Selintas Wacana ‘Islam Nusantara’: Kisah Pengkhianatan Sebuah Konsep Atas Dirinya Sendiri
513
post-template-default,single,single-post,postid-513,single-format-standard,theme-bridge,bridge-core-3.3.2,woocommerce-no-js,qodef-qi--no-touch,qi-addons-for-elementor-1.8.1,qode-page-transition-enabled,ajax_fade,page_not_loaded,,qode_grid_1300,qode_popup_menu_push_text_top,qode-content-sidebar-responsive,qode-smooth-scroll-enabled,columns-4,qode-child-theme-ver-1.0.0,qode-theme-ver-30.8.3,qode-theme-bridge,disabled_footer_top,disabled_footer_bottom,wpb-js-composer js-comp-ver-8.0,vc_responsive,elementor-default,elementor-kit-1780

Selintas Wacana ‘Islam Nusantara’: Kisah Pengkhianatan Sebuah Konsep Atas Dirinya Sendiri

Selintas Wacana ‘Islam Nusantara’: Kisah Pengkhianatan Sebuah Konsep Atas Dirinya Sendiri

assalaamu’alaikum wr. wb.

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai kajian akademik seputar wacana ‘Islam Nusantara’. Pertama, kajian semacam itu tidak mudah dilakukan, sebab wacana ‘Islam Nusantara’ sendiri belum bisa dikatakan akademik. Kedua, kajian awal yang lebih ilmiah sudah saya buat dan dipresentasikan dalam Diskusi Dwipekanan INSISTS, 13 Juni 2015 yang lalu. Di sini, saya hanya akan mengulas sisi-sisi kontradiktif yang saya anggap menarik ketika mengamati perkembangan wacana ‘Islam Nusantara’, yang, menurut saya, cenderung ‘liar’ karena beberapa hal yang akan dijelaskan di bawah ini.

Saya pertama kali menyadari adanya kontradiksi ketika menyimak (dan kemudian terlibat aktif) dalam sebuah diskusi di group Whatsapp yang tengah asyik memperbincangkan wacana ‘Islam Nusantara’. Menurut salah seorang peserta diskusi, kita tidak perlu bersikap kontra atau berpikiran negatif dulu terhadap ‘Islam Nusantara’ ini, karena wacana ini baru akan menjadi topik bahasan dalam Muktamar NU (saat itu muktamar belum dimulai).

Pandangan ini menarik, sebab banyak juga di antara pembela wacana ini yang mengatakan bahwa ‘Islam Nusantara’ bukan hanya topik bahasan dalam Muktamar NU, melainkan telah menjadi tema utamanya. Muncul kesan bahwa NU sebagai organisasi telah mantap menerima konsep ‘Islam Nusantara’. Bahkan ada yang berani mengatakan bahwa tidak mungkin ada Kyai NU yang menolak wacana ini, sebab kalau benar ia menolak, tentu ia tak hadir di Muktamar. Pendapat yang terakhir ini saya anggap tidak memiliki dasar yang kuat. Dalam silaturrahim yang kami lakukan di Pesantren Banyuanyar belum lama ini, telah jelas disampaikan bahwa pengasuh pesantren tersebut menolak ‘Islam Nusantara’. Ada juga komentar tegas dari Gus Idrus Ramli dan tweet dari Pesantren Sidogiri yang juga senada menolaknya.

Terlepas dari masalah ini, saya rasa tuduhan terburu-buru yang dialamatkan kepada para penolak wacana ‘Islam Nusantara’ hanya karena pembahasan di Muktamar NU belum selesai tidaklah fair. Pertama, karena nama yang dipilihnya adalah ‘Islam Nusantara’, maka setiap Muslim yang hidup di Nusantara punya hak untuk membahasnya. Dengan kata lain, domain ini bukan eksklusif milik NU sendiri, dan kita tidak mesti menunggu-nunggu pembahasan di Muktamar NU selesai sebelum menyampaikan pandangan kita sendiri.

Kedua, kita dapat melihat sendiri kenyataan betapa banyak orang yang sudah mengasongkan wacana ‘Islam Nusantara’ secara masif tanpa menunggu hasil Muktamar NU. Kalau yang kontra terhadap wacana ini disuruh menunggu, mengapa yang pro dibiarkan merajalela?

