Rahmatan Lil ‘Aalamiin
1696
post-template-default,single,single-post,postid-1696,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-2.8.9,woocommerce-no-js,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-29.1,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-6.7.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Rahmatan Lil ‘Aalamiin

Rahmatan Lil ‘Aalamiin

fauzi-baadila-750x405assalaamu’alaikum wr. wb.

Konsep rahmatan lil ‘aalamiin barangkali adalah konsep yang bukan hanya banyak digunakan (used), tapi juga berlebihan dalam penggunaannya (overused), bahkan juga digunakan secara menyimpang (abused). Bagi sebagian kalangan, ia menjadi semacam ‘kata kunci’ yang dapat digunakan untuk dua tujuan sekaligus, yaitu mengklaim diri dan mendiskreditkan yang lain.

Modus ‘mengklaim diri dan mendiskreditkan selainnya’ sudah sering digunakan. Kalangan Islam liberal, misalnya, telah terbiasa menghindar dari kewajiban untuk memberikan definisi atas pemikirannya sendiri dengan cara melemparkan tuduhan implisit kepada para penolaknya. Caranya sederhana saja, yaitu dengan mengatakan bahwa Islam liberal adalah respon terhadap Islam fundamentalis atau Islam radikal. Dengan cara ini, mereka (seolah) tak perlu lagi menjelaskan apa itu definisi Islam liberal, dan orang-orang akan diarahkan untuk berpikir bahwa yang di luar kelompok Islam liberal itu adalah Islam fundamentalis atau Islam radikal. Padahal, Islam liberal itu juga radikal dengan caranya sendiri.

Jika ditilik lebih dalam lagi, penyematan suatu nama di belakang nama ‘Islam’ itu pun sudah merupakan sebuah kecurangan tersendiri. Pada hakikatnya, penambahan nama lain setelah Islam (misalnya Islam liberal, Islam radikal, Islam moderat, Islam ini dan Islam itu) sudah menunjukkan ketidakmurniannya, sama seperti kopi murni tak boleh disamakan dengan kopi susu, cappuccino dan latte. Di luar itu, penambahan tersebut juga menunjukkan semacam klaim terhadap sendiri dan, pada saat yang bersamaan, tudingan terhadap yang lain. Yang menggunakan nama ‘Islam moderat’, misalnya, hendak mengatakan bahwa dirinyalah yang moderat, sedangkan yang lain ekstrem. Tentu saja, ada tudingan lain yang tersampaikan secara implisit, yaitu bahwa Islam itu masih ekstrem, sehingga masih perlu dimoderasi. Logika yang sama bisa diterapkan kepada Islam emasipatoris, Islam progresif, Islam cinta dan semacamnya.

Sesekali, muncul pula nama ‘Islam rahmatan lil ‘aalamiin’, tentu dengan tujuan yang sama. Karena caranya sama, maka penyimpangannya pun sama. Penggunaan nama ini seolah-olah menunjukkan bahwa yang di luar kelompoknya bukanlah rahmatan lil ‘aalamiin.

Istilah ‘rahmatan lil ‘aalamiin’ yang bermakna “rahmat bagi semesta alam” itu sendiri terambil dari salah satu ayat Al-Qur’an:

Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 107)

Sebenarnya, yang disebut sebagai rahmatan lil ‘aalamiin pada ayat di atas tak lain adalah Rasulullah saw. Akan tetapi, karena Islam adalah agama yang diajarkannya, maka tidak keliru juga kiranya jika kita mengatakan bahwa Islam itu sendiri adalah rahmatan lil ‘aalamiin. Karena Islam itu diajarkan kepada seluruh umat beliau hingga akhir zaman, lagi-lagi tidak keliru jika kita mengatakan bahwa setiap Muslim harus berupaya menjadikan dirinya sepadan dengan istilah rahmatan lil ‘aalamiin tadi, walaupun kita takkan pernah bisa menjadi hamba Allah SWT yang sekelas Rasulullah saw.

Bahwa Rasulullah saw diutus sebagai rahmatan lil ‘aalamiin, bagi seorang Muslim, hal itu sudah final, karena nyata-nyata tertera dalam Al-Qur’an. Permasalahan sebenarnya muncul pada bagaimana cara memaknai ‘rahmat’ itu sendiri.

