Republika mengkontraskan kunjungan ‘misterius’ tersebut dengan ketiadaan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel, serta tragedi kemanusiaan di Gaza dalam dua paragraf berikut:
Diketahui, Indonesia memang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Kunjungan semacam ini, menurut informasi, dilakukan secara diam-diam melalui perantara yang bisa menghubungkan layatan semacam ini dengan pemerintah Israel langsung.
Sementara itu, serbuan Israel di bagian selatan gubernuran Khan Yunis di Jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 70 orang dan melukai hampir 290 lainnya, demikian keterangan kementerian kesehatan wilayah tersebut pada Sabtu.
Komunitas #IndonesiaTanpaJIL (ITJ), yang senantiasa terdepan dalam merespon isu-isu pemikiran, melalui akun Instagram-nya, menayangkan sebuah gambar pada hari Senin (15/07). Gambar tersebut berupa tangkapan layar dari akun Instagram Zainul Maarif. Dalam postingannya, Zainul Maarif menulis:
Saya bukan demonstran, melainkan filsuf-agamawan. Alih-alih demonstrasi di jalanan dan melakukan pemboikotan, saya lebih suka berdiskusi dan mengungkapkan gagasan.
Terkait konflik antara Hamas-Israel, dan relasi Indonesia-Israel, saya bersama rombongan berdialog langsung dengan Presiden Israel, Isaac Herzog (yang duduk dengan dasi biru) di istana Sang Presiden.
Semoga hasil terbaik yang dianugerahkan untuk kita semua.
Begitu banyak yang dapat dikritisi dari tiga paragraf singkat di atas, beberapa di antaranya yang paling jelas terlihat akan saya ulas di sini. Hal pertama adalah tentang ‘konflik antara Hamas-Israel’. Sikap Zaenul nampaknya bertolak belakang dengan sikap resmi bangsanya sendiri. Sikap Indonesia, misalnya, telah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Den Haag, Belanda, pada 23 Februari 2024 silam. Retno menyatakan bahwa Indonesia mendukung fatwa hukum Mahkamah Internasional terhadap Israel. Dalam argumentasinya yang dikutip oleh laman situs Kemenlu RI, Retno menyampaikan bahwa apa yang dilakukan oleh Israel adalah aneksasi ilegal dengan menggunakan kekerasan terhadap wilayah Palestina. Dengan demikian, yang terjadi adalah penjajahan terhadap Bangsa Palestina, dan bukannya konflik yang terbatas dengan Hamas. Israel diposisikan sebagai pelanggar hukum internasional dan pelaku kekerasan terhadap seluruh warga Palestina. Adapun sikap Indonesia terhadap penjajahan telah dituangkan dalam bagian awal dari Pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Penyebutan ‘relasi Indonesia-Israel’ oleh Zaenul Maarif adalah hal berikutnya yang perlu disoroti. Sebab, pada hakikatnya kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik, dan penyebabnya tidak lain adalah karena penjajahan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina. Hal yang demikian itu adalah karena adanya hubungan yang teramat erat di antara Indonesia dan Palestina. Untuk menggambarkan persahabatan di antara Indonesia dan Palestina itu, laman situs Kemenlu RI bahkan menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina pada 1988.
Hal ketiga yang perlu disoroti, dan ini yang paling mencolok, adalah komentar Zaenul yang menunjukkan seolah-olah ia dan rombongannya hendak berperan dalam menghasilkan perdamaian (ini pun sebuah asumsi yang akan saya komentari nanti) melalui diskusi bersama Isaac Herzog. Ingatan saya segera pergi ke awal Mei 2024 silam, ketika Presiden AS Joe Biden mengancam akan menghentikan bantuan persenjataan kepada Israel jika mereka tidak menghentikan serangannya ke wilayah pengungsi di Rafah. Menghadapi kritik yang ‘tidak biasa’ dari sekutu paling setianya itu, pada kenyataannya Israel masih melanjutkan agresinya terhadap Gaza. Jika seorang Presiden AS saja dapat diabaikan begitu saja pendapatnya, lantas apa penyebab kelima tokoh yang relatif tak dikenal dari Indonesia ini berharap bahwa kata-kata mereka akan membawa perubahan?
Saat ini, identitas mereka telah banyak dibicarakan orang di dunia maya. Tak lama setelah postingannya viral, Zaenul Maarif pun telah membatasi akunnya sehingga hanya follower-nya saja yang dapat mengaksesnya. Akan tetapi ketika Republika menayangkan artikelnya, kelima orang ini bisa dibilang tidak dikenal secara luas. Organisasi yang mereka wakili, The Ibrahim Heritage Study Center for Peace (RAHIM), hanya dikenal di kalangan yang sangat terbatas. Penyebutan ‘5 intelektual nahdliyin’ oleh Republika digunakan agaknya memang karena kiprah mereka belum banyak terdengar. Di sisi lain, NU, yang namanya terbawa-bawa oleh kontroversi ini, buru-buru menyatakan sikap yang menyayangkan kepergian kelima warganya itu ke Israel.
Lantas, apa posisi tawar yang dibawa oleh kelima orang ini ke hadapan Herzog? Mereka hanya warga sipil yang tidak mewakili negaranya dan tidak pula mewakili ormas keagamaan manapun. Paling banter mereka hanya bisa menyatakan diri sebagai wakil dari organisasi lintas agamanya yang kurang populer dan diam-diam akunnya telah menghilang di tengah perdebatan ini. Tanpa posisi tawar yang jelas, maka diskusi yang dilakukan itupun menjadi tak bernilai, setidaknya untuk menghasilkan perdamaian di Palestina.
Terakhir, sesuai janji di beberapa paragraf ke atas, saya ingin membicarakan mengenai sebuah asumsi bahwa semua ini dilakukan demi perdamaian di Palestina. Pasalnya, dengan menyebutkan ‘relasi Indonesia-Israel’ tanpa ‘relasi Indonesia-Palestina’, kesan yang muncul adalah bahwa rombongan ini berpihak kepada penjajah, atau bahkan mereka menafikan adanya penjajahan terhadap Bangsa Palestina. Jika demikian, maka pembicaraan tentang ‘konflik antara Hamas-Israel’ yang disebutkan itu bisa jadi bukan pembicaraan tentang bagaimana mencapai kesepakatan di antara kedua belah pihak, melainkan tentang cara-cara yang efektif untuk memusnahkan Hamas sehingga Israel bisa berkuasa di seluruh wilayah Palestina tanpa syarat, dan itu artinya kehancuran Palestina secara total.
Kalau asumsi ini dianggap terlalu berlebihan, paling tidak penjelasan ini masih lebih masuk akal ketimbang lima orang yang bukan siapa-siapa dan tak memiliki posisi tawar apapun datang menghadap pemimpin dari sebuah negara rasis-apartheid untuk memintanya menghentikan genosida terhadap bangsa jajahannya. Jika ada penghargaan untuk omong kosong terbesar, maka kita sudah tahu siapa pemenang untuk tahun ini!
wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Randya Permadi
Posted at 16:46h, 18 JulyWow keren, bagus. Hebat
Luar biasa
Dahsyat