Aktivis JIL, Ulil Abshar Abdalla, misalnya, telah jauh-jauh hari memberikan semacam batasan tentang ‘Islam Nusantara’ itu sendiri. Dalam tweet-nya, ia menjelaskan bahwa ‘Islam Nusantara’ itu cirinya adalah tidak anti Syi’ah. Jadi, entah bagaimana, Ulil memiliki hak untuk menetapkan ‘Islam’ yang sesuai dengan pemikirannya, kemudian menambahkan cap ‘Nusantara’ sehingga ia berlaku secara umum bagi seluruh Muslim di Indonesia, tanpa harus menunggu pembahasan para kyai di Muktamar NU.

Ketika wacana ‘Islam Nusantara’ berkembang, jauh sebelum Muktamar NU, sudah beredar pula gambar sampul buku yang diberi judul Islam Nusantara. Buku ini nampaknya cukup ambisius karena hendak mengurai ‘Islam Nusantara’ secara menyeluruh, terlihat dari subjudulnya: Dari Ushul Fiqih Hingga Sejarah. Mereka yang menyumbangkan tulisan antara lain adalah Amin Abdullah, Husein Muhammad, Masdar F. Mas’udi, dan tentunya orang takkan heran pula jika Haidar Bagir turut berkontribusi. Nampaknya, para kontributor di buku ini sudah memahami ‘Islam Nusantara’ dan tidak pula merasa perlu menunggu Muktamar NU selesai. Di kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, malah sudah kita jumpai program pascasarjana dengan konsentrasi bidang Islam Nusantara. Pembukaan sebuah program pascasarjana tentu bukan hal yang sederhana dan perlu persiapan yang panjang. Dengan kata lain, program ini sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelum ‘Islam Nusantara’ dibahas di Muktamar NU, bahkan jauh sebelum wacana ‘Islam Nusantara’ dihembuskan belakangan ini.

Savic Ali, dalam wawancaranya di situs JournoLiberta, mengatakan bahwa ‘Islam Nusantara’ itu tidak lain adalah ‘Islam yang selama ini sudah berkembang di Indonesia’. Dengan kata lain, ‘Islam Nusantara’ bersifat tradisional dan konvensional. Tapi jika demikian, mengapa terjadi begitu banyak pertentangan ketika wacana ini muncul? Bukankah hal ini menunjukkan bahwa banyak orang menganggap wacana ini tidak membumi di tanah air?

Penjelasan yang kelewat simplistis ini mengakibatkan munculnya pandangan yang serba simplistis juga di kalangan pengikut. Sebuah tweet acak yang saya temukan, misalnya, mengatakan bahwa ‘Islam Nusantara’ adalah Islam mayoritas yang ada di bumi Nusantara, yaitu NU dan Muhammadiyah. Bagaimana dengan yang (dianggap) minoritas, apakah mereka tidak memiliki hak untuk mengemukakan pandangannya sendiri? Ataukah semua orang akan dipaksa mengikuti pandangan NU dan Muhammadiyah? Masih ada sederet pertanyaan panjang lainnya, tapi ketimbang menjerumuskan diri dalam kepelikan itu, lebih baik kita bertanya dulu: apa iya mayoritas warga NU dan Muhammadiyah itu setuju dengan ‘Islam Nusantara’? Saya pribadi meragukan. Saya yang lahir di tengah-tengah keluarga Muhammadiyah melihat warga Muhammadiyah tidak begitu tertarik dengan wacana ini, dan berdasarkan kunjungan saya ke beberapa pesantren NU yang terkemuka, saya melihat penolakan yang sama, bahkan lebih keras.

Di tempat lain, terdengar upaya untuk membenturkan ‘Islam Nusantara’ dan ‘Islam Arab’ dengan pemikiran yang simplistis pula. Sebagai contoh, ada yang mengatakan bahwa Muslim di Indonesia tak usah meniru yang di Arab, tak usah pakai sorban dan gamis. Tapi harus diingat pula bahwa sorban dan gamis sudah dikenakan oleh Muslim Indonesia sejak jaman dahulu. Para pahlawan nasional seperti Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro, semuanya bersorban dan berjubah. Demikian juga KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari, tak ada yang mempermasalahkan sorban. Seorang kawan, sambil tergelak, pernah mengatakan bahwa jika KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari hidup di jaman sekarang, jangan-jangan keduanya akan disebut wahabi hanya lantaran sorbannya. Ya itulah! Akibat pemahaman yang simplistis, agama diukur hanya dari penutup kepala. Pemahaman yang dangkal semacam ini hanya menciptakan kebencian, dalam hal ini, terutama sekali kebencian pada segala sesuatu yang dicap ‘Arab’.