Secara harfiah, “rahmat” jelas berkaitan dengan makna kasih sayang. Allah SWT, di samping nama-nama-Nya yang lain, juga memiliki nama Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, dan kedua nama ini memang berkaitan dengan kasih sayang. Akan tetapi, selain menyayangi hamba-hamba-Nya, pada kenyataannya Allah SWT juga menghukum dan menyiksa mereka. Kehidupan manusia di dunia dipenuhi dengan ujian, musibah dan adzab. Di sini kita menemukan sumber kebingungan kaum ateis yang bertanya-tanya, “Kalau ada Tuhan, dan Tuhan itu Maha Penyayang, mengapa harus ada kelaparan, musibah, wabah penyakit dan perang?”

Terhadap pertanyaan semacam ini, Al-Qur’an menjawab:

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. Asy-Syuuraa [42]: 30)

Banyak orang mengeluh karena banjir, padahal manusia itu sendirilah yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang mendatangkan banjir. Pohon-pohon ditebangi secara masif, saluran-saluran air dijadikan tempat pembuangan sampah, semua itu adalah perbuatan manusia, bukan binatang. Ada orang yang perutnya selalu kenyang, ada pula yang kelaparan hingga berhari-hari tak makan. Ketimpangan sosial semacam itu pun adalah hasil perbuatan manusia. Allah SWT telah menegaskan bahwa dalam rizki yang kita terima ada bagian orang lain (QS. Al-Baqarah [2]: 3), akan tetapi banyak manusia yang enggan berbagi. Allah SWT telah menyatakan perang dengan riba (QS. Al-Baqarah [2]: 278-279), namun tidak sedikit manusia yang mencari penghidupan dengan jalan itu. Akibatnya, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. 

Peperangan jelas-jelas terjadi karena manusia, hanya saja para akademisi sekuler terbiasa melemparkan kesalahan kepada agama. Menurut mereka, agama (terutama dan terlebih Islam) bertanggung jawab karena telah mengobarkan banyak peperangan. Kalau berani jujur, pastilah orang tahu bahwa ajaran Islam isinya bukan hanya jihad, bahkan sebagian besar Muslim tidak pernah terlibat dalam jihad. Perang adalah kejadian istimewa yang tidak selalu terjadi, dan kalau bisa ya jangan sampai terjadi. Akan tetapi, jika kezhaliman terus terjadi, maka naluri manusia untuk mempertahankan diri pun tak bisa dikesampingkan saja. Setelah ditekan dan pengikutnya disiksa di Mekkah, Rasulullah saw memerintahkan hijrah ke Yatsrib (Madinah). Kalau menggunakan akal sehat, semestinya kaum musyrikin Mekkah membiarkan saja mereka pergi, karena toh mereka dan agamanya tidak diterima di sana. Nyatanya, para sahabat pun harus pergi diam-diam, bahkan ada yang tertangkap. Kalau sudah begitu, mengapa harus mempertanyakan kembali konteks terjadinya Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq dan seterusnya? Jika telah terjadi kezhaliman, tentu keadilan harus ditegakkan.

Sekarang setelah Covid-19 merebak luas, rasanya tidak perlu lagi bertanya-tanya apakah wabah penyakit itu hasil perbuatan manusia atau tidak. Ada yang bilang ini akibat orang-orang di Wuhan, Cina, terbiasa menyantap binatang liar, ada juga yang bilang ini adalah senjata biologi. Teori manapun yang Anda percayai, tetap saja itu perbuatan tangan manusia.

Hal-hal yang telah dijelaskan di atas tidak hanya terjadi pada pelaku kerusakan, melainkan juga orang-orang di sekitarnya. Itu pun bukan tanpa sebab. Pasalnya, Bumi ini kita tempati bersama. Karena itu, tak dapat tidak, ada hal-hal yang menjadi tanggung jawab kita bersama. Kalau kita tenang-tenang saja melihat minuman keras dikonsumsi bebas di komplek kita, jangan kaget kalau di kemudian hari keluarga kita pun ikut mengkonsumsinya. Demikian juga jika banyak yang membuang sampah ke sungai, maka banjir yang terjadi akan menyusahkan juga orang-orang yang tidak ikut merusak lingkungan. Itulah sebabnya, selain menyuruh manusia untuk berbuat baik, agama ini pun memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh pada kebaikan, melarang kemunkaran).