Hal menarik lainnya yang bisa kita soroti adalah betapa kencangnya pembelaan para aktivis JIL terhadap wacana ini. Bersamaan dengan munculnya wacana ‘Islam Nusantara’, situs http://islamlib.com malah terlihat tidak lagi mencantumkan identitas JIL. Padahal, selama bertahun-tahun, orang sudah mafhum bahwa situs tersebut memang resmi milik JIL. Karena itu, banyak yang berpendapat bahwa ‘Islam Nusantara’ hanya sekedar ‘mainan baru’, karena Islam liberal sudah tidak menarik lagi. Bagaimana pun, label ‘Islam liberal’ sudah terlanjur melekat pada beberapa nama seperti Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Guntur Romli, Luthfi Assyaukanie dan sebagainya.

Pembelaan para penggiat JIL terhadap ‘Islam Nusantara’ ini saya anggap menarik, sebab – jika kita mengikuti penjelasan Savic Ali sebelumnya – ‘Islam Nusantara’ itu tradisional, sedangkan Islam liberal punya ciri khas melabrak semua tradisi. Sebelum dihapus dari situsnya dulu, JIL mencantumkan enam landasan Islam liberal. Dalam salah satu poinnya, JIL mengatakan bahwa mereka percaya akan kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Akan tetapi, dalam pembelaannya terhadap ‘Islam Nusantara’ ini, nampaknya penggiat dan simpatisan JIL mengkhianati landasannya sendiri, sebab ‘Islam Nusantara’ itu tidak relatif, tidak terbuka dan tidak plural. Mereka mengklaim pandangannya sendiri sebagai ‘Islam yang sah di Nusantara’, sedangkan yang lainnya tidak. Di sana-sini, mereka mengklaim bahwa ‘Islam Nusantara’ itulah yang baik, selainnya tidak. ‘Islam Nusantara’ itu lebih damai, ‘Islam Arab’ tidak. Bahkan, sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, mereka mengklaim ‘Islam Nusantara’ itu adalah hak NU dan Muhammadiyah, semata-mata karena jumlahnya yang mayoritas.

Untuk menunjukkan betapa JIL sesungguhnya anti dengan segala hal yang berbau tradisi, kita bisa melihat, misalnya, bagaimana Ulil mengkritik pandangan Muslim yang menganggap Al-Qur’an selalu benar tanpa bersikap kritis dalam tulisannya yang berjudul Memahami Kitab-Kitab Suci Secara Non-Apologetik. Dari kalangan Muhammadiyah, kita bisa melihat bagaimana aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), M. Asratillah Senge, mengapresiasi usia seabad ormasnya dengan mengajaknya untuk meninggalkan ajaran asalnya sendiri. Dalam tulisannya, “Kado Seabad Muhammadiyah”, Asratillah menyebut Muhammadiyah sebagai model ‘Islam Protestanis’. Setelah menyatakan apresiasinya terhadap semua kerja dakwah Muhammadiyah selama ini, termasuk mengenyahkan takhayul dan mengembalikan umat kepada Al-Qur’an, Asratillah malah mengajak Muhammadiyah untuk mengabaikan upaya purifikasi ajaran Islam, sebab kebenaran itu banyak, tidak tunggal. Di situs JIL pun kini kita bisa membaca tulisan karya Luthfi Assyaukanie, Obsesi Terhadap Islam Tunggal, yang sangat emosional dan berusaha menghantam siapa saja yang mengkritisi ‘Islam Nusantara’. Premisnya tidak sulit ditebak: karena penafsiran terhadap Islam tidak tunggal, maka siapa pun tak boleh mengklaim Islam. Tapi bagaimana dengan ‘Islam Nusantara’ itu sendiri? Mengapa ada orang-orang yang mengklaim penafsirannya sendiri atas Islam, menambahkan label ‘Nusantara’ dan mengabaikan sekian banyak Muslim lainnya yang hidup di Nusantara? Bukankah ini adalah sebuah sikap yang hipokrit, semacam pengkhianatan terhadap konsep yang diusungnya sendiri?

Kontradiksi semacam ini sama sekali bukan hal baru dalam wacana-wacana yang diusung oleh JIL. Problem ini berakar pada relativisme kebenaran. Jika tidak ada yang boleh mengklaim kebenaran, maka dengan sendirinya pendapat itu pun boleh diragukan. Jika tak ada yang boleh menyalah-nyalahkan orang lain, maka yang menyalahkan itu pun tak boleh disalahkan. Dan jika semuanya benar, maka tentu konsep kebenaran menjadi tak berarti lagi. Pada akhirnya, Islam liberal adalah pandangan yang memuat sekian banyak kerancuan dan – meski menyebut dirinya liberal – pada hakikatnya tidaklah menjanjikan kebebasan, kesantunan atau sikap toleran dengan yang lain. Sikap para aktivis JIL yang kasar, suka memaki dan melecehkan orang lain sudah banyak didokumentasikan.

Menurut pengamatan saya, secara khusus di Indonesia, Islam liberal memang selalu ‘bermain dua kaki’. Adakalanya mereka membela tradisi (umumnya tradisi lokal dari jaman pra-Islam), namun tidak jarang juga mereka membawa jargon ‘progresif’, ‘penafsiran ulang’, ‘membuka pintu ijtihad’, atau semacamnya. Kedua wajah yang bertolak belakang ini nampaknya menunjukkan sikap pragmatis kelompok Islam liberal dalam menghadapi realitas masyarakat di Indonesia.

Hal kecil terakhir yang saya amati belakangan ini adalah jawaban ‘seragam’ yang diberikan oleh sejumlah pembela wacana ‘Islam Nusantara’ ketika wacana ini dikritik dari segi bahasa. Bagaimana pun, umat Muslim tidak bisa menerima embel-embel apa pun yang disematkan di belakang nama Islam. Logika bahasa Indonesia pun tidak menerima hal yang demikian. Jika disebut “mobil merah”, maka ia sudah menjadi lebih spesifik daripada “mobil”. Demikian juga ketika orang memesan kopi, ia tidak mau disuguhi kopi susu. Penambahan semacam ini, jika dikaitkan dengan Islam, akan mengakibatkan penyempitan atau penyesatan. Problem yang dihadapi oleh nama ‘Islam Nusantara’ sama persis dengan yang dihadapi oleh nama ‘Islam Liberal’. Ketika merespon kritik ini, para pengusung ‘Islam Nusantara’ seragam menjawab: jangan permasalahkan nama, tapi pahamilah substansinya!

Respon semacam ini, menurut saya, sangatlah ganjil, terutama bagi mereka yang mengaku menjunjung tinggi budaya Indonesia. Masalahnya, bahasa adalah salah satu unsur utama dari budaya itu sendiri! Jika ada yang mengaku-ngaku sebagai pembela budaya Indonesia namun pada saat yang bersamaan mengabaikan kaidah Bahasa Indonesia itu sendiri, maka sikapnya hanya bisa digambarkan sebagai absurd atau hipokrit. Bagaimana pun, nama ‘Islam Nusantara’ tidak bisa melepaskan dirinya dari jebakan yang digalinya sendiri. Sampai kapan pun, istilah ‘Islam Nusantara’ tetap menggambarkan penyempitan dan ketidakmurnian, karena kaidah bahasanya memang demikian.

Sebagaimana tujuan awalnya, tulisan ini hanya menyoroti beberapa aspek yang kontradiktif di seputar wacana ‘Islam Nusantara’. Cukup sulit mengkaji secara serius sebuah wacana yang belum diuraikan secara serius pula. Menurut saya pribadi, ‘Islam Nusantara’ belum berhasil membuktikan urgensinya, sebagaimana wacana ‘langgam Jawa’ yang sudah muncul duluan. Terbukti, setelah langgam Jawa diangkat, orang Sunda tidak minta dibuatkan langgam Sunda, orang Bugis tidak minta langgam Bugis, dan orang Minang tidak merasa butuh langgam Minang. Langgam Jawa adalah contoh wacana yang muncul tanpa urgensi yang jelas dan pada akhirnya lenyap begitu saja, sebab umat tidak merasa membutuhkannya. Saya rasa, ‘Islam Nusantara’ pun tidak jauh berbeda. Hanya saja, wacana yang satu ini dikemas sedemikian rupa dan dipasarkan dengan sangat masif kepada masyarakat, meski umumnya dengan cara yang terlalu simplistis.

wassalaamu’alaikum wr. wb.

 

 

Artikel ini pernah dimuat di sini.

No Comments

Post A Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.