Perhatian khusus perlu diberikan kepada nahi munkar, sebab banyak orang enggan melakukannya. Padahal, sikap kita di hadapan kemunkaran justru merupakan tolok ukur dari keimanan itu sendiri, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

Barang siapa yang melihat satu kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)

Jadi, selemah-lemahnya iman adalah yang hatinya menghendaki perubahan, yaitu berhentinya kemunkaran. Jika ada orang yang hatinya tenang-tenang saja melihat kemunkaran, maka itu sudah di bawah batas minimal. Artinya: tidak beriman!

Oleh karena itu, Rasulullah saw pun adalah sosok yang paling peka dengan kemunkaran, kebathilan, kezhaliman dan semacamnya. Kapanpun terjadi, beliau akan menolaknya. Maka janganlah heran bila beliau tetap memimpin perang dan mengeksekusi orang-orang zhalim, meskipun predikatnya adalah rahmatan lil ‘aalamiin. Demikian pula Nabi-nabi sebelumnya juga melakukan hal yang sama. 

Persoalannya bukan pada Allah SWT, Islam, atau para utusan-Nya, melainkan pada tingkah laku manusia itu sendiri. Jika mereka taat kepada Allah SWT, maka akan terwujud keadilan, keselarasan, kedamaian dan seterusnya. Akan tetapi, sebagian manusia justru bertindak zhalim, dan kezhaliman itu, jika dibiarkan, maka akan menyakiti orang-orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu, justru dalam rangka menjadi rahmatan lil ‘aalamiin, maka para pelaku kezhaliman harus dicegah, ditegur, dihentikan, bahkan dihukum. Jika kita tidak melakukan apa-apa, maka kezhaliman itu justru akan semakin banyak memakan korban.

Syaikh Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi pernah menjelaskan dalam salah satu karyanya bahwa kerusakan yang terjadi di muka Bumi ini adalah kesalahan kita bersama sebagai umat Muslim. Karena kita lalai, maka kepemimpinan atas dunia ini dirampas dari kita. Padahal, kitalah yang mengerti amanah Allah SWT, dan karenanya, kitalah yang mampu menebarkan rahmat Allah SWT kepada semesta alam. Orang-orang kafir, yang tidak mengerti makna keadilan yang sesungguhnya, tak bisa diharapkan untuk tugas yang berat itu.

Karena itu, jika ingin menerapkan rahmatan lil ‘aalamiin, maka umat Muslim harus bangkit dan memimpin. Bukannya justru menyerahkan kepemimpinan kepada yang lain.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

6 Comments
  • Rojauna Zalfatthoriq
    Posted at 08:14h, 24 March Reply

    Sikap kami jika berhadapan kelompok seperti -islam liberal- itu gimana ustadz?

    • malakmalakmal
      Posted at 09:34h, 24 March Reply

      Belajar, kemudian lawan.

  • Lukman
    Posted at 10:12h, 26 March Reply

    Menurut ustadz bagaimana sikap sesorang yang kompeten utk memimpin tapi dia bepegang teguh pada sikap “Pemimpin seharusnya di pilih, bukan mengajukan diri”

    • malakmalakmal
      Posted at 17:16h, 26 March Reply

      Berarti dia kurang arif dengan kondisi jaman. Boleh saja berprinsip begitu, tapi semestinya dia memahami bahwa kondisi sekarang tdk memungkinkan hal tsb. Jika semua orang baik berprinsip demikian, maka kepemimpinan akan selalu dipegang oleh orang2 jahat. Di sisi lain, kekurangarifannya thd kondisi jaman sebenarnya membuatnya menjadi tidak kompeten.

  • Ibrahim
    Posted at 23:21h, 28 March Reply

    Ma kasih. Dapat tambahan ilmu dari tulisan pal akmal sjafril

  • Muhammad Ericson Ziad
    Posted at 12:46h, 28 April Reply

    Syukron ilmunya ustadziii

Post A Reply to Ibrahim Cancel Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.